Jumat, 06 Mei 2011

RSBI/SBI SULAPAN ? bUBARKAN SAJA!


            Adalah  ketua IGI , Ikatan Guru Indonesia,  Jateng,  Mampuono, yang dengan lantang mengatakan kalau saat ini banyak sekolah berstatus RSBI sulapan. Mereka mengejar status RSBI itu hanya demi bisa menarik biaya setinggi-tingginya pada orang tua murid. Mereka ingin menyulap sekolahnya menjadi mewah, dengan fasilitas ter update, berkelas, sehingga bisa menaikkan gengsi sekolahnya. Mereka ingin, mendapatkan kebebasan, sebebas-bebasnya, menarik dan memanfaatkan dana berlimpah itu untuk apa saja. Salah satunya, untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri, tentu saja.
            “Silahkan mereka berkilah, berlindung dibalik alasan pembenar macam-macam. Yang pasti, sekolah yang belum layak untuk menyandang status RSBI itu bisa dilihat dari belum siapnya satuan pendidiknya menjalankan apa yang diamanatkan saat mereka diberi status RSBI. Bahasa Inggris satuan pendidiknya  masih belepotan. Yang bisa dibanggakan dari sekolah RSBI abal-abal itu hanya pada ruang kelas ber AC semua, sarana prasarana lebih lengkap, dan penampilan satuan didiknya yang keren dan mentereng. Selebihnya, kualitas out putnya masih amat sangat perlu dipertanyakan,” ungkap Mampuono lebih lanjut.
            Ikatan Guru Indonesia pusat, atas kenyataan itu, menurut Mampuono, akan  mem PTUN kan Kemendiknas, karena membuat kebijakan yang implementasi di lapangannya ternyata merugikan rakyatnya. Anak miskin, meski dia punya prestasi akademis bagus, jangan harap bisa masuk ke lingkungan borjuis itu. Andaikan kemudian mereka bisa masuk, karena adanya program beasiswa, dalam pergaulan dengan anak lain yang datang dari keluarga berkecukupan, dipastikan  anak miskin itu akan terkucil. Itu tentu saja sangat tidak fair bagi anak didik.  Dunia pendidikan, jelas Mampuono, diarahkan ke praktek-praktek bisnis murni. Di mana harus ada untung dalam setiap tindakan dan kebijakan.
            “ Ini jelas-jelas produk kapitalis murni. Dan dunia pendidikan Indonesia dipastikan akan kacau, dan berkasta-kasta. Akan ada pemeringkatan sekolah berdasar mewah tidaknya, lengkap tidaknya sarana prasarana yang disediakan. Sementara kaidah dasar seperti proses pembelajaran, kualitas SDM satuan didik dan input output anak didiknya, menjadi yang nomer kesekian. “ Jelas Mampuono lebih lanjut.
            “Ternyata sekolah bertaraf internasional itu tidak sederhana pelaksanaannya. Ini perjalanan panjang yang wajahnya sampai sekarang belum jelas. Karena itu, kami belum berani menyebut sekolah bertaraf internasional (SBI), tetapi masih rintisan SBI. Untuk itu, pemerintah menahan dulu pemberian izin baru RSBI.” Itu yang dikatakan  Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam acara Simposium Sistem RSBI/SBI: Kebijakan dan Pelaksanaan, di Jakarta beberapa waktu lalu.
           
            Wajahnya belum jelas ?
            Wajahnya sampai sekarang belum jelas ? Realitanya, di Malaysia sistem RSBI  gagal total. Padahal SDM nya siap. Bahasa Inggris mereka fasih dan lancar, bahkan di semua bidang studi.  Sedangkan di Indonesia, meski ketahuan banyak satuan pendidiknya belepotan dalam memakai  bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar,  eh malah diteruskan. “ Ini karena ada dana besar yang digelontorkan. Ada dana besar yang dikelola pihak sekolah. Padahal  sekolah unggulan di luar negeri justru gratis. Kenapa di indonesia harus bayar, mahal lagi. Masuk  SMPN  2 misalnya,  harus bayar 7 juta, punya uang 5 juta tidak boleh. Ini benar-benar sudah menyalahi apa yang diamanatkan UUD 45, “ jelas ketua IGI Jateng.
Dari kajian sementara oleh Kemendiknas terungkap, dana yang dimiliki RSBI sekitar 50 persennya dialokasikan untuk sarana dan prasarana, sekitar 20 persen untuk pengembangan dan kesejahteraan guru, serta manajemen sekolah berkisar 10 persen. Sedangkan  soal kemampuan bahasa Inggris guru juga masih belum memadai. Kajian pada tahun 2008, sekitar 50 persen guru di RSBI ada di level notice (10-250). Sementara untuk guru Matematika dan Sains kemampuan di level terendah notice dan elementary. Hanya kemampuan guru pengajar bahasa Inggris di RSBI yang memenuhi syarat di level intermediate ke atas. Kemampuan bahasa Inggris kepala sekolah RSBI,  sekitar 51 persen berada di level terendah. Parahnya, kajian tahun 2008 itu hingga 2010 lalu, ternyata masih belum signifikan peningkatannya.
