Kamis, 08 Desember 2011

destydean batik, satu model satu baju

Desty Nuriska :
INGIN MENYENANGKAN PELANGGAN

            “Pelanggan bagi saya adalah segalanya. Apa yang diminta, model apa yang diinginkan, bahkan mesti hanya membuat satu potong baju pria, saya tetap dengan senang hati melayaninya. Pelanggan adalah aset dan itu mesti dijaga,” demikian kita bisnis Desty Nuriska, pemilik merek dagang Derydean batik, mengatakan kepada Sinergi di rumah yang merangkap butiknya di Lamongan Barat VIII nomer 10 Sampangan Semarang.
            Menjaga kepercayaan dengan pengerjaan yang rapi dan berkualitas, itu yang menjadi ciri produk batik yang dikelola Desty sejak 2009 lalu. Sebagai pemain baru di dunia busana khususnya batik, Desty memang membutuhkan banyak dukungan dan semangat dari orang-orang terdekatnya, juga dunia perbankan. Karena, seperti yang dikatakannya, sebagai pemain baru dengan keterbatasan permodalan, dia masih harus bolak balik Pekalongan Semarang, demi pemenuhan selera para pelanggannya.
            Benar, Desty masih harus mengandalkan pengerjaan motif batik pesanan pelanggan dan juga penjahitannya di pabrik batik Pekalongan. ”Setiap detail motif yang diminta pelanggan, saya berusaha wujudkan dengan perusahaan pembuat batik yang ada banyak di Pekalongan. Setelah motif itu tertuang di atas kain, kemudian saya rancang sesuai dengan permintaan pelanggan. Karena masih harus bolak balik ke Pekalongan, cost produksinya menjadi agak lebih sedikit mahal. ” Ungkapnya.
            Meski agak sedikit mahal, tapi harga yang diterapkan Desty untuk produk busana pria dan wanita serta anak – anak masih amat sangat terjangkau. Untuk batik dengan bahan dasar katun misalnya, dia mematok harga mulai dari Rp 90 ribu hingga Rp 200 ribu. Sementara untuk batik dengan bahan dasar sutra dipatok sekitar Rp 500 ribu. ” Kita juga melayani produk batik di bawah harga Rp 90 ribu. Untuk seragam kantor atau seragam sekolah misalnya, harga per satuannya terkadang sekitar  Rp 50 ribu. Tapi ada juga kantor yang meminta seragam yang bahan kainnya dari sutra, itu tentu saja membuat harganya lebih mahal, karena bahan kainnya saja sudah mahal dari sananya. ” Ungkap Desty lagi.
           
Obsesinya ingin produksi sendiri
            Sebagai pemain baru di dunia bisnis busana batik, Desty selalu siap menerima dan mengerjakan pesanan busana batik seberapapun budjetnya. Semua permintaan itu di iguhkan, diiyakan, meski sebelumnya dia harus menjelaskan kain jenis apa dan bagaimana motif yang tersedia untuk dana yang disediakan pelanggan. ”Hal itu menjadi penting bagi saya, karena saya ingin pelanggan tahu dengan persis kain jenis apa dan motif batiknya bagaimana, atas besaran dana yang tersedia. Saya tidak ingin ada kesalahpahaman dengan pelanggan. Kesannya memang rewel dan ceriwis, tapi itu harus saya lakukan, agar kita bisa sama-sama sepakat atas produk yang akan mereka dapat,” jelas Desty yang saat wawancara agak flu.
            Banyak sudah instansi yang kebutuhan batik dan seragam kantornya dipenuhi oleh Desty. Karyawan Bank Jateng misalnya, menurut Desty banyak yang memesan busana batik kepadanya. Juga para pegawai dan dosen Unnes, yang bahkan memesan desain khusus, yang kemudian dikerjakannya di Pekalongan dengan para pengrajin batik di sana.
            Diakui oleh Desty, kebijakan banyak pemda kabupaten kota di Jateng yang mengharuskan pegawainya mengenakan busana batik di hari-hari tertentu, ikut mendukung tumbuh suburnya industri batik . Dan itu, menurut Desty, turut membesarkan usaha yang dirintisnya turun temurun dari orang tuanya.
            Harga grosir tapi tidak murahan, itulah yang menjadi pegangan Desty dengan Destydean nya. Dengan tingkat persaingan yang dari hari ke hari makin ketat, para pemain di bisnis batik hanya akan dapat bertahan kalau mereka mempunyai ciri khas. Dan untuk mempunyai sebuah ciri khas seperti itu diakui oleh Desty,  amat sulit untuk dilaksanakan. Tapi dia tidak pernah putus asa, sehingga dia bersama timnya terus berusaha mencari ciri khas atas motif dan rancangannya.
            ”Untuk sementara ciri kita ada pada harga yang bersaing dan siap melayani permintaan motif tertentu sesuai permintaan pelanggan. Jahitan kita, meski jahitan konveksi tapi bukan jahitan kodian. Dan kita siap membuat model busana bahkan untuk satu orang saja. Kalaupun kemudian ada yang senang dengan modelnya, kita akan berusaha membedakannya dalam hal warna dan motif batiknya. ” Ungkapnya.
            Lantas ?
”Saya harus mempunyai unit usaha sendiri di Semarang. Mulai dari pembuatan motif batiknya hingga pencelupan warna dan penjahitannya, saya ingin mempunyainya sendiri. Itu salah satu obsesi saya. Saat ini memang belum bisa terlaksana, karena keterbatasan permodalan, tapi dengan bantuan Bank Jateng, saya yakin obsesi itu akan segera terlaksana,” ingin Desty yang bersuamikan Ir Bambang  Setyohadi yang dosen Unnes dan mempunyai satu putra Evan Dery Dean yang masih berumur 2 tahun.
            Konsep butik dengan kelengkapan produksi motif batiknya, juga perancang dan tim penjahit yang berkualitas, menjadi impian untuk dikembangkannya. Ingin main di warna, itulah yang akan menjadi ciri khas batiknya. Dan saat ini yang menjadi trend adalah batik dengan warna-warna cerah. Sehingga di butiknya yang untuk sementara berada di ruang depan rumahnya, warna-warna cerah mendominasi koleksi busananya.
            ”Kepada pelanggan, saya pasti akan memberi hadiah bonus aneka aksesoris. Sementara potongan harga akan kami berikan kepada para karyawan yang membeli dalam jumlah banyak. Silahkan datang ke rumah, karena saya pasti akan memberikan discont 20 persen,” begitu janjinya.
            Saya ingin mengembangkan puring motif khas semarangan dengan menyertakan asem dan blekok, begitu katanya. Kapan itu akan terealisir ?
            ”Tunggu permodalan dari Bank Jateng. Saya optimis, usaha saya ini bisa menjadi besar. Saya tinggal genjot promosinya, juga pemasarannya yang akan diperluas. Yang pasti dengan ciri khas yang akan saya kembangkan, saya yakin usaha saya prospektif dan berani bersaing,” ungkapnya tandas, sembari menutup sesi wawancara di sore yang agak di mendung, di rumahnya yang asri. (dmr)