Selasa, 08 Maret 2011

PERLU PERUBAHAN PARADIGMA


 

            Disampaikan Dedi, soal PAUD dan tenaga pendidiknya, sudah diatur dalam Permendiknas nomor 16 tahun 2007. ada kabar gembira dalam aturan baru tersebut. Yaitu telah dijadikan satunya PAUD formal dan PAUD non formal dalam satu direktorat.  Itu berarti, tak ada pembedaan oleh pemerintah terhadap PAUD di masyarakat.
            Pemerhati anak ini menegaskan, memang ada standar kualitas bagi pendidik PAUD. Ada yang disebut pengasuh, ada pendamping, ada guru. Untuk menjadi guru PAUD syarakatnya berat. Untuk mengatasi hal itu, diklat rutin perlu dilakukan. Baik oleh pemerintah, pemilik PAUD, maupun perhimpunan guru PAUD.
            Ikatan guru taman kanak-kanak Indonesia (IGTKI), juga Ikatan Guru Raudhatul Athfal (IGRA),  kata dia, sudah punya program pembinaan untuk pendidik dan tenaga kependidikan bagi PAUD formal. Mereka tinggal menambahkan program pembinaannya kepada PAUD non formal. Jadi nantinya bisa seragam alias terstandar.
            Namun ia berpesan, tak perlu ada penyamaan dalam PAUD. Biarkan mempunyai ciri khas masing-masing asalkan tidak mal praktek. Sebab jika disamakan malah tidak bisa berkualitas.
            ”Misalnya, jika anak senang menyanyi, atau sebuah PAUD hanya memberi pelatihan menyanyi, itu didukung saja. Malah bagus jadi spesialis. Intinya tak boleh disamaratakan,” tegasnya. 
            Kepsek  PAUD Islam Teladan Bina Fitrah di Banyumanik, Noor Kholis SS, juga melihat hal yang sama pada pola pengajaran di PAUD atau TK. Menurutnya, anak-anak batita itu punya kepribadian dan karakter serta kemampuan yang berbeda-beda. Sebuah PAUD atau TK yang baik, harus mampu melihat untuk kemudian masuk ke dalam diri  masing-masing anak. Perbedaan yang ada di diri anak itu sebuah tantangan. Bagaimana tenaga didik menghadapi tantangan itu, dan berhasil menanamkan akidah, akhlak dan membangkitkan  kemampuan dasar untuk bekal mereka melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, itulah yang penting.
            ”Sehingga, kalau kemudian tenaga didik menyamaratakan karakter dan kemampuan si anak dalam sebuah pola pengejaran yang seragam dan cenderung kaku, maka bisa dipastikan si anak tidak akan mampu berkembang  maksimal sesuai dengan kemampuan dasarnya itu.” Ungkapnya lebih lanjut.