Sekretaris Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Prof Dr H Achmad Rofik mengakui kalau program RSBI/SBI itu hingga kini belum jelas tujuan akhirnya. Pemerintah, menurut dia, selalu berlindung pada masih dalam proses evaluasinya program itu. “Lha kalau masih dalam proses evaluasi, seharusnya pemerintah konsisten dong, jangan terus mengeluarkan ijin pada sekolah yang belum benar-benar siap. Ada kesan, program ini diujicobakan, kalau berdampak bagus lanjut, kalau gagal di evaluasi lagi. Ya tidak bagus tho kalau begitu. Kasihan anak didik yang dijadikan kelinci percobaan seperti itu. Seharusnya, pendidikan itu dikelola untuk semua dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Jangan sampai RSBI dipelesetkan jadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional, “ ungkap Achmat Rofik lebih lanjut.
Wajah yang belum jelas benar, akan dibawa kemana program itu, juga ditangkap oleh Suprayitno, pengamat pendidikan yang juga ketua LP3N Jateng.  “Ada kesan pemerintah coba-coba dalam hal ini. Sebenarnya itu sah-sah saja. Tapi karena sudah memunculkan korban di kalangan orang tua, yang terpaksa harus membayar mahal demi sekolah anaknya. Dan anak didik yang terdiskriminasikan dan dikotak-kotak dalam kategori miskin dan berkecukupan. Saya setuju dan bahkan siap mendukung, kalau IGI Pusat akan mem PTUN kan Kemendiknas. Program ini menurut saya sudah memakan korban, dan itu bisa diproses.” Ungkap Yitno lebih lanjut.
Bisa diproses secara hukum maksudnya ?
Wajah buram program idealis dengan standart tinggi itu, lantang diakui pemerintah sebagai belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dan itu dipertegas oleh wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal.  Dia mengatakan, “ SBI bukanlah tujuan akhir. Jadi  tidak ada target Indonesia mesti punya berapa banyak SBI. Kami memfasilitasi sekolah untuk jadi RSBI dan SBI karena itu amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Tetapi tentu nanti dibuat aturannya yang lebih baik lagi,” katanya.
            Nanti ?
“Pemerintah tidak lagi bisa menunda-nunda evaluasi itu. Bubarkan saja sekolah RSBI / SBI  sulapan atau abal-abal. Jangan korbankan anak didik, hanya demi fasilitas wah dan penampilan luar gedung yang megah. Bubarkan sekolah yang hanya ingin duit orang tua tapi melupakan kualitas SDM satuan didik dan proses KBM berkualitasnya. Hal itu sangat menciderai semangat yang diamanatkan UUD 45,” jelas Yitno lebih lanjut.

            Bubarkan saja ?
Bubarkan ? Apa itu solusi yang paling baik ? Bagaimana dengan nasib anak didik yang sudah terlanjur masuk di dalamnya ? Bagaimana dengan duit para orang tua yang sudah terlanjur disedot oleh sekolahan yang selalu dan selalu mengatasnamakan masa depannya anak didiknya, saat harus memungut iuran ‘sukarela’ kepada para orang tua mudid ? Jangan emosional gitu ah ?
            Hywel Coleman, konsultan di British Council, yang juga pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI tidak harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. ”Menyiapkan siswa berwawasan global, jangan diartikan sempit dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah,” ujarnya.
            Menurut Coleman, globalisasi juga jangan diartikan siswa harus bisa bersaing dengan siswa dari negara lain. ”Di dunia global, sekolah internasional justru harus menyiapkan diri sebagai mitra atau sahabat negara lain. Sekolah internasional harus diartikan sebagai upaya sekolah menyiapkan siswa untuk bisa hidup bersama dalam perbedaan dan keanekaragaman,” katanya.
            Lho ? Apa benar gitu ? Jadi semua yang disyaratkan untuk sebuah sekolah RSBI /SBI, khususnya yang terkait dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar tidak perlu ya ? Tapi kenapa pemerintah bersikeras, hal itu menjadi prasyarat utama sebuah sekolah berhak menyandang status itu ?
            Terlepas dari itu, Kementerian Pendidikan Nasional akan mengumpulkan 1.O15 kepala sekolah dan pengelola sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) untuk berdiskusi mengenai tingginya biaya masuk sekolah yang dikeluhkan masyarakat luas.
