InDAhnYa BeRBAgI

Selalu ingin berbagi, itulah pustaka CONAN.
Saat ada amanah di diri, maka itu adalah perjuangan untuk berbagi dengan tulus dan ikhlas kepada sesama.
Selamat datang semuanya.
Saat kalian merasa harus berbagi, apapun itu, maka disinilah tempatnya.
Sebab, berbagi itu ibadah. Dan ibadah itu surga jaminannya.

Selasa, 08 Maret 2011

H. ALI AKHSUN WIJAYA SH

PERLU PERUBAHAN PARADIGMA


PERLU PERUBAHAN PARADIGMA


PERLU PERUBAHAN PARADIGMA


PAUD MENJAMUR, KUALITAS KABUR

PAUD Menjamur, Kualitas Kabur?

            Semenjak pemerintah mencanangkan program percepatan pendirian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan menggelorakan masyarakat untuk memperhatian pendidikan sejak dini, menjarmurlah sekolah-sekolah untuk bayi dan anak-anak di seantero negeri.
            Tak hanya Kementrian Pendidikan dan Dinas Pendidikan yang sibuk, kementrian lain dan organisasi kemasyarakatan ikut ramai menyambut program tersebut.
Ada Kementerian Agama yang membuat PAUD-Taman Pendidikan Al-Qur;an (TPQ), ada  Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang membuat Pos PAUD di tiap RW, banyak pula ormas lain yang mendirikan PAUD formal bernama Taman Kanak Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau Bustanul Athfal (BA). Maka tumbuhlah PAUD bak jamur di musim hujan.
            Di kota maupun desa, di kawasan tengah maupun pinggiran, sekarang ini hampir bisa dipastikan ada PAUD.
Banyaknya PAUD di mana-mana, tentu menggembirakan. Menunjukkan telah adanya perhatian yang besar terhadap pendidikan. Keinginan pemerintah untuk memberi pendidikan pada setiap penduduk sejak usia dini, agaknya mendapat sambutan dan cukup berhasil.
            Namun apakah setiap PAUD telah memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya? Bagaimana dengan kualitasnya?, rasanya masih patut dievalusi. Apakah sudah terstandar atau belum. Apa sudah bagus, atau masih asal-asalan untuk mengejar target proyek.

