Sabtu, 19 Februari 2011

TRADISI MAULUDAN


Mauludan:
Penggugah Jihad dan Pemercik Cinta pada Nabi Muhammad

Sore itu, Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193/570-590 H), termenung gelisah. Di istananya di Qohiroh (Kairo), panglima agung berlambang burung Elang ini dilanda kesedihan mendalam. Penguasa Daulah Fathimiyyah pada masa Dinasti Bani Ayyub ini benar-benar murung.
Saat itu Perang Salib (The Crusade) memasuki tahap kritis. Pasukan Kristen gabungan bangsa Perancis, Jerman, dan Inggris telah mengalahkan pasukan Islam. Di tahun 1099 itu, terntara dari Eropa tersebut telah merebut Yerusalem. Masjid Al-Aqsha, kiblat kedua umat Islam, telah diubah jadi gereja.
Remuk redam hati Saladin, panggilan akrabnya. Dunia Islam kehilangan semangat jihad dan ukhuwah. Sebab  secara politis terpecah belah dalam beberapa kesultanan meskipun khalifahnya satu, yaitu Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Iraq. Namun Khalifah hanya sebagai lambang spiritual saja.
            Berhari-hari Sultan memeras otak.  Berusaha mencari cara membangkitkan semangat kaum muslimin untuk merebut kembali tanah suci Palestina. Segala munajat, ia lakukan. Sholat dan puasa dengan niat khusus ia genjot semaksimalnya. Dzikir malamnya semakin nggentur.
Tentu Saladin “melapor” kepada kakek buyutnya, Nabi Muhammad Saw. Sebab ia adalah sayyid keturunan Fatimah Az-Zahra. Kitab-kitab di Baitul Hikmah (perpustakaan negara) juga dibacanya.
Sampai akhirnya ia menemukan ide cemerlang. Yaitu mengajak umat membaca sejarah perjuangan Nabi Muhammad Saw. Ia diskusikan gagasan itu dengan Abu Said Muzaffaruddin al-Qakburi, Bupati Irbil, Suriah Utara, yang juga saudara iparnya sendiri. Gayung bersambut.
Lalu Shalahuddin meminta persetujuan khalifah An-Nashir di Baghdad. Ternyata khalifah setuju, lalu dikeluarkan Maklumat. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi), Shalahuddin sebagai penguasa Haramain (Dua Tanah Suci; Mekah dan Madinah), membacakan dekrit tersebut. Isinya, seluruh jemaah haji yang akan kembali ke kampung halamannya, diminta menyosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 M) tanggal 12 Rabiul-Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang.
Umat Islam di seluruh dunia dihimbau agar hari lahir Nabi Muhammad SAW yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal. Dibuka pula sayembara mengarang. Siapa saja dipersilakan membuat karya tulis yang isinya bisa membangkitkan semangat meniru Rasulullah Saw.
Efek maklumatnya itu sungguh luar biasa. Ratusan karya tulis diirim ke sekretariat negara untuk ikut lomba akbar tersebut. Setelah tim juri memeriksa, terpilihlah pemenangnya.
Kategori sastra murni berupa syair (puisi) dimenangkan Al-Hafiz Wajihuddin Abdul Rahman bin Ali bin Muhammad al-Syaibani al-Yamani al-Zabidi al-Syafie, yang terkenal dengan Ibn Dziba’i (866-944H). kitabnya dinamai Maulid Al-Dziba’i.
Adapun kategori prosa, juaranya diraih Syekh Ja'far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd Al-Jawahir (artinya Kalung Permata). Tapi kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya, sehingga disebut Kitab Barzanji.
Setelah ditahqiq dan diberi komentar serta ditakhrijkan hadis-hadis isinya oleh al-Muhaddis as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, kitab Maulid al-Dziba’i dan Al-Barzanji digabung dalam satu jilid dan dicetak massal. Kaum muslimin menyambutnya gegap gempita. Anak-anak maupun dewasa, lelaki maupun perempuan, bergairah membacaya. Baik yang tinggal di Andalusia (Spanyol) maupun di China.
Segala macam kreativitas muncul dengan begitu ramainya. Orang berlomba-lomba manggubah nada yang indah saat membacakan syair maupun prosa dalam kitab tersebut. Aneka irama didendangkan sesuai seni budaya daerah masing-masing. Banyak yang mengiringinya dengan dengan musik rampak penggugah semangat jihad.
            Sejak itu, solidlah kekuatan muslimin dan muslimat. Semua orang kini mengenal Nabinya, kisah penderitaaannya, dakwah dan jihadnya, serta keteguhan hatinya. Semua orang semangat belajar. Para pelajar berlomba-lomba membuat karya tentang Nabi Muhammad. Tak ada lagi puisi-puisi cengeng memuji keindahan alam ataupun kemolekan wanita.
Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.
Demikian diterangkan Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, H Anasom. Lebih lanjut pakar dakwah dan budaya Jawa ini mennceritakan, saat itu, Shalahuddin sendiri yang membawa pasukannya masuk kota Yerusalem Panglima perang legenda Islam ini tida merusak bangunan gereja dan tidak membunuh musuh yang menyerah. Apalagi warga sipil. Keagungan agama Islam benar-benar dibuktikan. Dan Shalahudin pun akhirnya menjadi khalifah.
Dr. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi dalam kitabnya,  Al-A’yad wa Atsaruha Alal Muslimi, hal. 285-287  menyebutkan, sejak kemenangan gemilang itu, khalifah secara resmi menjadwal rutin peringatan hari-hari besar Islam serta yang bertema Maulid. Ada perayaan Tahun Baru Hijriyah, Asyura, Maulid Nabi Saw, Maulid Ali bin Abi Thalib, Maulid Hasan dan Husein serta Maulid Fatimah.

