Kamis, 08 Desember 2011

PERSEBARAN GURU DI JATENG, BELUM BERKEADILAN DAN TERKENDALA POLITIS


PERSEBARAN GURU DI JATENG
BELUM BERKEADILAN DAN TERKENDALA POLITIS

            SKB (Surat Keputusan Bersama ) lima menteri, yaitu Mendikbud, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mendagri, Menkeu, serta Menakertrans, terkait pemerataan guru, mengundang rasa senang sekaligus was was di kalangan dunia pendidikan Jawa Tengah. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, persebaran, mutasi dan kepindahan guru ( termasuk Kepsek ), masih membawa unsur like and dislike. Masih membawa unsur politis. Masih kental dengan aroma kolusi dan nepotisme.
            ” Kalian baca kan berita beberapa waktu lalu, di mana ada beberapa guru berprestasi yang tanpa ada sebab, tanpa ada angin apalagi hujan, begitu saja dipindah ke sekolah pinggiran. Kalian juga baca ada Kepsek yang berhasil mengangkat sebuah sekolah, juga tanpa ada tanda-tanda, begitu saja dipindah, untuk kemudian diganti orang yang sama sekali tidak dikenal. Kabar yang kemudian berhembus, penggantinya itu dekat dengan pengambil keputusan di pemerintahan. Jadi, mutasi dan pemindahan guru dan atau Kepsek, belum sepenuhnya menganut asas manfaat dan kebutuhan sebuah sekolah, tapi lebih pada kedekatan. Lebih khusus lagi, memakai pendekatan politis,” demikian ungkap Muhdi, Rektor IKIP PGRI Semarang.
            Hal yang sama dikatakan Subagyo Brotosejati, ketua PGRI Jateng. Menurut dia, kalau SKB itu mau dilaksanakan dengan efektif dan bermanfaat serta bermartabat, maka harus ada koordinasi dengan pejabat di tingkat kabupaten / kota. ”Harus ada sinergitas yang komprehensif dengan pejabat kabupaten / kota, agar persebaran, pemindahan dan atau mutasi guru benar-benar berdasar kebutuhan, bukan mendasarkan pada like and dislike. Khusus untuk Jawa Tengah, persebaran itu harus benar-benar dipertimbangkan matang-matang, karena 2015 nanti kita menghadapi puncak ledakan guru yang pensiun.  Seharusnya mulai sekarang ini, Diknas  kabupaten / kota harus mempunyai maping terkait kebutuhan guru di wilayahnya. Jangan sampai di sebuah sekolah guru untuk mapel tertentu menumpuk, sementara di sekolah lain, guru mapel itu tidak ada. Maping itu penting, agar persebaran guru benar-benar tepat sasaran dan membawa manfaat,” ungkap pak Bagio ramah.
            Berdasar data yang dipunyai PGRI Jawa Tengah, hingga saat ini jumlah guru  yang menjadi anggota PGRI ada sebanyak 247.000 orang.  Dari jumlah itu, setiap tahunnya ada pertambahan guru sebanyak 20.000. Sementara setiap bulannya ada sekitar 8.900 guru yang pensiun. ”Kalau mendasarkan pada data itu, sebenarnya tidak harus ada permasalahan terkait tenaga didik di semua sekolah di Jawa Tengah. Hanya, karena persebarannya yang tidak merata, maka selalu ada sekolah yang kekurangan guru yang mengampu mapel tertentu. Masih belum berkeadilan, begitu ungkapan banyak Kepsek yang sekolahnya masih kekurangan guru. Diknas kabupaten / kota seharusnya pro aktif untuk itu, mereka seharusnya mempunyai data kekurangan itu. UPT –UPT Diknas di tiap kecamatan saya yakin pasti punya data tentang itu. Hanya mungkin karena masalahnya tidak terangkat, persebaran guru yang tidak berkeadilan itu, tidak pernah mendapatkan perhatian, ” ungkap ketua PGRI lebih lanjut.
           
