Selasa, 25 Januari 2011

tips untuk kalian yang lagi belajar jadi wartawan




MELIPUT  PERISTIWA

Ada empat bahasan yang ingin kita angkat dalam  Meliput Peristiwa ini. Semuanya saling terkait dan menunjang kegiatan peliputan sebuah peristiwa atau berita. Empat bahasan itu diantaranya :
  1. Mempertajam info
  2. Tepat tempat dan waktu
  3. Mengamati detail
  4. Mempelajari istilah teknis

Tapi sebelum masuk ke empat bahasan itu, akan lebih baik kalau kita tahu dulu
apa itu peristiwa, jenis dan pembagiannya berdasar waktu. Setuju ?
                                   
                                                                        ***
                                   
            Semua kegiatan jurnalistik, selalu terkait dengan mencari, mengumpulkan dan menulis berita . Sedangkan berita itu sendiri ada dua jenis. Pertama,  berita atau peristiwa langsung (straight news, hot news atau apapun istilahnya), yang tidak  bisa direncanakan seperti peristiwa kriminal, kecelakaan, kebakaran dan lainnya. Kedua, berupa  berita atau peristiwa tidak langsung  yang bisa direncanakan, karena peristiwanya sendiri sudah terjadwal, ada agenda pastinya. Seperti peristiwa persidangan ,   gelar perkara di institusi hukum, kepolisian atau kejaksaaan. Diskusi, seminar, dan peristiwa sejenis. Serta, pergelaran budaya,  musik dan lainnya.
            Apapun jenis berita yang akan kita garap, semuanya harus mendasarkan pada kaidah baku penulisan di media massa, yaitu 5W + 1H. Dari sinilah, peliputan sebuah peristiwa, bisa berkembang dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan permintaan redaksi. Untuk sebuah peristiwa perampokan misalnya, yang tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi, akan bisa menjadi sebuah berita human interest yang sangat menarik dan ber daya jual tinggi, saat seorang wartawan bisa mengembangkan unsur who, atau siapa yang dirampok dan siapa perampoknya. Demikian juga unsur lainnya seperti what, when, why, dan why.
            Sedangkan untuk peristiwa yang sudah terjadwal, seperti sidang , gelar perkara atau demo ( yang terkadang koordinatornya menghubungi redaksi untuk tanggal actionnya ) dan lainnya, seorang wartawan bisa merancang peliputannya, hingga menjadi sebuah liputan atau reportase mendalam ( depth reporting ), dengan menambah dan memperbanyak nara sumber yang terkait dengan peristiwa yang akan diangkat. Disini, wartawan dan atau redaksi bisa bermain ( sesuai dengan kebijakan managemen media tentunya ), untuk pro atau kontra atas peristiwa yang diliput. Saat kebijakan manajemen bersimpati, pro dan bahkan mendukung sosok yang disidang, maka redaksi bisa saja  mencari narasumber yang mendukungnya. Demikian pula sebaliknya. Redaksi bisa mencari narasumber yang galak, benci dan keras terhadap sosok yang disidang itu. Dari sinilah, kemudian sekali bisa dilihat, arah besar kebijakan redaksional sebuah media secara umum. Media yang benar-benar mandiri, independent dan tidak berpihak, sudah sangat sulit sekali ditemukan saat ini. Kepentingan bisnis, akan selalu menjadi pertimbangan utama dalam sebuah pemberitaan. Dan itu bisa mengalahkan segalanya.
            Sebelum kita membahas lebih jauh lagi, semua yang terkait dengan media. Mari kita coba mengurai satu persatu bagaimana kita bisa mengembangkan sebuah berita straight news atau berita terjadwal hingga menjadi sebuah liputan atau reportase yang menarik dan dalam.

1. Straight news, hot news, hard news
Kalau dilihat dari waktu kejadian berdasar deadline sebuah berita,  bisa dibagi dalam :
            a. Peristiwa jauh dari deadline
            b. Peristiwa mepet dengan deadline           