Sunnah Muakkadah, Bahkan Wajib
Ahmad Atho’ Lukman Hakim, alumnus Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kini menjadi penghulu agama mengatakan, andai tak pernah ada Peringatan Maulid Nabi, entah bagaimana nasib agama Islam dan nasib kiblat kedua umat Islam tersebut.
Jika melihat peringatan Maulid begitu besar manfaatnya, dan telah menjadi keputusan resmi khalifah, maka menurutnya, secara hukum bisa dibilang sunnah muakkadah bahkan wajib. Sebab merupakan perintah imam, yaitu khalifah.
Di  masa modern, tutur Atho’, saat bangsa Eropa menjajah negara-negara Islam, termasuk Arab Saudi dan Indonesia, muncul aliran maupun kelompok yang mengharamkan Maulid Nabi dengan tudingan bid’ah, bahkan syirik. Hal itu menurutnya merupakan politik pecah belah kaum imperialis agar penjajahannya langgeng.
“Maka ketika kita sudah merdeka sekarang, kok masih ada yang menolak bahkan mengharamkan peringatan Maulid Nabi, patut dicurigai, orang-orang tersebut adalah kaski tangan imperialis yang tak suka pada Islam. Maunya Islam kalah terus,” tuturnya.

Momentum Cinta Rosul
Senada dengan Atho’, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Farhan Khilmie mengatakan, orang-orang yang menghujat Maulid Nabi patut dicurigai sebagai antek musuh Islam. Karena tak mau menengok sejarah adanya peringatan tersebut.
Pengurus KNPI Jateng ini juga menyebutkan, banyak umat Islam sekarang tak kenal dekat dengan Nabi Muhammad. Tak tahu siapa saja keluarga Rasulullah, para sahabatnya dan kiprah mereka. Jika anak-anak muslim ditanya, sambung dia, hampir pasti lebih mudah menyebut nama-nama tokoh komik dan film kartun daripada para pahlawan Islam.
“Bagaimana mau cinta Islam cinta Nabi. Sedangkan kisah tentang dakwah Islam oleh Rasulullah saja tidak boleh dibacakan. Mau cinta Baginda Rasul bagaimana, sedangkan kenal saja tidak?,” ujar tokoh alumnni HMI Jateng ini terharu.
Diapun menjelaskan, kitab Barzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Media Dakwah yang Signifikan
Di desa-desa, biasanya tiap malam Selasa atau Jum’at kitab itu dibaca. Anak-anak kecil sampai hafal karena seringnya mendengar maupun membaca syair-syair pujian maupun sholawat Nabi tersebut. Kegiatan itu sering disebut  nDibaan atau Berjanjen (maklum lidah Jawa).
            Di beberapa daerah di Jawa, misalnya di Rembang dan Tuban, anak laki-laki biasa menjadikan kitab Barzanji sebagai simbol kebanggaan selain Al-Qur’an. Ketika ada bocah lelaki mau sunat (khitan), si anak menunjukkan hafalan Juz Amma (disebut Turutan) dan isi kitab Barzanji kepada khalayak. Sebagai bukti ungkapan ia telah khatam mengaji dan cinta Nabi.
            Jika ada anak sunat tapi tidak tampil membacakan hafalan Al-Qur'annya dan kitab Barzanjinya, dia akan malu. Terlebih, saat prosesi khitan dilaksanakan, yang dibaca hadirin adalah sholawat Nabi. Tentu akan spesial rasanya jika si bocah itu sendiri telah menguasai rangkaian syair dan sholawat Nabi yang disusun dengan bahasa yang indah-indah dari kitab  bereputasi internasional tersebut.