Perlu Perubahan Paradigma
            Menurut Kholis, selama ini, pendidikan usia dini dianggap gampang. Orang mengira, mengajar anak kecil tentu mudah. Maka, jika ada guru baru yang diterima di sebuah sekolah, biasanya disuruh mengajar kelas 1, 2, 3. Karena dianggap kelas rendah yang tak menuntut kemampuan lebih. Apalagi guru TK. Dianggap lebih ringan lagi karena dikira tak perlu berpikir keras.
            Hal itu menurut Dedi jelas salah kaprah. Justru kelas awal tersebut menuntut tanggungjawab besar. Jauh lebih sulit mendidik ideal anak-anak kelas 1, 2 dan 3 SD daripada kelas selanjutnya. Dibutuhkan kesabaran, kasih sayang, dan kemampuan berpikir lebih banyak daripada jika mengajar kelas tinggi.
            ”Seharusnya guru PAUD sampai kelas 3 SD itu yang paling senior. Yang paling sabar dan berpengalaman. Bukan yang baru magang. Inilah PR kita untuk mengubah paradigma yang ada,” terang Dedi.
            Dia tegaskan, mendidik anak usia dini adalah membangun pondasi bagi sebuah bangsa. Baik buruknya bangsa, ditentukan baik atau butuknya pendidikan warganya saat usia dini. Jika mendapat pendidikan yang baik, maka bangsa ini berada pada pondasi yang kokoh dan baik. Demikian pula sebaliknya.
            Pola pikir yang juga harus diubah, lanjutnya, pejabat dinas pendidikan yang mengangkat pengawas atau penilik PAUD dari guru TK. Para pengawas PAUD mestinya orang yang paham tentang PAUD, setidaknya guru TK senior yang telah berpengalaman. Lebih bagus lagi jika seorang psikolog.
            Yang lebih penting lagi, demikian Dedi, adalah perubahan paradigma mendasar soal intelijensi manusia. Ukuran kepintaran selalu dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Tentu saja itu hanya satu kecerdasan (single inteligency). Padahal setiap orang memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligencies) yang menurut Prof. Howard Gardner, psikolog dan pakar ilmu saraf dari Universitas Harvard, AS, ada 9 jenis kecerdasan manusia. Dalam bukunya, Intelligence Reframed: Multiple Intelligence for The 21st Century’ (1999), Gardner menjelaskan; kecerdasan verbal (menyusun kata), matematis (logika), kinestetik (gerak tubuh), musikal, intrapersonal (cerdas diri), interpersonal (cerdas bergaul), naturalis (cerdas alam), dan eksistensial (cerdas makna).
            Jadi ?
Jika  hanya mengajarkan kecerdasan logika pada anak-anak,  menurut Kholis generasi ini akan terus berada dalam kegagalan. Sebab menurut Prof Daniel Goleman, penemu kecerdasan emosional (emotional Intelligent) kesuksesan seseorang bukan ditentukan oleh IQ, melainkan EQ (emotional Quotient).
            Selain itu, kecerdasan logika hanya akan membuat orang berpikiran serba fisik-materialis. Sebab tak ada sentuhan rohani atau kecerdasan spiritual di dalamnya. Akibatnya tentu lebih buruk. Bukan hanya kegagalan, melainkan juga kerusakan. Kehancuran sebuah bangsa.
            Naudzubillahi min dzalik. Kita berlindung kepada Allah atas hal tersebut.
Lha kalau Kak Seto sendiri bagaimana mensikapi tudingan kurang bermutunya tenaga didik di banyak PAUD / TK akibat booming itu ? Secara eksplisit tokoh kita tidak membenarkan atau menyalahkan tudingan itu. Dia hanya menyebut beberapa hal yang perlu dilakukan guru dan atau orang tua  agar sukses mendidik anak di usia dini.
Ini tip dari Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kak Seto, untuk menjadi guru dan orang tua yang sukses mendidik anak di usia dini, perlu melakukan hal sebagai berikut: Usahakan untuk tidak mematikan spontanitas anak. Usahakan untuk tidak berprasangka buruk pada anak maupun orang lain. Upayakan agar dapat mendidik dan membesarkan anak dengan kasih sayang serta keakraban dalam lingkungan keluarga. Tumbuhkanlah rasa percaya diri anak dengan tidak menekan anak sehingga anak menjadi takut mencoba sesuatu hal yang baru serta dapat mengambil kesimpulan yang salah terhadap suatu peristiwa. Serta Upayakan agar anak dapat membuat dan memiliki prioritas hidup

Bagaimana Rasulullah mengalami PAUD?
            Totok Sudaryanto, sekretaris Badan Koordinasi Taman Pendidikan Al-Qur’an (Badko TPQ) Kota Semarang menguraikan, Rasulullah Muhammad SAW mendapat pendidikan ideal pada masa kecilnya.
            Di usia dini, Nabi Muhammad dididik Allah melalui paman dan kakeknya, menggembalakan kambing. Itu maknanya, ia dilatih bisa memahami alam. Kecerdasannya digladi langsung angon  hewan bertelinga tebal tersebut, untuk kelak jika menjadi pemimpin akan bisa menghadapi orang-orang yang tebal kuping alias angel dikandani (sulit dinasehati). Agar bisa ngemong alias menggembala umat yang macam-macam karakternya.
            Angon wedhus adalah pengembangan otak kanan yang luar biasa. Orang yang otak kanannya distimulasi sejak dini, akan hebat di kemudian hari,” tutur ustad TPQ ini.
            Dilanjutkannya, setelah cukup menjalani masa menggembala, Muhammad bin Abdullah dididik Allah dengan pola sama, pengembangan otak kanan. Yaitu dia menjadi sales barang dagangan milik janda kaya di suku Quraiys, Khadijah.
Dengan berdagang itu pula, menurut Totok, makhluk mulia Allah itu belajar memahami bermacam karakter manusia. Maka lengkaplah ia mendapat 2 ilmu, menghadapi hewan dan alam, serta menghadapi manusia. Sehingga ia menjadi orang yang jujur, bisa dipercaya oleh kaumnya, sebelum menjadi Nabi. (icw)