a. Peristiwa jauh dari deadline
            Mari kita lihat apa yang bisa kita kembangkan atas berita yang amat sangat dibatasi oleh waktu itu, dengan mendasarkan pada kaidah 5 W + 1 H. Kita umpamakan saja, media kita adalah media yang terbit pagi, dengan deadline untuk berita kota jam 5 sore.
            Saat sebuah peristiwa, entah itu kecelakaan maut yang menewaskan banyak orang, perampokan berdarah, kebakaran besar  dan kejadiannya lainnya, kejadiannya di pagi hari atau siang hari. Maka, ada keleluasaan waktu bagi wartawan, untuk meliput peristiwa yang terjadi dengan lebih mendalam, tidak hanya melaporkan berita yang terjadi, apa adanya.
            Hanya sebelum melangkah lebih jauh, wartawan sangat diharapkan untuk berkoordinasi dengan redaksi atau pemegang halaman di sebuah media. Hal ini dimaksudkan agar ada kejelasan apakah memang ada halaman untuk peristiwa itu. Atau apakah peristiwa itu akan dijadikan headline di halaman depan, karena nilai human interest nya sangat tinggi ?
            Mari kita lihat apa yang bisa kita kerjakan untuk peristiwa ini :
            Untuk sebuah media yang mempunyai tim redaksi kuat, sebuah berita yang mempunyai nilai berita tinggi, mempunyai daya jual bagus dan sangat – sangat human interest, dipastikan akan segera ditanggapi serius dengan menarik  banyak wartawan dari peliputan rutin mereka, untuk berkonsentrasi membuat peristiwa kebakaran  yang menghanguskan satu perkampungan kumuh dan korban jiwa beberapa orang itu menjadi sebuah depth reporting. Unsur 5 W + 1 H, akan dieksplore habis-habisan hingga pada detik-detik terakhir deadline.
            Detail kejadian, terus  dicari dan ditemukan dengan mewawancarai banyak nara sumber. Penyebab kejadian, dipastikan akan diurai dan dicarikan prediksi, saat belum ada kepastian dari pihak kepolisian. Beberapa narasumber, yang paling tinggi kredibilitasnya karena terlibat pertama kali secara langsung, harus diwawancarai. Prediksi atas penyebab kebakaran bisa saja beberapa versi, namun itu sah dan boleh bahkan akan menambah rasa penasaran pembaca, sebelum kepastian penyebab kebakaran yang resmi dan pasti dari pihak kepolisian muncul.
            Saat harus mempertajam fakta dan data serta semua info yang terkait dengan penyebab kebakaran, jumlah korban dan kemungkinan penanganan ke depannya, wartawan yang menangani peliputannya harus benar-benar peka dan tajam instingnya. Wartawan juga harus mampu beradaptasi dan menempatkan diri pada situasi dan kondisi di mana banyak orang yang menjadi korban, sedang diliputi rasa marah, jengkel, sedih, duka dan perasaan lainnya.
            Jangan percaya dan puas begitu saja pada apa yang dikatakan satu nara sumber, meski dialah sebenarnya narasumber dengan kredibilitas paling tinggi karena dia yang pertama kali mengetahui kebakaran itu.  Cari nara sumber yang lain, sebagai pembanding, khususnya untuk  mengembangkan sisi-sisi human dari peristiwa kebakaran itu. Kalau perlu, cari seseorang yang mau ngomong yang agak kontroversial terkait kebakaran itu. Sebab, omongan yang nggladrah, sak karepe dhewe, dan berbeda dengan yang lain, justru menarik dari sisi pemeberitaan yang otomatis akan meningkatkan omzet penjualan.
            Misalnya, saat saksi mata mengatakan penyebab kebakaran karena konsleting listrik di rumah nomer 13. Maka, saat ada seseorang yang ngedumel dan mengatakan kalau penyebab kebakaran itu karena sing mbau rekso  yang menghuni pohon besar di tengah perkampungan itu marah. Itulah yang harus kita kembangkan lebih jauh, selain karena konsleting itu.
            Wartawan bisa mempertajam atas info awal itu. Saat harus mengejar konsleting sebagai penyebab kebakaran, segera cari pemilik rumah  yang dicurigai sebagai penyebabnya. Sang bapak, ketika tidak bisa dikorek infonya, karena kondisinya sedang sangat labil, sedih, jengkel dan marah. Cari anggota keluarga yang lain. Istri atau anaknya. Cari kemungkinan paling mungkin atas hubungan arus pendek itu. ”Mungkin itu karena si Andi dolanan solder ngerjain tugas elektro sekolahnya .... 
            Mungkin....  yang dikatakan sang istri, terus kembangkan dengan mencari pengakuan dari Andi. Pertajam info yang diberikan sang Ibu, dan terus kejar pengakuan dari Andi. Biasanya, para korban kebakaran, apalagi kalau dia diduga menjadi penyebabnya, akan sukar untuk jujur mengaku. Biasanya, dia malah ngeles, mencari alasan untuk mencoba mengelak. Disini kesabaran yang paling utama. Saat yang bertugas meliput peristiwa itu hanya seorang wartawan, maka si Andi bisa ditinggalkan sebentar untuk mencari fakta dan data yang lain. Tapi, kalau yang bertugas lebih dari satu, tugaskan satu orang wartawan, tungguin dan ajak terus dialog untuk makin mengakrabkan diri. Terus kejar pengakuannya. Dan itu adalah sebuah fakta yang sangat menarik.
            Sedangkan, untuk info awal marahnya penunggu pohon tua di tengah kampung, pertajam dengan mencari tokoh agama dan atau tokoh masyarakat di kampung itu. Korek  dan kumpulkan data terkait keberadaan pohon yang dihormati dan wingit itu. Dari data dan fakta yang berhasil dikumpulkan, apabila dituangkan dalam sebuah tulisan, akan menjadi berita yang sangat-sangat menarik, karena nilai kesakralannya itu. Kecenderungan umum pembaca yang suka pada tahayul dan yang aneh-aneh, bisa di eksplore habis-habisan, demi omzet media kita.
            Tidak hanya penyebab dari kebakaran yang bisa dikembangkan lebih jauh. Keberadaan perkampungan kumuh di pingiran bangunan megah, juga menarik untuk terus dikembangkan. Kalau perlu datangi DTKP untuk mendapatkan RTRW ( rencana tata ruang wilayah) daerah kumuh itu. Perdalam kemungkinan daerah itu sudah diincar investor untuk pengembangan sebuah hotel atau mall. Cari nara sumber yang bisa untuk menunjang kemungkinan itu.