            “Betapa bangganya saya, saat khitan, saya membacakan hafalan saya atAS Juz Amma dan kitab Barzanji yang yang dipakai umat Islam seluruh dunia. Bukan hafal isi komik picisan atau film kartun buatan orang tak beragama,” ujar Alumnus Ponpes Al-Anwar, Sarang, Rembang, Lukman Muhajir saat menceritakan masa lalunya.
Wong Rembang yang telah lama tinggal di Semarang ini menambahkan, dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, perayaan Maulid Nabi atau Muludan dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk sarana dakwah.
Para sunan membuat berbagai yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.
Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga bernama Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan Maulid Nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang diminta mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu di pintu gerbang. Pintu itu disebut Gapura, berasal dari kata Ghofuro yang berarti "pengampunan". Yakni pengampunan dari segala dosa karena telah memeluk Isam.
Pada zaman kesultanan Mataram, lanjut Lukman, perayaan Maulid Nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata "gerebeg" artinya mengikuti, yaitu mengikuti Sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti Nasi Gunungan dan sebagainya. Ada juga perayaan Gerebeg Pasa (menyambut Idul Fitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Idul Adha).
            Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan umat Islam kebanyakan. Kaum muslimin bisa bersilaturahim dan saling mendoakan dalam forum Mauludan. Setiap menjelang Wulan Mulud tiba, orang-orang Islam menyambutnya penuh semangat.
Seperti bulan Agustus bagi bangsa Indonesia, bulan Rabiul Awal dimeriahkan dengan aneka lomba. Ada lomba pencak silat di pondok pesantren maupun masjid kampung. Ada lomba rebana, lomba baca kitab, lomba hafalan Al-Qur'an, adzan, dan sebagainya.
Aktivitas mengaji semakin digenjot sejak bulan Sura (Muharram) maupun Sapar (Shofar). Semua potensi umat Islam dikeluarkan. Suasananya barangkali mirip zaman Shalahuddin Al-Ayyubi. Sehingga syiar Islam begitu menggema, kekuatan Islam tampak nyata, dan ruh jihad ada di hati mereka. 
Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari di bulan berikutnya. Ada yang kecil, ada yang agak besar, dengan pengajian yang dihadiri puluhan ribu umat Islam.
Di acara tersebut, biasanya ditampikan kesenian hadroh, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’izhah hasanah dari muballigh kondang.
“Tapi rasanya di kota besar seperti Semarang, suasana itu agak kurang. Yang masih kuat di desa-desa. Jadi ada hubungan antara kualitas keagamaan masyarakat dengan ramai tidaknya kegiatan Maulid Nabi. Di daerah yang sekuler atau yang didominasi penganut aliran tertentu,tak ada suasana demikian. Masjidnya sepi dan tegang,” tuturnya.

