Selasa, 25 Januari 2011

formulasi UN, lebih fair


FORMULASI BARU UN
LEBIH FAIR ?

            Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bersama dengan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)  memunculkan formulasi baru terkait ujian nasional. Dalam formula baru itu, UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan anak didik, tapi ada nilai gabungan (NG) yang berasal dari nilai UN ditambah dengan nilai sekolah (NS). Tetapi bobot dari nilai UN dan bobot NS berbeda.             "Yang jelas bobotnya UN lebih tinggi di banding NS," kata Mendiknas, Mohammad Nuh  dalam pernyataan resminya di web Kemendiknas.
Untuk  NS, jelas Mendiknas,  diambil dari nilai rata-rata hasil ujian sekolah, nilai rapor semester tiga, empat dan lima. Ujian sekolah berasal dari hasil penilaian guru yang berupa hasil ujian sekolah, ulangan, tugas dan/atau praktikum. Nuh menambahkan, ada pernyataan bahwa BSNP akan mendelegasikan kriteria kelulusan UN kepada satuan pendidikan." Selama ini kan minimal 5,5, apakah nanti diserahkan seperti UASBN atau bagaimana, masih kita rumuskan," katanya.
            Adapun Kepala Balitbang, Mansyur Ramli mengatakan, formula sudah final hanya menunggu masukan dari masyarakat dalam menentukan bobot nilai UN dan NS. "Berapa besar bobot nilai UN dan NS-nya masih menunggu masukan masyarakat. Yang pasti setiap mata pelajaran ada batas nilai minimalnya, yaitu tidak boleh kurang dari angka 4," katanya.