b.  Peristiwa mepet dengan deadline
            Saat kita sebagai wartawan meliput sebuah peristiwa straight news yang kejadiannya sangat mepet dengan deadline, maka yang sebaiknya harus segera kita lakukan  ada 2 kemungkinan:
1. Segera  memanggil bantuan dari kantor, entah itu wartawan lain atau OB atau siapa saja asal punya daya mobilitas tinggi. Untuk mengambil foto peristiwa tersebut agar bisa segera disetorkan ke redaksi.
2. Atau kalau kita diperlengkapi dengan lap top, terus kejar data dan fakta yang paling aktual dan faktual atas peristiwa hingga pada menit-menit terakhir deadline. Karena foto dan data bisa dikirim lewat email.

            Untuk kemungkinan pertama, siapapun yang dikirim kantor untuk membantu kita. Maka dia harus segera kembali ke kantor dengan membawa foto dan data awal atas peristiwa yang sedang kita liput. Hal ini dimaksudkan agar foto dan data awal itu bisa segera dipelajari dan diproses oleh redaksi. Atas data awal itu, redaksi pasti akan menemukan banyak kata tanya yang harus dicarikan jawabannya oleh kita yang masih ada di lapangan. Lewat Hp, komunikasi bisa dijalanlan. Dan kita yang ada di lapangan, bisa dengan maksimal memanfaatkan mepetnya waktu yang ada.
            Pengembangan atas data awal dan atau kata tanya dari redaksi, ditengah mepetnya waktu, bisa dicarikan jawabnya dengan mewawancarai  sebanyak mungkin nara sumber. Dari sinilah, kita bisa mempertajam data dan fakta sehingga redaksi akan mendapatkan detail lengkap atas peristiwa yang sedang diliput.
            Sedangkan untuk kemungkinan ke dua, kita bisa bebas bermain dengan mepetnya waktu karena tidak harus terprovokasi oleh waktu yang harus kita tempuh saat harus kembali ke kantor. Saat data awal sudah kita dapat, dan foto penunjangnya juga sudah sangat memuaskan. Maka sebuah email awal dengan data dan fakta awal, bisa kita kirim agar bisa dipelajari dan dioleh oleh redaksi.
            Komunikasi dengan redaksi juga dapat dengan mudah dijalin lewat HP. Segala kata tanya, bisa dengan segera dicarikan jawabnya, saat kita sebagai wartawan masih di TKP ( tempat kejadian perkara ). Ditengah keterbatasan waktu, penajaman info atas data dan fakta yang sudah didapat, bisa dimainkan dengan lebih detail, dengan dua kemungkinan di atas.
            Di sini berlaku prinsip : waktu mengejar berita. Wartawan yang bisa memenej waktu dengan mengembangkan dua kemungkinan di atas, media nya dipastikan akan menurunkan laporan yang lengkap dan ber nas, serta punya nilai jual tinggi. Karena, data dan fakta yang disajikan detail dan lengkap. Dan lebih penting lagi, media yang bersangkutan dapat menurunkan laporan lengkap dari sisi humanitas tinggi.