Jangan Korbankan Kualitas
            Pakar pendidikan anak usia dini Dedy Andriyanto mengatakan, program pendirian pos-pos PAUD yang menjamur di Indonesia saat ini merupakan kabar. Baik. Itu patut disambut positif sebagai kesadaran atas pendidikan untuk generasi bangsa.
            Menurut fasilitator PAUD Unicef perwakilan Jateng ini, gencarnya pendirian PAUD akan meningkatkan angka partisipasi kasar anak yang belum terlayani pendidikan.
            Selama ini, ungkap dia, anak-anak Indonesia memang kurang mendapat pendidikan saat berusia dini. Pelayanan terhadap mereka masih rendah sekali, karena pemerintah hanya melayani SD hingga SMA.
            ”Pos-pos PAUD merupakan tren baru. Itu akan mengisi angka partisipasi kasar pendidikan anak yang selama ini kurang terlayani,” tutur narasumber pelatihan PAUD Kemendiknas ini.
            Ditambahkannya, banyaknya lembaga-lembaga PAUD mengandung resiko soal kualitas. Jangan sampai kuantitas terpenuhi tapi kualitas tertinggal. Jika hal tersebut terjadi, kata dia, maka keinginan untuk memperbaiki generasi malah tidak tercapai.
            Hal itu menurutnya juga berhubungan dengan ketersediaan guru PAUD.  Menjamurnya PAUD, kata Dedi, tidak diimbangi ketersediaannya guru PAUD yang semestinya. Lulusan PGSD maupun PGTK, apalagi psikolog anak, jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan semestinya lembaga PAUD.
Di Jateng saja, belum ada satupun perguruan tinggi yang mendapat akreditasi sebagai penyelenggara pendidikan guru PAUD. Di Indonesia yang sudah mendapat akreditasi itu baru Universitas Negeri Jakarta.
            ”Kita masih punya PR besar juga. Pemasok guru yang ada di Jateng; Unnes, IKIP PGRI, IKIP Veteran dan lainnya, belum ada yang dapat akreditasi penyelenggaraan PAUD. Jadi dosennya saja belum standar,” tuturnya.
            Pernyataan yang sama juga diungkapkan Kundarti Ari SPd, kepsek TK Al Firdaus Mijen. Menurutnya, kualitas guru di TK seharusnya menjadi prioritas, sebab di TK inilah, pada diri anak mulai ditanamkan ajaran-ajaran dasar yang mencakup segalanya, sebagai bekal dia kelak. Kalau kemudian, ajaran itu kurang maksimal in putnya, out putnya juga tidak akan baik.
            ” Manajemen sekolah dituntut untuk terus mengembangkan kualitas tenaga didiknya secara mandiri. Ikutkan tenaga didik di banyak pelatihan untuk pengembangan profesionalitas mereka. Kalau perlu, kuliahkan mereka. Karena, kelulusan yang baik dipastikan akan berdampak pada keberadaan sekolah itu sendiri,” ungkap Kundarti lebih lanjut.
            Sementara Kepsek TK ABA 54 Semarang, Nasih Sari Asih SAg, melihat pada perekrutan tenaga didik lah yang sangat menentukan keberadaan sebuah TK. Sebab, kalau sebuah institusi pendidikan merekrut tanag didik seadaanya, maka kualitas dan profesionalitas mereka, patut dipertanyakan.
            ”Paud dan TK yang seadanya itulah, yang kemudian menyulut munculnya sinyalemen akan kaburnya mutu pendidikan di tingkat awal itu. Kalau mau  jujur, budget dana yang besar, yang akan menjadi penentu mutu tidaknya tenaga didik di sebuah PAUD atau TK. Sebab dengan dana yang besar itu, pihak sekolah bisa merekrut tenaga didik yang memang berspesifikasi dan profesional. Disamping itu, sarana prasarana KBM juga bisa dilengkapi. Dan semuanya itu bisa didapat, kalau manajemen sekolah dikelola secara profesional, transparan oleh tenaga yang akuntable dan memang bidangnya. ” Ungkap Nasih panjang lebar.