Lebih Fair
            Formulasi baru UN, jelas lebih fair. Karena mengakomodir pihak satuan pendidikan di tingkat sekolah. Pihak Kemendiknas harus segera menurunkan juklak dan juknisnya, agar pihak sekolah bisa sedini mungkin mempersiapkan diri.  Demikian ungkap Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi.
            ”Hanya pihak Kemendiknas harus segera menyusun draf pelaksanaannya, agar kemungkinan munculnya kecurangan berjamaah, seperti ramai-ramai mengkatrol nilai anak didiknya, tidak usah terjadi. Kalau benar-benar bisa dilaksanakan dengan pengawasan yang cukup, formulasi UN yang baru itu bisa dianggap paling fair. ” Ungkap Mahdi lebih lanjut.
 Sementara bagi Ketua PGRI Jateng, Subagio Brotosejati, formulasi UN yang baru, sangat ideal kalau benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik dan benar. Sebab itu berarti peran serta satuan pendidikan di sekolahan dilibatkan. Dan itulah yang selama ini di perjuangkan oleh PGRI.
”Bagaimana memfungsikan guru sesuai dengan standart kemampuannya, itulah yang penting. Sekolah dengan formulasi yang baru itu bisa benar-benar menghasilkan para lulusan yang lengkap kemampuan  kognitif, afektif dan psikomotiriknya. Guru juga merasa dihargai jerih payahnya.  Dari situ, dunia pendidikan Indonesia akan makin bergairah, karena semangat dan tujuan yang harus dicapai. Semuanya tentunya untuk kepentingan anak didik. Itulah yang selama ini diperjuangkan PGRI.” Ungkap ketua PGRI Jateng lebih lanjut.
            Bagi GM PT Mitra Sehati Sekata, Imam Supriadi SE, apapun formulasi UN yang dimunculkan Kemendiknas, asal bisa secara jujur menilai kemampuan  kecerdasan dan karakter anak didik, tidak menjadi masalah. ”Hanya menurut saya, dunia kerja sekarang tidak begitu butuh anak yang pintar dari sisi penguasaan ilmu sekolahan  saja tapi rendah karakternya. Anak yang mampu membentuk dan membina networking serta mau bekerja dengan hati, itulah yang nantinya akan berhasil. ” Ungkapnya.
            Membanggakan nilai kelulusan saja, saat memasuki bursa tenaga kerja, terkadang tidak lagi menjadi jaminan sekarang.  Yang dibutuhkan banyak perusahaan saat ini adalah, seseorang yang punya semangat dan karakter yang baik, mempunyai networking yang luas, syukur-syukur dibarengi dengan nilai akademik yang tinggi. ”Jadi, kalau kemudian pihak Kemendiknas berbangga bisa menstandarisasi kualitas pendidikan nasional, tapi sebagai akibatnya mengorbankan karakter dan budi pekerti anak, kita semua sebagai orang tua tentu saja tidak bisa menerimanya. Semoga formulasi UN yang baru bisa mengembalikan dunia pendidikan ke ranahnya, agar anak yang lulus benar-benar bagus nilai akademis dan karakternya.” Ungkap Imam yang memimpin ratusan anak buah di perusahaannya.
            ”Saya itu selalu deg-degan saat cucu-cucu mulai sibuk bersiap maju ke ujian nasional mas. Meski saya tahu mereka pandai, selalu masuk rangking, tapi  harapan, permintaan harus lulus dari semuanya,  akan menjadi tekanan psikologis tersendiri bagi mereka . Saya takut ada salah satu cucu-cucu  saya itu yang tidak kuat  menghadapi tekanan itu, kemudian drop, stres, panik sehingga pas menghadapi ujian jeblok deh,”  ungkap Ny. Hariyono, seorang pekerja sosial di Semarang.
            Atas formulasi baru itu, Ny. Hariyono melihatnya sudah pas. Menurutnya, itu adalah hasil kompromi yang sangat realistis, dan sangat sesuai dengan situasi dan kondisi anak didik saat ini. ”Kalau perlu segera saja dibakukan berapa prosentase besaran bobot UN, US dan yang lainnya itu, biar kita semua tidak ikut-ikutan panik. Kasihan anak-anak yang sebenarnya pandai, tapi dari sisi mental masih lemah. Dia akan merasa terbebani harus lulus. Beban itulah yang amat sangat berbahaya,” ucap Ny. Hariyono lebih lanjut.
            Lantas ?
Bagi seorang PNS seperti Tika Wahab, yang satu anaknya akan ikut ujian nasional tahun ini, formulasi baru itu dinanti dan ditunggu kepastian juklak dan juknisnya. ”Hanya masalahnya, saat satuan pendidikan di sekolah dilibatkan, apa ada jaminan tidak ada sistem katrol nilai, untuk ngoyak kelulusan seratus persen ? Kemendiknas apa sudah punya strategi menghadapi masalah itu ? Tolong segera dicarikan solusi yang paling tepat, agar dunia pendidikan di Indonesia bisa benar-benar fair. Meluluskan yang memang benar-benar memenuhi syarat untuk lulus.” Ucap Tika lebih lanjut.
            Bagi seorang ibu, bagaimanapun situasi dan kondisi yang dihadapi anaknya, dukungan seratus persen pasti ada. Hanya yang menjadi masalah kalau situasi dan kondisi itu sengaja diciptakan oleh mereka yang punya wewenang, yang kemudian malah memberatkan si anak. Jelas, semua ibu rumah tangga akan melakukan proses keras. ”Semoga ujian nasional bukan dimaksudkan untuk memberi beban lebih kepada anak didik di masa sekarang ini. Semoga saja tidak. ”
            Sementara itu bagi pemerhati dunia pendidikan Semarang, Marakeh, kebijakan Kemendiknas terkait formulasi UN baru itu masih dilihatnya  sekedar seperti petugas pemadam kebakaran. ”Masih berkutat pada penyelesaian secara instan permasalahan yang muncul disetiap pelaksanaan UN. Padahal yang menjadi dambaan banyak orang tua murid adalah, bagaimana di setiap sekolah, di manapun sekolah itu berada, ada kesamaan standart kualitas dan mutu pendidikannya. Ada kualitas yang sama atas nilai yang diberikan kepada anak didik , di sekolah manapun. Entah bagaimana caranya, yang pasti di Kemendiknas banyak orang pandai yang bisa melakukan apa saja bahkan yang mustahil sekalipun.” Ucap Marakeh lebih lanjut.
            Ujian nasional sudah dilaksanakan beberapa kali. Seharusnya kalau Kemendiknas konsisten dengan kebijakannya, yang akan memetakan mutu dan kualitas sekolah berdasar hasil UN yang telah dilaksanakan, sekarang ini mereka seharusnya  sudah punya mapping mana sekolah yang baik dan tidak. Seharusnya sudah ada action yang nyata untuk membantu  sekolah yang dianggap buruk dan terpuruk, karena tingkat kelulusannya rendah. Seharusnya sudah ada bukti untuk itu. Tanya Marakeh.
            Sementara itu bagi Ny. Pranowo, ketua YPAC Semarang, standarisasi mutu dan kualitas dunia pendidikan memang sudah saatnya dilakukan di Indonesia. Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan itu sudah saatnya diberlakukan, disaat mana masih banyak sekolah yang tidak sama kemampuan, kualitas dan mutu pembelajarannya.
            ”Boleh sih pemerintah mencoba merumuskan kebijakan yang mengakomodir kepentingan semua pihak, seperti formulasi UN yang baru. Tapi, permasalahan yang muncul terkait kebijakan itu apakah juga sudah ada solusinya ? Bagaimana kalau kemudian muncul kecurangan berjamaah, di mana sekolah ramai-ramai mengangkat dan menambah nilai anak didiknya demi mencapai prosentase kelulusan yang tinggi ? Apakah pihak diknas kota, sudah menemukan cara untuk meminimalisir kemungkinan terburuk itu ?” tanya Ny. Pranowo.
            Yang pasti, menurut Muhdi, sebagian besar sekolah di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa memenuhi PP 19 tahun 2005. Belum bisa menjadi sekolah yang ideal untuk meluluskan anak didik yang cerdas secara komprehensif. Ujian Nasional sudah beberapa kali dilaksanakan, seharusnya dari situ Kemendiknas sudah bisa melakukan mapping dan mempunyai data kongkret atas sekolah-sekolah yang terpuruk. Apa sekolah itu sudah mulai mendapatkan bantuan demi peningkatan kualitas sekolah tersebut ? Atau hanya menjadi angin sorga yang meninabobokan birokrat di Kemendiknas, untuk diatasnamakan standarisasi mutu pendidikan nasional ? Semoga tidak. (dmr)