  1. Berita tidak langsung
Berita tidak langsung adalah berita yang kejadian peristiwanya terjadwal, sudah ter agendakan, sudah masuk dalam catatan redaksi. Untuk jenis berita ini, paling memungkinkan apabila diturunkan dalam sebuah repostase yang lebih mendalam. Atau istilah jurnalismenya depth reporting.  Seorang wartawan seharusnya bisa mendapatkan data dan fakta yang lebih mendalam, selain yang terpapar di peristiwa itu. Tapi pada kenyataannya, rutinitas kerja yang sudah terkonsep lama di semua media, membuat pola pikir kebanyakan wartawan terpasung oleh rutinitas itu sendiri.
Sehingga yang muncul adalah, keseragaman pola kerja dan pikir, ambil undangan, datangi, ambil release/makalah, dengarkan dan catat yang penting untuk kemudian wawancarai sesuai pesanan dan atau penugasan redaksi, ....  ambil amplop ....  kemudian kembali ke kantor. Untuk mencari data dan fakta lain selain yang sudah disiapkan panitia, wartawan sudah terwegahkan oleh pola kerja dan pola pikir itu. Sehingga yang muncul kemudian adalah, sebuah laporan yang hanya mendasar pada jalannya peristiwa ( kalau itu sidang ), atau berdasar release/makalah, kalau itu sebuah seminar / diskusi dan form dialog lainnya.           

Tapi ditangan seorang redaksi yang kuat dan peduli pada kualitas halaman yang  menjadi tanggung jawabnya. Sebuah persidangan korupsi yang di banyak media tersaji hambar, akan menjadi menarik saat redaksi yang bersangkutan mampu memberi penugasan yang agak lebih detail kepada wartawan yang meliputnya. Seorang redaksi yang menguasai materi, mempelajari dengan sungguh – sungguh latar belakang kehidupan termasuk keluarganya, dan mampu secara jeli melihat pokok masalah yang dituduhkan, akan mampu menyusun banyak point pertanyaan yang tajam dan dalam, yang nantinya bisa dipakai oleh wartawan sehabis sidang selesai.
Untuk berita atau peristiwa yang tidak langsung ini, ada beberapa point yang sebaiknya diperhatikan oleh wartawan yang akan meliput. Agar, liputan yang didapatnya menarik dari sisi kualitas beritanya dan mempunyai nilai jual dari sisi pemasarannya.
Point itu diantaranya :
  1. Wartawan harus mempelajari dan menguasai materi yang akan diliput.
  2. Wartawan harus mampu mencari data dan fakta penunjang  dari sumber lain atas materi dari peristiwanya
  3. Atas unsur Who ( siapa ) yang ada pada peristiwa itu, wartawan harus dapat mencari data dan fakta atasnya lebih lengkap lagi. Seperti, latar belakang pribadinya, pendidikan dan keluarganya, serta lingkungan sosial politiknya. Hal itu dimaksudkan agar ada kedalaman isi dari berita yang disajikan.
  4. Atas unsur what, when, why, where, wartawan harus lebih dulu mendapatkan data dan fakta yang akurat. Agar saat melakukan liputan dan wawancara, pertanyaan yang muncul benar-benar masuk ke dalam inti permasalahan, sehingga jawab yang diberikan, benar-benar punya nilai yang tinggi.
  5. Wartawan harus mampu membuat pertanyaan proef ballon, berita pancingan, agar muncul jawaban yang tajam, menukik dan langsung menohok ke jantung permasalahan.

Karena berita tidak langsung ini sifatnya sudah terjadwal, sebuah media bisa
memainkan  pemberitaannya sesuai dengan kebijakan redaksionalnya. Sebuah daftar pertanyaan bisa disusun redaksi untuk dicarikan jawab oleh wartawan dari nara sumber yang terkait dengan peristiwa yang hendak diliput. Narasumber bisa digiring oleh pertanyaan itu agar memberikan jawaban sesuai dengan kebijakan redaksional sebuah media. Narasumber bisa digiring untuk  masuk dalam sebuah skenario  yang sudah disusun redaksi, sehingga jawab yang diberikan mendukung kebijakan redaksional media yang bersangkutan. Atas berita tidak langsung ini, wartawan bisa bebas mengembangkan info, data dan faktanya, sesuai dengan apa yang dimaui redaksi
            Deadline juga begitu menjadi kendala atas berita tidak langsung ini. Redaksi dan wartawan mempunyai keleluasaan waktu untuk mencari data dan fakta penunjangnya, demi sebuah berita mendalam dan ber nas. Bahkan untuk seorang wartawan pemula, berita tidak langsung ini bisa menjadi moda pembelajaran teknik wawancara olehnya. Dengan perkataan lain, tidak ada tantangan saat harus meliput berita dan atau peristiwa tidak langsung ini.
            Yang menjadi tantangan di sini adalah hati nurani, semangat  idealisme pada diri wartawan. Hehehe maksudnya, apakah akan menolak amplop dengan isinya atau dengan senang hati menerimanya. Itu akan  menjadi tantangan setiap wartawan , saat manajemen media yang bersangkutan mencantumkan ......  wartawan  Ekspresi dilarang  menerima imbalan  dalam bentuk apapun dari nara sumber ......