Jangan Ada Mal Praktek
Dedi yang menjadi Ketua Bidang Litbang HIMPAUDI Jawa Tengah menjelaskan,  usia dini yang berarti 0 sampai 6 tahun adalah masa anak bermain.  Soal usia ini menurut standar internasional sampai 8 tahun. Berdasar teori perkembangan usia manusia menurut psikologi analisa. Mereka berada pada tahapan perkembangan otak kanan yang berciri banyak bergerak dan mengalami banyak hal. Titik beratnya pada pembentukan karakter.
            Maka yang pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah perilaku, pengenalan benda, ataupun asupan kasih sayang. Caranya harus selalu menyenangkan; dengan bermain, bernyanyi, tepuk tangan dan sebagainya. Mereka diberi tentang konsep berpikir, untuk diberi pelajaran pada usia selanjutnya. Tak boleh diajak menghafal, berpikir analisa dan seterusnya.
            ”Kami di Hampaudi sudah lama mengampanyekan, bahwa hanya dengan bermain, anak bisa belajar. Bukan sebaliknya,” tandasnya.
Masalahnya, paradigma pengampu kebijakan bidang pendidikan, guru maupun masyarakat pada umumnya, yang namanya pendidikan selalu diartikan mengajari membaca menulis dan berhitung (calistung).
            Karena pola pikir yang salah kaprah itu, maka anak-anak PAUD pun diajari calistung. Itulah yang disebutnya mal praktek. Dan jika hal itu terjadi, jelas akan semakin menjauhkan kualitas dari idealita pendidikan.
            ”Paradigma pendidikan selama ini selalu mengarah ke pengajaran calistung. Itu jelas mal praktek dalam PAUD. Apalagi kalau sampai anak diajari dengan cara didrill,” tutur pendiri PAUD Cahaya Ilmu Gayamsari Semarang ini,
Mal praktek berikutnya, tambah sarjana dari Unnes ini, adanya guru PAUD yang tidak standar. Alias bukan ahlinya untuk mendirik anak usia dini.
Diuraikannya, guru PAUD haruslah orang yang mengerti psikologi anak. Tak harus sarjana psikologi, tapi harus mengerti fitrah anak pada usia dini tersebut. Apabila gurunya tak mengerti hal itu, apalagi salah kaprah dalam mengajari calistung, maka akibatnya bisa lebih buruk. Bukannya anak-anak akan mengalami masa pertumbuhan yang menyenangkan, melainkan trauma yang terbawa hingga seterusnya dalam kehidupan.
”Usia dini adalah masa emas seorang manusia. Anak harus dididik secara benar dan ideal. Tak cukup guru PAUD orang yang sekedar sayang anak. Tapi harus yang kompeten sebagai guru. Sebab fungsinya pengasuh anak,” tuturnya.
Mal praktek lebih buruk, lanjutnya, jika sebuah PAUD didirikan dengan cara koruptif, kplutif atau manipulatif. Sudah menjadi rahasia umum, kata Dedi, banyak pos PAUD dibuat oleh oknum pejabat atau orang yang kenal pejabat, untuk mengeruk uang dari proyek tersebut.
Jika hal itu terjadi, maka PAUD sudah cacat sejak awal lahir. Bagaimana mau menyiapkan generasi bangsa yang baik, jika pendidikan usia dininya saja sudah dikotori korupsi.
Namun Dedi memberi hormat setinggi-tingginya atas semangat kader-kader PKK mengelola PAUD di kampung-kampung. Mereka, menurut fasilitator PAUD-TPQ Kementerian Agama RI ini, adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Sebab tak hanya menjadi ujung tombak, tetapi sekaligus jadi ujung tombok dalam menyelenggarakan PAUD.
Untuk itulah ia minta pemerintah memberi perhatian kepada mereka. Sebab biasanya mereka adalah ibu-ibu yang ikhlas mendidik, dan juga menjadi kader posyandu.
            ”Saya harap pemerintah dan pengurus PKK di tingkat kabupaten atau kecamatan memberi perhatian pada ibu-ibu kader PAUD. Mereka harus diberi penghargaan,” tandasnya.

PAUD MENJAMUR, KUALITAS KABUR

PAUD MENJAMUR, KUALITAS KABUR

PAUD Menjamur, Kualitas Kabur?

            Semenjak pemerintah mencanangkan program percepatan pendirian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan menggelorakan masyarakat untuk memperhatian pendidikan sejak dini, menjarmurlah sekolah-sekolah untuk bayi dan anak-anak di seantero negeri.
            Tak hanya Kementrian Pendidikan dan Dinas Pendidikan yang sibuk, kementrian lain dan organisasi kemasyarakatan ikut ramai menyambut program tersebut.
Ada Kementerian Agama yang membuat PAUD-Taman Pendidikan Al-Qur;an (TPQ), ada  Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang membuat Pos PAUD di tiap RW, banyak pula ormas lain yang mendirikan PAUD formal bernama Taman Kanak Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau Bustanul Athfal (BA). Maka tumbuhlah PAUD bak jamur di musim hujan.
            Di kota maupun desa, di kawasan tengah maupun pinggiran, sekarang ini hampir bisa dipastikan ada PAUD.
Banyaknya PAUD di mana-mana, tentu menggembirakan. Menunjukkan telah adanya perhatian yang besar terhadap pendidikan. Keinginan pemerintah untuk memberi pendidikan pada setiap penduduk sejak usia dini, agaknya mendapat sambutan dan cukup berhasil.
            Namun apakah setiap PAUD telah memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya? Bagaimana dengan kualitasnya?, rasanya masih patut dievalusi. Apakah sudah terstandar atau belum. Apa sudah bagus, atau masih asal-asalan untuk mengejar target proyek.