Kontroversi yang Mengherankan
Alumnus Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yofyakarta yang kini aktif di PW Fatayat NU Jateng, Tazkiyyatul Muthmainnah mengatakan, salah satunya wujud cinta adalah ekspresi kebahagiaan dengan dihadirkannya Rasulullah dalam sanubari. Salah satunya adalah dengan menyambut gembira hari kelahirannya.
Lha wong anak kita lahir aja kita berbahagia dan bengucap syukur. Apalagi terhadap lahirnnya Rasul kita, tentu kita harus lebih bergembira,” ujarnya.
Lebih lanjut mantan ketua Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PW IPPNU) Jawa Tengah ini  menuturkan, Nabi Muhammad saja menghargai hari lahirnya, dengan berpuasa Senin dan Kamis, yang lantas menjadi sunnah beliau.
Tambah ibu tiga anak yang akrab dipanggil Iin ini,  Rasulullah  juga senang memperingati peristiwa-peristiwa besar. Contohnya ketika mengetahui ada orang Yahudi berpuasa tanggal 10 Muharram (hari Asyuro) untuk menghormati kelahiran Nabi Musa, Nabi pun merasa mengajak umatnya berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram.
Iin heran dengan orang-orang yang suka menghujat peringatan Maulid Nabi. Ia mengatakan, kalau mengingat hari lahir Rasul saja tidak boleh, lalu apa bukti cinta kepada Nabi?. Hal itu menurutnya berbahaya. Pertama orang disuruh lupa hari lahir Rasul, lambat laun umat Islam lupa silsilah dan sejarah Nabinya, perlahan dan berlanjut, tanpa terasa aqidah pun jadi lupa. Sementara yang setiap hari mengisi otak orang Islam adalah program televisi dan media lain yang tidak berisi ajaran agama. Bahkan bertolak belakang.
“Sungguh aneh ada orang mengharamkan Maulid Nabi. Perayaan yang isinya membaca Al-Qur'an, shalawat, nasihat agama, dibilang bid'ah. Sedangkan ultah  anak yang berisi pentas musik, tiup lilin, makan minum penuh hura-hura, memubazirkan harta, jangan-jangan malah dibilang sunnah. Saya jadi ingat sebuah sabda Nabi, Akan datang suatu masa pada umatku, yang baik dianggap jelek, dan yang jelek dianggap baik," sitir Iin mengutip sebuah hadis.
            Ia juga sangat menyayangkan orang yang menanyakan dalil/dasar hukum Maulid Nabi. Seharusnya mereka itu mengurusi hal-hal lain yang jauh lebih bemanfaat. Mengurusi anggota keluarganya yang yang mungkin belum rajin shalat, atau mengurusi/memperbaiki ibadah mereka.
Apakah Mauludan ada dasar dalilnya?
            “Sangat banyak,” jawab KH Bukhori Masruri saat ditanya Merput di suatu acara pengajian. Pengurus MUI Jawa Tengah ini menyebut, khalifah masa Shalahuddin dan seterusnya maupun ulama masa kini, tentu punya seabreg dalil yang mendukung kegiatan Mauludan yang mengubah sejarah Islam dari kekalahan menuju kemenangan tersebut.
Ia katakan, Khalifah dan para ulama tentu tidak bodoh dalam memimpin atau membimbing umatnya. Tidak mungkin menjerumuskan umat dalan kesesatan atau kesalahan yang besar. Dan lebih dari itu, pemerintah negara-negara Islam atau negara bependuduk mayoritas muslim, menetapkan Maulid Nabi sebagi hari libur nasional. Maka betapa lucunya kalau keputusan untuk memuliakan umat Islam, dan para pemimpin dari presiden/raja hingga ketua RT memperingati Maulid Nabi bersama rakyat, malah ditolak atau diharamkan.
            Diterangkan Kyai Bukhori, salah satunya tertera dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: "Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa'at kepadanya di Hari Kiamat." Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”
Dalil lain, lanjutnya, dalam Shahih Bukhari diceritakan sebuah kisah tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita.
Lebih lanjut Bukhori memberi kutipan, Ketika Nabi Muhammad ditanya mengenai puasa di hari Senin, beliau Saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim, Kitab as-Siyam, hadits no.1162).
Dalil lain, Berkata Abbas bin Abdulmuttalib Ra, paman Nabi: “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” Maka Rasul saw menjawab: “silahkan.., maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, Maka Abbas Ra memuji dengan syair yang  panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai Nabi Saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya di bumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no.5417).

Bukan Bid’ah
Dijelaskan Kyai Bukhori, tata cara ibadah di Islam ada dua macam, yaitu tata cara yang sudah ditentukan dan tata cara ibadah yang tidak ditentukan. Istilahnya masyru’ (telah disyariatkan). Shalat, zakat, puasa, dan haji sudah ditentukan aturannya secara detail, menambahkan tanpa ada pedoman hadist yang kuat adalah bid'ah.
“Jika orang nenambah-nambahi ibadah dengan sesuatu yang baru, tanpa dasar hadis, tentu tidak boleh. Tapi kalau bukan ibadah, tentu lain cara menyikapinya,” tandasnya.
            Maulid Nabi, tahlilan, manaqiban dan sejenisnya, terangnya, bukanlah ibadah. Melainkan sebatas muamalah. Yaitu sebuah amalan untuk mencari kebaikan.
Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku tentang kisah nabi SAW. Padahal di masa Rasulullah SAW, tidak ada perintah atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi buku Sirah Nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah. Dan keberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Di bidang muamalah, hukum yang berlaku adalah “segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang melarangnya secara eksplisit”.
Sementara itu, Syaikh Dr Yusuf Al Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Internasional, mengungkapkan dalam situsnya;  “Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid ini, kita sedang mengingatkan umat akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan sangat dibutuhkan.”
“Kenyataan saat ini telah membuktikan, bahwa disebabkan belum bersungguh-sungguhnya kita dalam meneladani Rasulullah SAW dalam mengarungi perjuangan hidup, maka kehidupan kaum muslimin saat ini cenderung terperosok menjadi ummat terbelakang, dibandingkan dengan ummat-ummat lain di hampir semua bidang kehidupan. (ichwan)