               
A. Mempertajam info
Berdasar semua uraian di atas, kita sebagai wartawan saat  harus mempertajam  info yang itu juga berarti mengembangkan  data dan fakta  yang ada. Yang harus diperhatikan adalah :
1.      Jangan percaya begitu saja pada info dari satu nara sumber.
2.      Cari narasumber untuk pembanding dan melengkapi serta memperdalam data dan fakta yang sudah ada.
3.      Data dan fakta dari sumber resmi ( kepolisian, dinas dan atau pejabat terkait dengan peristiwa ), kembangkan dengan mewawancarai nara sumber yang lain, yang kompeten dengan peristiwa yang terjadi.
4.      Terus kembangkan dugaan, perkiraan, prediksi dan bahkan rumor, desas-desus, omongan nggak jelas dari mereka yang dekat dengan sumber kejadian.
5.      Perhatikan benar-benar deadline berita .
6.      Terus berkoordinasi dengan redaksi.
7.      Hargai keselamatan diri lebih dari segalanya. Sebuah berita yang amat sangat luar biasa sekali dan bahkan berpotensi untuk meraih Pulitzer, akan menjadi percuma saat keselamatan atau nyawa yang menjadi taruhannya.

B. Tepat tempat dan waktu
            Kalau dalam kaidah penulisan di media 5 W + 1 H, tepat tempat dan waktu masuk pada unsur Where dan When. Untuk  peliputan sebuah peristiwa, unsur di mana dan kapan, menjadi faktor yang sangat penting dalam sebuah berita di media massa. Cara penulisannya pun khusus dan ada patokan dan aturan sendiri. Yang pasti, semua wartawan yang bertugas di lapangan harus benar-benar memperhatikan  tepat tempat dan tepat waktu ini. Agar berita yang dimunculkan benar-benar sesuai dengan kejadian di TKP nya.
           
Mari kita bahas satu persatu unsur dari 5 W + 1H ini.
  1. Tepat Tempat
Ada 2 hal yang bisa lihat dari istilah tepat tempat ini bagi kita, seorang wartawan.
Pertama, tepat tempat dilihat dari keberadaan kita sebagai wartawan, saat harus menempatkan diri pada banyak situasi di banyak liputan peristiwa. Kita harus mampu menempatkan diri dimanapun kita berada. Empan papan, kalau menurut istilah jowo. Di situasi resmi, bergabung dengan para birokrat dengan protokoler rumit, sebagai wartawan yang baik, kita harus benar-benar bisa menempatkan diri. Saat harus membaur dalam lingkungan. Demikian pula saat kita harus membaur di lingkungan kumuh, lingkungan strata terendah yang amat sangat sederhana,  kita harus benar-benar mampu mengembangkan rasa empati dan simpati, agar yang muncul kemudian adalah kebersamaan dan satu persaudaraan.
            Saat sebuah pembatas menghalangi kerja kita, maka bagaimana mensiasati pembatas itu, sehingga kita dapat mengambil gambar / foto yang bagus, tanpa melanggar pembatas, itulah yang menantang dalam kinerja seorang wartawan. Saat  pertanyaan di sensor oleh infokom, tidak boleh tanya ini itu, dan lainnya, Maka bagaimana mensiasati larangan itu dengan mengembangkan pertanyaan memutar, pertanyaan pancingan sehingga akhirnya dengan terpaksa sang nara sumber memunculkan jawab sesuai yang kita maui, itulah yang menarik bagi seorang wartawan. Intinya, kita harus mampu menempatkan diri dan mensiasati semua pembatas dan halangan yang muncul.
            Jangan sok pinter, apalagi menggurui. Banyak nara sumber yang tidak sukar dengan wartawan yang demikian. Posisikan diri menjadi pendengar yang baik. Saat harus mempertanyakan hal yang sangat pribadi, awali dengan permintaan maaf dan ijin dulu. Seorang wartawan yang salah menempatkan diri, yang didapat minimal adalah rasa malu, bagi diri dan media tentu saja.