Jangan Korbankan Kualitas
            Pakar pendidikan anak usia dini Dedy Andriyanto mengatakan, program pendirian pos-pos PAUD yang menjamur di Indonesia saat ini merupakan kabar. Baik. Itu patut disambut positif sebagai kesadaran atas pendidikan untuk generasi bangsa.
            Menurut fasilitator PAUD Unicef perwakilan Jateng ini, gencarnya pendirian PAUD akan meningkatkan angka partisipasi kasar anak yang belum terlayani pendidikan.
            Selama ini, ungkap dia, anak-anak Indonesia memang kurang mendapat pendidikan saat berusia dini. Pelayanan terhadap mereka masih rendah sekali, karena pemerintah hanya melayani SD hingga SMA.
            ”Pos-pos PAUD merupakan tren baru. Itu akan mengisi angka partisipasi kasar pendidikan anak yang selama ini kurang terlayani,” tutur narasumber pelatihan PAUD Kemendiknas ini.
            Ditambahkannya, banyaknya lembaga-lembaga PAUD mengandung resiko soal kualitas. Jangan sampai kuantitas terpenuhi tapi kualitas tertinggal. Jika hal tersebut terjadi, kata dia, maka keinginan untuk memperbaiki generasi malah tidak tercapai.
            Hal itu menurutnya juga berhubungan dengan ketersediaan guru PAUD.  Menjamurnya PAUD, kata Dedi, tidak diimbangi ketersediaannya guru PAUD yang semestinya. Lulusan PGSD maupun PGTK, apalagi psikolog anak, jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan semestinya lembaga PAUD.
Di Jateng saja, belum ada satupun perguruan tinggi yang mendapat akreditasi sebagai penyelenggara pendidikan guru PAUD. Di Indonesia yang sudah mendapat akreditasi itu baru Universitas Negeri Jakarta.
            ”Kita masih punya PR besar juga. Pemasok guru yang ada di Jateng; Unnes, IKIP PGRI, IKIP Veteran dan lainnya, belum ada yang dapat akreditasi penyelenggaraan PAUD. Jadi dosennya saja belum standar,” tuturnya.
            Pernyataan yang sama juga diungkapkan Kundarti Ari SPd, kepsek TK Al Firdaus Mijen. Menurutnya, kualitas guru di TK seharusnya menjadi prioritas, sebab di TK inilah, pada diri anak mulai ditanamkan ajaran-ajaran dasar yang mencakup segalanya, sebagai bekal dia kelak. Kalau kemudian, ajaran itu kurang maksimal in putnya, out putnya juga tidak akan baik.
            ” Manajemen sekolah dituntut untuk terus mengembangkan kualitas tenaga didiknya secara mandiri. Ikutkan tenaga didik di banyak pelatihan untuk pengembangan profesionalitas mereka. Kalau perlu, kuliahkan mereka. Karena, kelulusan yang baik dipastikan akan berdampak pada keberadaan sekolah itu sendiri,” ungkap Kundarti lebih lanjut.
            Sementara Kepsek TK ABA 54 Semarang, Nasih Sari Asih SAg, melihat pada perekrutan tenaga didik lah yang sangat menentukan keberadaan sebuah TK. Sebab, kalau sebuah institusi pendidikan merekrut tanag didik seadaanya, maka kualitas dan profesionalitas mereka, patut dipertanyakan.
            ”Paud dan TK yang seadanya itulah, yang kemudian menyulut munculnya sinyalemen akan kaburnya mutu pendidikan di tingkat awal itu. Kalau mau  jujur, budget dana yang besar, yang akan menjadi penentu mutu tidaknya tenaga didik di sebuah PAUD atau TK. Sebab dengan dana yang besar itu, pihak sekolah bisa merekrut tenaga didik yang memang berspesifikasi dan profesional. Disamping itu, sarana prasarana KBM juga bisa dilengkapi. Dan semuanya itu bisa didapat, kalau manajemen sekolah dikelola secara profesional, transparan oleh tenaga yang akuntable dan memang bidangnya. ” Ungkap Nasih panjang lebar.