Guru diperbantukan
            Dulu ada kebijakan guru diperbantukan, kenapa itu tidak dilanjutkan. Kebijakan itu saya kira bisa mengatasi kurangnya guru berprestasi di sekolah-sekolah pinggiran, dan sekolah swasta yang serba terbatas sarana prasarananya. Demikian ungkap Tatik Yuliati SPd, Kasek SMP  SMA AL Uswah Semarang. ”Kita pasti akan sangat terbantu dengan adanya guru bantu itu. Karena dulu, guru yang diperbantukan mengajar ke sekolah-sekolah swasta dan atau sekolah negeri di pinggiran adalah guru-guru yang inovatif dan berprestasi. Sembari menunggu pelaksanaan SKB itu, kenapa itu tidak dilakukan. Kalau yang menjadi tujuan akhir adalah  kesetaraan mutu pendidikan di semua sekolah, maka kualitas gurunya, mutu SDM tenaga didiknya,  menjadi salah satu faktor yang paling utama harus dipenuhi.” Ungkapnya lebih lanjut.
            Kalau dengan kondisi banyak sekolah negeri di pinggiran dan sekolah swasta banyak yang menjalankan  proses KBM apa adanya, maka capaian target kesetaraan mutu pendidikan di seluruh sekolah di Indonesia, sebagaimana yang menjadi tujuan Kemendikbud mengadakan UN, tidak akan mungkin tercapai.
            ”Kalau harus menyamakan kualitas pendidikan antara SMPN 2 yang sebuah SBI, dengan sarana prasarana komplit dan kualitas tenaga didik yang mumpuni , dengan sekolah pinggiran yang untuk praktek komputer saja mesti bergantian, maka itu tidak akan pernah ketemu. Ada perbedaan yang sangat signifikan diantara sekolah favorit itu dengan sekolah pinggiran dan sekolah swasta yang berjalan apa adanya itu. Saya setuju, kalau pola guru diperbantukan itu kembali dilaksanakan. Sekolah yang ketempatan, pasti diuntungkan, sementara guru yang bersangkutan juga tidak akan dirugikan, bahkan dia akan makin bisa mengembangkan kreatifitas dan inovasinya dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik,” demikian ungkap Joko Winarso SPd, Humas SMP IT Harapan Bunda Semarang     
            Muhdi melihat, kebijakan guru diperbantukan itu sebenarnya sangat ideal dalam mensikapi kurangnya guru berkualitas dan kompeten di banyak sekolah negeri pinggiran dan sekolah swasta. Hanya yang menjadi pertanyaan, kenapa kebijakan yang sangat baik itu tidak dilanjutkan. Kalau untuk mendukung percepatan capaian mutu dan kualitas pendidikan merata di semua sekolah di seluruh negeri ini, kebijakan itu adalah langkah instan yang sangat efektif dan efisien. Tentunya dengan bonus khusus, untuk guru yang diperbantukan itu, agar tetap ada semangat dan idealisme pada guru itu.
            Hanya yang masih menjadi masalah adalah, bagaimana merumuskan kriteria guru yang layak untuk diperbantukan. Apakah guru yang berprestasi di sebuah sekolah atau guru trouble maker, guru yang tidak disenangi di sekolah asalnya. Jangan sampai tugas baru itu menjadi beban psikologis tersendiri bagi guru yang bersangkutan.
            ”Idealnya guru yang diperbantukan itu guru yang berprestasi, karena tugasnya disekolah barunya cukup berat, yaitu mengangkat mutu dan kualitas pendidikan. Itu hanya bisa dilakukan oleh guru yang mempunyai dedikasi dan berprestasi. Untuk guru bermasalah, jangan pernah untuk dijadikan guru yang diperbantukan, karena di sekolah baru dia hanya akan menjadi pengganggu dan parasit. ” Ungkap Joko lebih lanjut.
            Lantas ?
Dunia pendidikan memang membutuhkan terobosan yang komprehensif, tidak setengah setengah. Di Jawa Tengah, di mana banyak daerah yang kekurangan guru, persebaran guru yang berkeadilan dan bermanfaat sangat dibutuhkan. Hanya masalahnya, banyak pejabat di Diknas kabupaten kota, belum mempunyai data dan atau maping yang lengkap dan akurat terkait kelebihan dan kekurangan guru di sekolahnya. Belum semua pejabat Diknas kabupaten kota sadar akan pentingnya  akurasi data  itu. Sebab peta sebaran itulah yang nantinya akan dipakai sebagai dasar penentuan pendistribusian guru itu.