           

            Misalkan saja kita sebagai wartawan hendak meliput peristiwa kebakaran sebuah perumahan kumuh di tengah kota Semarang, sebagaimana yang kita bahas di atas. Pastikan penulisan tempatnya benar – benar detail, lengkap dengan RT RW juga kelurahan, kecamatan dan kotanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca media kita yang bukan warga kota Semarang, dapat mengetahui secara pasti lokasi dari kebakaran yang penuh dengan kontroversi itu.
            Wartawan yang baik, sebaiknya tidak sok tahu. Justru kalau memungkinkan  berlagak seolah-olah tidak tahu ( padahal memang benar-benar tidak tahu ). Untuk penulisan sebuah tempat yang masih asing misalnya, atau penyebutan namanya terkontaminasi bahasa Jawa, seperti ndemak, mbatan miroto, mberingin dan lainnya. Agar tidak salah dalam menuliskan nama tempat, jangan pernah malu untuk bertanya. Kalau perlu sodori warta dengan notes dan pulpennya sekalian, suruh dia menulis alamat lengkap dengan detailnya. Untuk mengejar sebuah kebenaran, malu sedikit juga tidak apa apa kok. Wartawan itu juga manusia, tempatnya salah dan alpa.
            Selain empan papan di atas, tepat tempat itu bisa juga kita artikan pada sisi penulisan tempat kejadian perkara. Pada detail dan benarnya menuliskan nama tempat sebuah peristiwa terjadi.
            Terlepas dari upaya kita sebagai wartawan mengejar sebenar-benarnya ejaan nama tempat kejadian perkara peristiwa yang kita liput, untuk penulisan di media massa, sebenarnya ada aturan baku yang tidak mungkin bisa ditinggalkan saat harus menuliskan nama tempat sebuah peristiwa, baik langsung mauoun tidak langsung. Untuk nama negara misalnya, ditulis menurut ucapan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, negara English ditulis Inggris. France ditulis Perancis. Holland ditulis Belanda. Egypt ditulis Mesir. Dan lainnya.
            Sedangkan nama negara yang terpaksa harus diterjemahkan, harus mematuhi hukum DM. Misal, New Zealand ditulis Selandia Baru. Ivory Coast ditulis Pantai Gading. Dan lainnya.
            Untuk nama kawasan, penulisannya sama dengan penulisana nama negara di atas. Hanya jika nama tersebut menyebut pula nama mata angina, penulisan mata angina menggunakan huruf kecil. Misalnya, Asia timur. Tapi apabila mata angina itu sudah melekat dan menjadi nama negara atau kawasan, menggunakan huruf besar semua. Misal. Timur Tengah, Asia Tenggara dll
            Daerah atau provinsi, penulisannya sama seperti penulisan di negara dan kawasan. Sedangkan untuk nama kota / tempat yang belum dikenal, ditulis bersama  kabupaten dan provinsinya.
            Contoh :
            Banyumanik, Semarang, 20/1 ( Harsem )
            .........

            Untuk nama  kota / tempat  yang sama sekali belum dikenal, diberi penjelasan letaknya dari kota lain yang dikenal.
            Contoh :
Pasadena, lebih kurang 1 km dari bunderan Kalibanteng Semarang, terpilih menjadi perumahan teladan  se pulau Jawa ..............

Penyingkatan nama daerah yang belum banyak dikenal, harus ditulis penuh
pada penulisan pertama, selanjutnya cukup singkatannya saja.
            Contoh :
            Indragiri Hilir                          - Inhil
            Indragiri Hulu                         - Inhu
            Ogan Kemering Hilir              - OKU
            Lombok Tengah                      - Loteng
            Kotawaringin Barat                - Kobar
            dll

            Sudah jelaskan? Tepat tempat, itu yang harus terus dibakukan dalam berita-berita kita. Salah menuliskan tempat, bahkan bisa berakibat fatal, media kita minimal bisa di komplain oleh pembacanya, maksimal dituntut. Sedang kita sebagai  wartawan kemungkinan terburuk  di pecat,  karena kecerobohannya itu mengakibatkan kepercayaan pembaca pada media berkurang.

