Selasa, 25 Januari 2011

puisi - puisi tentang kepustakaan

--------------------------------------------------------------------------------


Aku mesti tersuruk  dulu di lembaran itu

Betapa ……
Aku mesti tersuruk dulu selepas helaan nafas memaku tajam nurani
Menggeretakkan diri, terpaku,  sementara barisan kata memakna
Menggapai kesadaran atas kenyataan yang tertuang nyata dilembaranmu
Sejarah mesti nyata atas segala yang menggejolak itu
Agar yang ada tetap menampilkan nyata disemua sisi dunia
Agar yang ada terbaitkan seluruh tanpa pernah disirnakan kuasa itu

Darah itu, nyawa itu
Adalah perjuangan memuncakki makna hakiki atas kesungguhan untuk berarti
Kenapa itu mesti dilabuh labur demi semunya kekuasaan itu
Padahal lontar pun mencatat kejam sejarah kemanusiaan
Tidak ada yang mesti disingkirkan jaman, sebab yang nyata mesti ada
Atas lembaran kusam itu sejarah kemanusiaan tak mungkin  terhempaspaksakan
Tapi sekali lagi,
Sejarah mesti ada demi semua yang tertuang nyata di kuasanya manusia
Sejarah mesti ada bagi mereka, anak-anak dunia

Dan betapa atas dinginnya tembok kusam itu, menyembunyi nyata yang ada
Mencatat langkahan tinggi peradaban duniawi, semesta segala
yang lantas membujurkakukan mimpi untuk membuat berarti
Maka: bacalah!
Seketika dunia membola kaca, menjulurkan semua yang tersembunyi
Mencairkan kebekuan yang lantas memancarkan segala ke penuh seluruh kisah manusia
Ada raihan masa depan itu yang tersunggingkan kata demi kata
Sempurna untuk dimainkan demi pencapaian yang hakiki
Setelahnya, pustaka itu sempurna mewarna segala
Dan aku harus lebih sering terbenam digeletarannya demi ilmunya yang menyatu

Dan maha sempurnanya Dia
Adalah nyata meski harus terserak dalam labirin tanpa tepi
Sepi yang kemudian membenamkannya
Mengharap mungil cecap gempita itu meraihnya, menepiskan laksaan debu
Dan betapa,  lelehan yang mengalir adalah nyata dan ada
Atas semua sejarah kemanusiaan
Atas semua perjuangan panjang merangkai mimpi
Dan itu hakiki untuk hidup makin berarti
Agar yang nyata tetap ada, meski terbenam di selaksa debu disebaliknya tembok beku.
Dunia itu, denyut yang diam-diam memakutajam di heningnya tumpukan kalbu

Di lembaran buku di laksaan almari beku itu
Semua tanyaku muncul selepas raga melepas paksa laksaan katanya
Aku ternyata harus lebih sering  tersuruk dibenamnya denyut lingkaran ilmu itu
Aku ternyata harus lebih sering mendatangimu, merengkuhmu, mencintaimu
Penuh seluruh, padu agar bisa berseru!
Bahwa aku mampu.
                                                ****

ATAS KUASAMU WAHAI
( untukmu  bapak )

Debu itu, saat ini
Menjadi uraian nyata tanpa makna yang melingkup luruh peradaban
Memburamkan kaidah hidup yang dengan susah payah dijalin ungkapkan
Selalu kenyataan ditutupkan oleh geliat ragu selepas tidur
Yang muncul kemudian sia-sia, padahal sebatas khayalan tidak pernah sampai di angan

Wahai sang pencerah alam
Betapa laksaan debu itu menutup ribuan debur yang terangkai dalam lembarnya
Dalam kata, kalimat, dalam baitnya.  Dalam jilidnya, padahal semua ada
Semua nyata, meski kuasa terkadang menghapusnya demi kemahaan
Dalam buramnya yang kian melapuk ada ilmu itu
Dan aku bisa terbang nyandingkan angan dan ingin atasnya
Seharusnya buram atas lembaran itu terjaga demi masa anak-anakku