Pemda harus dilibatkan
            SKB 5 Menteri itu, apa bisa memaksimalkan percepatan tujuan pendidikan nasional, itu yang masih ditunggu  dengan harap-harap cemas oleh banyak pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan. Bagaimana nanti implementasinya di lapangan, itulah yang ditunggu. Bagaimana PP nya, juklak juknisnya bagaimana ? Agar  guru-guru yang nantinya akan didistribusikan ke sekolah yang kekurangan guru, tidak merasa dibuang dan disingkirkan.
            ”Diknas kabupaten kota harus terlibat aktif dalam pelaksanaan SKB itu, karena merekalah yang paling tahu daerah mana yang kurang gurunya dan wilayah mana yang kelebihan. Pemindahannya juga jangan terkesan membuang atau menyingkirkan guru yang tidak disenangi di sebuah sekolah. Karena kalau itu yang terjadi, guru yang sudah terlukai secara psikologis itu kinerjanya di sekolah baru pasti tidak akan maksimal,” ungkap Muhdi.
            Harus ada bonus, atau apalah istilahnya, kepada guru yang didistribusikan ke sekolah yang membutuhkan. ”Kalau perlu yang dipindah itu guru yang berprestasi, guru yang berdedikasi tinggi, dengan tugas membenahi dan mengangkat mutu pendidikan di sekolah barunya. Ada bonus dan reward untuk mereka, itu yang pasti. Dan saat guru yang bersangkutan mampu mengangkat mutu sekolah yang baru ditempatinya, maka harus ada penghargaan berupa percepatan kenaikan pangkat dan golongan atau promosi menjadi kepsek di sekolah yang masih lowong, ” jelas Broto, ketua PGRI Jawa Tengah.
            UU nomer 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah juga menjadi salah satu batu sandungan dari pelaksanaan SKB itu. Karena dengan otonomi itu, setiap daerah merasa mempunyai hak untuk terus mengangkat dan mengangkat guru baru dan menempatkannya di sekolah yang diingat tanpa melihat peta persebarannya. Skala kebutuhan akan guru mapel tertentu, terkadang diabaikan, karena Diknas setempat tidak mempunyai akurasi data terkait kebutuhan guru disebuah sekolah. Selain itu, guru baru juga cenderung ingin ditempatkan di sekolah favorit meski dengan beban  jam mengajar
yang sedikit. Semuanya itu pastinya terkait dengan materi. Karena di sekolah favorit, kemungkinan untuk mendapatkan bonus dan lainnya, lebih besar dibandingkan kalau misalnya guru baru itu ditempatkan di sekolah pinggiran dengan beban mengajar yang padat tapi minim bonus.
            Bisakah SKB itu mempercepat capaian tujuan pendidikan nasional  ? Masih ada tanda tanya besar yang harus dijawab. Karena di lapangan, implementasi SKB itu akan berbenturan dengan ego pajabat birokrat di kabupaten kota yang masih merasa punya hak untuk memindahkan, memutasi dan atau sejenisnya tanpa perlu menjelaskan alasannya. Otonomi daerah menjadikan pejabat birokrat sebagai raja – raja kecil dengan kewenangan besar. Kewenangan wajib bidang pendidikan  yang dipunyai daerah, akan menjadi batu sandungan, kalau tidak direvisi. Itu tidak akan menjadi masalah kalau pemda dilibatkan, dengan menyiapkan sebaran dan kebutuhan guru di tiap wilayah secara kurat dan kredibel. Dan itulah yang harus ditata dulu, kalau ingin SKB itu bisa berjalan dengan baik dan sukses serta bermanfaat. (dmr)