b. Tepat Waktu
            Kerja wartawan itu dibatasi waktu. Pada banyak media, waktu itu bahkan demikian mepet, sehingga kinerja wartawan seolah mengejar bayangan setan. Satu saat di mberok, lain kejadian di pasar Bulu. Kemudian di LP Kedung Pane. Kerja wartawan itu dibatasi dengan ketat oleh jarum panjang dan pendek sebuah jam. Deadline, itulah yang kemudian menjadi istilah paling menakutkan bagi seorang wartawan.
            Tapi, pada banyak wartawan lapangan yang sudah makan asam garam dan kerasnya persaingan di lapangan, deadline terkadang menjadi bahan permainan yang mengasyikkan.  Mereka bisa memainkan waktu demikian efisien dan efektifnya, tanpa harus kehilangan data dan fakta yang harus dikumpulkan. Kenapa bisa begitu ?
            Intinya ternyata terletak pada networking yang telah mereka bina sekian lama. Benar, networking atau jaringan nara sumber yang telah mereka dapat dan bina sekian lama, itulah kelebihan mereka sehingga bisa bermain-main dengan waktu. Untuk sebuah penugasan dengan 3 narasumber yang harus diwawancarai misalnya. Saat wartawan baru harus pontang-panting , sibuk nelpon bikin janji, ke sana kemari mendatangi nara sumber. Wartawan yang sudah mempunyai jaringan, dan berhasil membinanya menjadi sebuah networking  yang terus mendukung, dia tinggal angkat telpon mengutarakan maksudnya, beres. Tidak jarang, atas hubungan baik yang telah terbina itu, nara sumber bersedia dengan senang mengirimkan email jawaban atas kata  yang dipertanyakan. Atau bahkan, sang nara sumber datang ke kantor untuk di wawancarai.
            Jadi ?
Saat harus mengakali deadline, sejuta cara silahkan dipakai. Asal tentu saja tidal lepas dari aturan main atau yang biasa kita kenal sebagai Kode Etik Jurnalistik.  Membentuk dan membina jaringan narasumber, itu yang harus terus dikembangkan oleh seorang wartawan. Setelah itu, lihat saja, semuanya akan mengalir dengan sendirinya.
            Eh , hampir lupa. Sebagai wartawan, kita jangan suka menunda pekerjaan. Saat kita habis liputan straight news, segera bikin beritanya saat itu juga. Kirim lewat email ke redaksi, dan sisa waktu yang ada, silahkan pakai untuk membuat dan membina jaringan sebanyak mungkin. Oke ?

C. Mengamati Detail
            Sebuah peristiwa, baik itu langsung maupun tidak langsung, hendaknya terus diburu detail data dan faktanya. Semakin detail data dan fakta di dapat, semakin tinggi nilai berita kita. Berita yang mentah, dengan data yang miskin atas fakta yang ada, hasil akhirnya bisa dipastikan hanya akan menjadi  berita stoper, berita yang hanya menjadi pengganjal atas lowongnya sebuah halaman. Berita stoper itu, bagi wartawan yang sebenar-benar wartawan, sama sekali tidak ada harganya. Bagi mereka, daripada dijadikan berita stoper, mending berita itu tidak usah dimuat.
            Terus bagaimana caranya mencari detail sebuah peristiwa ?
Ada sebuah petunjuk sederhana dari seorang Bambang Hengky, seorang wartawan senior RCTI. Dia berucap ... ” buka matamu sebelah saat mata yang sebelah sibuk mengintai bilik kamera mencari gambar yang bagus ..... ”
            Artinya ? Kita disuruh jelalatan mengamati semua yang ada di depan kita, meski saat  itu kita lagi terfokus pada  wawancara dengan seorang nara sumber . Untuk sebuah peristiwa yang melibatkan masa banyak lebih-lebih lagi. Mata kita mesti terus meliar, mengamati semuanya yang ada di sekeliling kita, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di sebuah aksi demo yang rusuh. Saat di lapangan, sudah biasa kalau seorang wartawan berlari meninggalkan begitu saja nara sumber yang lagi diwawancarai, saat matanya yang jelalatan melihat sebuah kejadian yang lebih mempunyai nilai berita tinggi.
            Untuk sebuah peristiwa straight news juga. Detail atas kejadian harus bisa ditangkap oleh mata dan diproses oleh untuk untuk kemudian kita tulis. Jangan pernah berhenti hanya mewawancarai satu nara sumber, karena itu sama sekali tidak diajarkan di banyak sekolah jurnalistik. Cari sebanyak mungkin narasumber, buru dan ungkap segala data dan fakta sedetail mungkin. Setelah itu, tunggu beritamu menjadi HL di media kita.
            Tapi untuk sampai pada bisa nya kita mencari data dan fakta sedetail mungkin, yang paling pertama harus dipenuhi adalah, menguasai permasalahan yang ada. Kuasai materinya, dan susunlah detail permasalahan yang akan diburu. Carikan jawabnya di lapangan. Itulah yang paling ideal yang bisa dilakukan semua wartawan, saat dituntut untuk menulis berita dengan detail atas data dan fakta.
            Seorang wartawan harus mau belajar segalanya. Agar tentu saja dia tidak menjadi kambing congek, saat ditugasi mewawancarai seorang pakar ekonomi. Agar dia tidak seperti ketek ditulup, saat harus lebur bersama wartawan kriminal lainnya. Dan agar dia tidak di persona non grata kan oleh wartawan lainnya, karena keberadaannya hanya menjadi pengganggu di lingkungannya.
            Jadi, agar sampai dari kemampuan mengamati dan mencari serta mendapatkan data dan fakta yang detail, seorang wartawan harus :
1.      Menguasai materi
2.      Mempunyai sifat kritis dan insting berburu
3.      Terus meliarkan mata agar tidak ada satupun kejadian yang terlewatkan
4.      Terus bergerak, jangan ndeprok dan hanya menunggu berita
5.      Jangan ingah ingih, harus percaya diri dan jangan takut bertanya