Jangan Ada Mal Praktek
Dedi yang menjadi Ketua Bidang Litbang HIMPAUDI Jawa Tengah menjelaskan,  usia dini yang berarti 0 sampai 6 tahun adalah masa anak bermain.  Soal usia ini menurut standar internasional sampai 8 tahun. Berdasar teori perkembangan usia manusia menurut psikologi analisa. Mereka berada pada tahapan perkembangan otak kanan yang berciri banyak bergerak dan mengalami banyak hal. Titik beratnya pada pembentukan karakter.
            Maka yang pendidikan yang diberikan kepada mereka adalah perilaku, pengenalan benda, ataupun asupan kasih sayang. Caranya harus selalu menyenangkan; dengan bermain, bernyanyi, tepuk tangan dan sebagainya. Mereka diberi tentang konsep berpikir, untuk diberi pelajaran pada usia selanjutnya. Tak boleh diajak menghafal, berpikir analisa dan seterusnya.
            ”Kami di Hampaudi sudah lama mengampanyekan, bahwa hanya dengan bermain, anak bisa belajar. Bukan sebaliknya,” tandasnya.
Masalahnya, paradigma pengampu kebijakan bidang pendidikan, guru maupun masyarakat pada umumnya, yang namanya pendidikan selalu diartikan mengajari membaca menulis dan berhitung (calistung).
            Karena pola pikir yang salah kaprah itu, maka anak-anak PAUD pun diajari calistung. Itulah yang disebutnya mal praktek. Dan jika hal itu terjadi, jelas akan semakin menjauhkan kualitas dari idealita pendidikan.
            ”Paradigma pendidikan selama ini selalu mengarah ke pengajaran calistung. Itu jelas mal praktek dalam PAUD. Apalagi kalau sampai anak diajari dengan cara didrill,” tutur pendiri PAUD Cahaya Ilmu Gayamsari Semarang ini,
Mal praktek berikutnya, tambah sarjana dari Unnes ini, adanya guru PAUD yang tidak standar. Alias bukan ahlinya untuk mendirik anak usia dini.
Diuraikannya, guru PAUD haruslah orang yang mengerti psikologi anak. Tak harus sarjana psikologi, tapi harus mengerti fitrah anak pada usia dini tersebut. Apabila gurunya tak mengerti hal itu, apalagi salah kaprah dalam mengajari calistung, maka akibatnya bisa lebih buruk. Bukannya anak-anak akan mengalami masa pertumbuhan yang menyenangkan, melainkan trauma yang terbawa hingga seterusnya dalam kehidupan.
”Usia dini adalah masa emas seorang manusia. Anak harus dididik secara benar dan ideal. Tak cukup guru PAUD orang yang sekedar sayang anak. Tapi harus yang kompeten sebagai guru. Sebab fungsinya pengasuh anak,” tuturnya.
Mal praktek lebih buruk, lanjutnya, jika sebuah PAUD didirikan dengan cara koruptif, kplutif atau manipulatif. Sudah menjadi rahasia umum, kata Dedi, banyak pos PAUD dibuat oleh oknum pejabat atau orang yang kenal pejabat, untuk mengeruk uang dari proyek tersebut.
Jika hal itu terjadi, maka PAUD sudah cacat sejak awal lahir. Bagaimana mau menyiapkan generasi bangsa yang baik, jika pendidikan usia dininya saja sudah dikotori korupsi.
Namun Dedi memberi hormat setinggi-tingginya atas semangat kader-kader PKK mengelola PAUD di kampung-kampung. Mereka, menurut fasilitator PAUD-TPQ Kementerian Agama RI ini, adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya. Sebab tak hanya menjadi ujung tombak, tetapi sekaligus jadi ujung tombok dalam menyelenggarakan PAUD.
Untuk itulah ia minta pemerintah memberi perhatian kepada mereka. Sebab biasanya mereka adalah ibu-ibu yang ikhlas mendidik, dan juga menjadi kader posyandu.
            ”Saya harap pemerintah dan pengurus PKK di tingkat kabupaten atau kecamatan memberi perhatian pada ibu-ibu kader PAUD. Mereka harus diberi penghargaan,” tandasnya.