Demi mereka, adanya tembok kusam jejeran almari beku meski dilebur
Kuasamu wahai sang pencerah
Berikan cahaya itu agar memancar
Menyerumu tidak perlu membumi runtuh, saat sadar atas yang nyata muncul
Maka, laksaan ilmu itu, deraian nyata yang ada itu pasti terang
Seharusnya yang sembunyi atas siratan yang tersurat tida\k usah jadi rahasia lagi
Seharusnya itu menjadi mainan penuh seluruh generasi akhirmu
Dan cecap ceria itu bisa diatasnamakan masa depan saat terpegang rahasia itu
Lembaran bukumu itu

Duhai sang Pencerah\
Ijinkan mahamu dibalik diserapkan oleh mereka dengan keleluasaan segala
Jangan kau bikin tembok tinggi, sebab itu menyeramkan
Jangan kau rumitkan pintu masukmu, sebab itu akan jadi labirin yang menyesatkan
Cukuplah kau gelar semesta itu, panggili dia
Betapa kuasamu akan memancar dan meja kursimu tidak akan lagi berdebu
Begitu jua semesta berjalanmu itu
Tengok, hampiri dan ketuk segala di kumuhnya peradaban yang belum terjamah itu
Maka cerahmu akan benar-benar kuasa atas masa depan
Biar  amanah atas laksaan ilmu itu tidak lagi membeban
Dan kamu, akan menjadi sang pencerah sebenar-benarnya cerah

Atas kuasamu wahai
Ijinkan anak-anakmu leluasa keluar masuk mencecap laksaan nyata yang ada
Benteng itu, runtuhkan, buka keluasnya segala
Sebab, amanah yang ada mesti dibagi agar tidak lagi jadi beban
Sebab, semua yang nyata dan ada itu surga anugerahnya
Indahnya, hanya untukmu
Untukmu
                                      ****

Jangan Tutup Pintu Duniamu

 [ perlukah aku hadirkan nyanyian itu
   agar yang ada terbuka membuka segala untuk mereka ]

Kuasamu wahai bapa
Menjaga keleluasaan itu jangan seperti menutup pintu dunia

Amanah itu seharusnya untuk mereka, bukan untukmu juga dia
Sebab segala keterpaksaan, keingintahuan, adalah dipeluknya
Dipelukmu sejuta kalimat diuntai untuk dilebur dalam sebuah labirin tunggal
Kenapa mesti ada laksaan debu disegenap uraian itu
Sementara yang tersirat selalu didamba menjawab segala
Yang tersurat semestinya akrab demi masa depan mereka
Apakah itu karena tangan-tangan mungil tak lagi sempat bermain petak umpet
dikeluasaan tikungan dan kelokan rak dan almari laksaan bukumu

Dunia yang melamur di mata, di hati semestinya semua bisa menjawab
dan lihat itu liaran mata yang membola, ada kerinduan untuk mencarimu
Sebab kamu menggenggam dunia,  jangan rengkuhi segala itu
hanya untukmu, hanya demi rutinitas menjemukan itu
Ada amanah yang mesti kamu bagi demi segala pencapaian akhir mereka
dan itu ada di laksaan pintu dunia yang makin berdebu itu
dipintu masukmu, jangan terhalangi birokrasi yang membelit
Pancangkan riang maka akan berduyun kaki kaki kecil berjingkrak senang
dan debu itu adalah sejarah saat ingus yang meleler disedot oleh kehausan
memaknai yang tersirat dalam laksaan suratan berdebu itu

Jendela dunia mulai membuka dan kerinduan itu pasti akan terpuaskan
Saat kuasamu berjalan semestinya menjenguk segala pintu resah dibalik tembok kumuh
Dari semua keterpaksaan yang dirampas oleh ketidakmampuan duniawi
saat itulah kamu mesti ada , saat itulah kesadaran akan ilmu bersimaharaja
semestinya kamu  selalu ada demi kehausan atas segala

atas kuasamu
masa depan anak bangsamu ada di rengkuhmu
jangan tutup pintumu agar semuanya bisa menyerbu
memaknai untuk memberi arti pada laksaan debu ditumpukan buku kuasamu
atas kuasamu