Sabtu, 19 Februari 2011

formulasi UN baru memunculkan masalah ?

MUNCUL ISU MANIPULASI NILAI DI RAPOR DAN BUKU INDUK

…….. Hasil investigasi pelajar yang
Belajar bekerja [magang] sebagai jurnalis di komunitas pustaka CONAN ……..

            Haruskah formulasi baru kelulusan anak didik di Ujian Nasional, 60 persen UN, 40 persen nilai sekolah, disambut gembira oleh satuan pendidikan ? Sudahkah formulasi itu mengakomodir semua kepentingan, keinginan dan harapan satuan pendidikan ? Bagaimana dengan posisi para orang tua, yang setiap tahunnya harus dag dig dug itu ?
            “Sebelum kelulusan diumumkan, sekolah mengirimkan hasil nilai sekolah untuk digabungkan dengan hasil nilai UN ke Kemdiknas. Selanjutnya, setelah digabungkan dengan formula 60 persen UN ditambah dengan 40 persen nilai sekolah, nilai tersebut dikembalikan lagi ke sekolah. sekolah kemudian merekapitulasi dengan mata pelajaran lain. Kan ada tujuh mata pelajaran lain yang harus lulus. Yang menentukan kelulusan tetap satuan pendidikan.” Demikian Mendiknas M. Nuh mengatakan di situs resminya menjelaskan.
            Seharusnya dengan formulasi itu, kita di satuan pendidikan boleh bernafas lega, karena setidaknya ada perhatian dari pemerintah terkait keluhan kita. Hanya masalahnya, masih ada dua masalah yang butuh dijelaskan lebih detail, sebab kalau tidak, ditakutkan akan memunculkan permasalahan yang cukup  krusial. Demikian ungkap Mochamad Joedi Fatoni SPd, bagian Kurikulum SMP Ksatrian 2 Semarang, kepada Merput di kantornya.

Masih ada 2 masalah besar
            Masih ada permasalahan ya ? Benar, masih ada sedikit masalah yang perlu dijelaskan, agar tidak muncul salah penafsiran. Rata-rata nilai anak untuk UN 5,5, menurut Fatoni, tidak ada masalah. Hanya, diperbolehkannya ada nilai 4 dalam mapel yang diujikan di UN, masih perlu dijelaskan lebih detail. Sebab, muncul 2 penafsiran yang berbeda terkait hal itu. Ada  yang menafsirkan angka 4 itu murni hasil dari ujian nasional, sementara yang lain menyebut angka itu dimungkinkan muncul setelah digabung dengan nilai ujian sekolah.
            “Itu masalah pertama  yang harus segera dijelaskan oleh Kemendiknas. Masalah ke dua, hingga saat ini, kita dari satuan pendidikan ditingkatan SMP dan SMA, belum menerima  pos denah tempat duduk, padahal untuk UN besok jenis soal tidak lagi 2 macam seperti UN tahun lalu, tapi 5 jenis. Bagaimana mengatur posisi tempat duduk siswa, apa berderet ke belakang atau menyamping, kita memerlukan juklak atau juknisnya.”Ungkap Fatoni lebih lanjut.
            Mungkin, menurut Fatoni,   itu menjadi kebijakan Kemendiknas, agar pihak satuan pendidikan tidak melakukan langkah-langkah pensiasatan terkait penataan tempat duduk itu. Sebab, kenyataan yang ada di lapangan terkait pelaksaan ujian nasional, dari waktu ke waktu selalu saja kecurangan yang dibungkus dengan alasan pembenar yang macem-macem.
            Atas dua masalah itu, Kepsek SMPN 2 Semarang, Drs Sutomo Amd,MM menyatakan, “dipastikan akan ada juklak dan juknis terkait dengan dua permasalahan itu.  Kalau  tidak dari Kemendiknas, minimal dari Diknas kabupaten/kota setempat pasti akan ada penjelasan untuk itu. Kita dari satuan pendidikan lebih baik berkonsentrasi kepada anak didik, agar mereka benar-benar siap dan akhirnya bisa lulus 100 persen.”
            Pernyataan Sutomo itu dibenarkan juga oleh Kepsek SMP Teuku Umar, Dra Nanik Ekawati. Menurutnya, potensi konflik tetap saja ada di setiap pelaksanaan ujian nasioal, karena itu terkait dengan keberadaan sebuah sekolah, khususnya sekolaah swasta. “Bisa dimaklumi kalau keinginan untuk meluluskan anak didik 100 persen, diterjemahkan dengan berbagai cara. Hanya, kalau kemudian cara curang yang dipakai untuk membantu anak didik lulus, itu yang  menurut saya kurang pas. Memang, sekolah swasta yang hanya mampu meluluskan anak didiknya 50 persen atau dibawahnya, dipastikan akan kesulitan mendapatkan calon murid baru, tapi kalau kemudian satuan pendidikan di sebuah sekolah menghalalkan segala cara untuk mengejar kelulusan tinggi, itu secara moral tidak bisa dibenarkan.”  Ucap Nanik panjang lebar.
            Hanya untuk tingkatan SD, menurut Ristam SpdI, kepsek SD Islam Gergaji Semarang, sudah tidak ada masalah terkait pelaksanaan ujian nasional nanti. “Kita melihat sudah tidak ada masalah lagi untuk pelaksanaan ujian nasional besok. Untuk pos denah tempat duduk, kita juga sudah menerima. Untuk SD, tahun ini ada 3 jenis soal, sementara untuk SMP dan SMA ada 5 jenis. Jadi, kita merasa sudah tidak ada masalah lagi. Konsentrasi kita saat ini adalah bagaimana menyiapkan anak didik, agar kelulusan nantinya bisa kembali 100 persen.” Ucap Ristam lebih lanjut