D. Mempelajari Istilah Teknis
            Wartawan itu harus serba bisa. Saat harus bertugas di bidang kriminal, dia harus menguasai banyak istilah teknis kepolisian. Di dunia ekonomi, banyak istilah ekonomi yang harus dipelajarinya. Demikian pula di dunia kesehatan yang sarat dengan istilah medis. Semuanya harus dipelajari dan dikuasai, meski dalam tataran yang paling minimal.
            Jangan sampai kejadian memalukan, seperti salah menuliskan nama penyakit atau salah mengutip istilah ekonomi, terjadi pada kita. Salah mengutip gelar dan penulisannya apalagi. Semuanya memang harus dipelajari. Karena semuanya butuh proses. Maka seorang wartawan harus mau terus belajar. Minimal, mau terus membaca dan membaca, agar tidak sampai ketinggalan informasi terbaru.
            Tapi bagaimana kalau misalnya, kita sebagai wartawan yang dalam kesehariannya bertugas di kriminal, ditugasi redaksi untuk wawancara dengan beberapa tokoh perbankan. Bisa blaik tenan kita. Karena kita semua tahu, banyak istilah asing di dunia ekonomi lebih-lebih dunia perbankan. Menolak penugasan, jelas tidak mungkin.
            Tidak usah khawatir. Ada beberapa tips n trik yang bisa kita pakai untuk mensiasati kurang mampunya kita pada banyak istilah asing itu. Dan ini bisa saya pakai saat harus menghadapi nara sumber yang senang memakai dan menggunakan banyak istilah asing saat harus menjawab banyak kata tanya dari saya.
            Pertama, saya biasanya, sebelum wawancara,  merendah dan mengatakan pada nara sumber, kalau kurang begitu menguasai istilah istilah ekonomi, dan mohon untuk dibantu. Saya bahkan cenderung merendah dan  memposisikan diri  menjadi pendengar yang baik. Komentar yang terucap juga hanya seperlunya. Hasilnya, terkadang begitu sangat luar biasa sekali. Karena, nara sumber dengan senang hati menuliskan istilah yang sulit-sulit itu. Dia juga dengan senang hati menguraikan banyak istilah asing dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
            Untuk  banyak istilah teknis, saya bahkan tidak malu menyodorkan notes kepada nara sumber agar dia mau menuliskan ejaan yang benar. Keterusterangan kita, dan sikap mau menjadi pendengar yang baik itu, yakinlah pasti akan membuat nara sumber senang . Dari situ kita bisa berharap banyak, akan ada umpan balik sehingga data dan fakta yang termunculkan, menjadi tidak terduga dan punya nilai berita tinggi.
            Kedua, saat waktu sudah demikian mepet dan tidak bisa ditunda lagi. Yang biasa saya lakukan adalah, mengajak wartawan  ekonomi dari media lain. Kalau misalnya, berita yang akan diturunkan adalah berita khusus dan akan menjadi laporan khusus dari media kita, maka yang saya ajak adalah wartawan radio atau wartawan televisi. Hal itu untuk menjaga eksklusifitas berita yang akan diturunkan oleh media cetak milik kita.
            Dengan pertolongan teman itulah, kita kemudian bisa saling sharing, khususnya untuk istilah – istilah teknisnya. Yakinlah, meski kita sama – sama wawancara dengan satu nara sumber, satu permasalahan, penyerapan kemudian penulisannya bisa dipastikan akan berbeda. Apalagi wartawan radio dan televisi biasanya beritanya singkat dan padat.
           
            Meski dua tips di atas bisa kita pakai. Tetap saja yang namanya wartawan harus tetap belajar. Wartawan yang tidak mau mengembangkan diri, bisa dipastikan akan tersingkir dari banyak penugasan yang membutuhkan keseriusan. Berita-berita yang bisa menjadi HL, berita utama, reportase dan lainnya, bisa dipastikan akan diberikan kepada orang lain, di saat kita di cap sebagai wartawan kacangan.
            Berprestasilah dengan belajar. Karena di manapun juga keberadaan kita, lingkungan selalu melihat kita, para wartawan, sebagai orang yang lebih, orang yang  menguasai banyak informasi.  Lha kalau kita lholah lholog, plonga – plongo, hehehehe ....  wartawan kok gitu sih ?    Udah,  malu deh kita. (Ragil Wiratno)