Sangsi harus tegas
            Lantas ?
“Kita akan mengawal terus pelaksanaan ujian nasional itu. Berbagai modus kecurangan yang dilakukan satuan pendidikan dan juga anak didik, sudah kita ketahui. Tinggal bagaimana kita  berkoordinasi dengan diknas kabupaten/kota, sehingga tim pengawasan independent yang diterjunkan ke sekolah-sekolah bisa benar-benar bekerja dengan efektif dan efisien.” Hal itu dinyatakan Widi Nugroho, dari Divisi Pelayanan Publik Patirro Semarang.
         Kita meminta pihak diknas benar-benar melakukan pengawasan melekat terkait kebijakan pelibatan satuan pendidikan untuk kelulusan anak didik. Sebab, menurut Widi, kebijakan itu bisa memunculkan ekses negatif untuk sekolah yang hanya ingin mengejar kelulusan tinggi untuk anak didiknya. “Saat ini sudah beredar rumor adanya pihak-pihak tertentu di satuan pendidikan yang berani merubah nilai-nilai di rapor dan bahkan di buku induk, demi prosentase tinggi kelulusan di sekolahnya. Sekolah dengan moralitas rendah seperti itu dimungkinkan ada, apalagi kalau dikaitkan dengan hidup matinya sekolah, di mana sekolah dengan prosentase kelulusan rendah dipastikan akan ditinggalkan calon murid barunya. Itulah yang harus diwaspadai,” ungkap Widi lebih lanjut.
         Benarkah, manipulasi dan pengubahan nilai rapor menjadi sisi kelemahan dari formulasi baru ujian nasional saat ini ?
         “Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Manipulasi nilai dan merubah nilai dirapor juga bisa saja dilakukan satuan pendidikan. Sebab, moralitas dan kejujuran masing-masing orang itu berbeda. Namun, menurut saya peluangnya sangat kecil, karena untuk melakukannya harus melibatkan juga orang tua murid, juga komite sekolah. Disamping itu,  diknas juga memegang buku induk masing-masing sekolah, sehingga kalau ada yang sampai berani melakukan hal itu, bisa dengan cepat diketahui.” Demikian penjelasan Maulid Agung BR. SPd, wakasek SMP Ksatrian 2 Pamularsih Semarang.
         Meski ada banyak penghalang untuk satuan pendidikan melakukan kecurangan, tetap saja yang namanya niat buruk, pasti akan mencari celah demi tercapainya tujuan. Dan itu disadari juga oleh kepsek SMPN 2 Semarang, Sutomo. Dia  melihat, semua kemungkinan selalu bisa saja terjadi. Masalahnya sekarang bagaimana diknas mensosialisasikan kebijakan terkait formulasi ujian nasional itu, lengkap dengan juklak dan juknisnya serta ancaman atas kemungkinan kecurangan dari satuan pendidikan.
\        Patirro sendiri, terkait dengan pelaksanaan ujian nasional tahun ini, membuka hot line pengaduan baik lewat email maupun lewat telpon. Menurut Nugroho, masyarakat harus terus mencermati dan melakukan pengawasan, minimal di sekolah anak-anaknya. Setiap ada temuan yang menjurus ke kecurangan, bisa segera dilaporkan ke : patirro_semarang@yahoo.com atau ke telp  kantor Patirro  : 024.8441357
            “Kita akan siapkan tim advokasi untuk pelaksanaan ujian nasional tahun ini. Itu semua kita harapkan agar tidak ada kecurangan atau apapun namanya, selama UN itu berlangsung. Koordinasi dengan diknas juga terus kita lakukan, agar pelaksanaan UN bisa benar benar berjalan lancar. Tapi meskipun semua langkah antisipasi telah dilakukan, kemungkinan untuk satuan pendidikan melakukan kecurangan tetap ada. Dan untuk itu, kita akan mendesak diknas untuk memberikan sangsi hingga  yang paling berat berupa pencabutan ijin sekolah yang melakukan kecurangan” ucap Widi Nugroho.
            Yang pasti menurut M.Susanto dari LP2B Semarang, diknas dan satuan pendidikan di masing-masing sekolah, harus benar-benar mengedepankan kejujuran dan hati nurani serta moralitas tinggi, selama pelaksanaan ujian nasional itu. Jangan sampai muncul kejadian, sebuah sekolah  berhasil meluluskan anak didiknya 100 persen, padahal pada kenyataannya, masih banyak anak didiknya yang lemah di beberapa mapel yang diujikan. Jangan sampai kita mencetak gayus-gayus baru yang miskin nurani dan bermoralitas rendah. Sebab kalau hal itu sampai terjadi, kapan bangsa dan negeri ini bangkit dari keterpurukannya  ? Benar, kapan ? (dmr)