            "Kami akan mengundang kepala sekolah RSBI dan SBI untuk berdialog seiring dengan banyak keluhan masyarakat akan tingginya biaya masuk ke sekolah RSBI dan SBI," kata Dirjen Manajamen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdiknas Suyanto kepada pers di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kemendiknas mengakui,  tingginya biaya masuk ke sekolah RSBI dan SBI membuat sekolah-sekolah itu hanya bisa diakses orang mampu saja. Evaluasi biaya masuk ke RSBI, dan evaluasi yang menyangkut aspek kualitas, fasilitas, tenaga pengajar, akses bagi anak pintar tetapi tidak mampu secara ekonomi, dan kemampuan sekolah dalam menghasilkan peserta didik yang mampu menjadi juara, itu  menurut Suyanto yang akan dilakukan.
            "Yang harus digaris bawahi, biaya RSBI itu sesuai kesepakatan antara orang tua dan sekolah yang telah dibicarakan komite sekolah, siapa-siapa saja yang sanggup menyumbang. Pemerintah  selama ini sudah memberikan subsidi berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tingkat SD dan SMP untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun.RSBI. Akan tetapi, ada juga sekolah yang menolak BOS, khususnya sekolah swasta. Pasalnya, jika sekolah menerima BOS untuk SD dan SMP, pihak sekolah tidak boleh memungut biaya pendidikan kepada orang tua murid.  Seharusnya sekolah  tidak boleh memungut biaya mahal karena Kemendiknas sudah mensubsidi 20 persen dari anggaran pendidikan yang harus dikelola secara transparan dan akuntabel.
Transparan dan akuntabel ya ?
Slamet ( nama disamarkan ), orang tua anak didik yang sekolah disebuah SMA RSBI / SBI di pusat kota mengatakan, dia dan orang tua anak didik lainnya sebenarnya sama sekali tidak keberatan dipungut uang sekolah tinggi, karena semuanya toh demi kelangsungan pendidikan anak tercintanya.
            “ Hanya masalahnya, kita tidak pernah diberi informasi penggunaan ratusan juta rupiah dana itu. Tidak ada laporan yang transparan dan akuntabel terkait pemanfaatannya. Yang mengemuka justru pada terus munculnya biaya-biaya yang tidak masuk akal, seperti untuk sarana prasarana KBM, pengadaan peralatan IT  dan lainnya, setiap tahunnya. Alat macam apa  yang akan dibeli dan bagaimana kualitasnya, itu yang kita tidak pernah tahu. Apa setiap tahun komputer harus diganti, LCD harus diperbarui, itu yang terus muncul di kepala kita setiap tahunnya, “ jelas Slamet.
            Bagaimana ini ? Komite sekolah bagaimana kinerjanya ? Kalau melihat peran dan fungsinya, seharusnya mereka lah yang bisa memaksa sekolah memberlakukan manajemen terbuka, transparan dan akuntabel. “Hehehehehe jangan pernah berharap komite sekolah bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar. Mereka itu tak lebih dari kepanjangan tangan sekolah. Apa yang dikata sekolah, begitulah mereka. Selama para anggota komite itu masih punya anak yang sekolah di sekolah itu, jangan harap mereka bisa menjalankan peran dan fungsi serta tugasnya dengan baik dan benar. “ Tambah Slamet lebih lanjut.
            Lantas ?
Pemerintah menghentikan pemberian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional mulai tahun 2011. Pemerintah sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional yang izinnya diberikan pada 2006-2010.
            Sebenarnya , menurut Prof DR H. Achmat Rofik, bukan pada sebutan sekolah RSBI / SBI, bukan pula pada nomenklaturnya. Tapi pada bagaimana sebuah sekolah mampu meningkatkan SDM satuan didiknya hingga menjadi benar-benar berkualitas, profesional, kompeten dan ikhlas, itu yang paling penting.  Dalam UU No 20 Tahun 2003, Pasal 50, diterangkan, disetiap Kabupaten atau Kota hanya ada  satu RSBI/SBI. Kenyataannya ? Dana besarlah yang kemudian membuat banyak kepsek berlomba-lomba merubah sekolah regulernya menjadi sekolag RSBI / SBI. Pemerintah sepertinya menjadi seperti pemadam kebakaran, yang datang setelah terjadi kebakaran.
            “Kalau memang akan ada evaluasi, gunakan itu dengan sebenar-benar evaluasi sesuai dengan juklak dan juknisnya. Kalau memang harus ada sekolah yang diturunkan statusnya, laksanakan itu dengan konsekuen dan penuh tanggung jawab. Jangan ada mafia-mafiaan dalam hal ini, karena yang menjadi taruhannya adalah masa depan anak didik.” Pinta Rofik lebih lanjut.
            Intinya ? Karena wajahnya sendiri belum secara jelas mewujud, apa yang hendak digapai juga masih gamang untuk ditentukan. Maka evaluasi yang akan dilakukan pemerintah harus benar-benar melibatkan semua stakeholder, semua pemangku kepentingan. Panggil mereka yang kontra, jangan hanya yang pro. Agar ada gugatan dan masukan yang kritis, sehingga solusi yang dimunculkan dan ditawarkan kepada orang tua dan anak didik, bisa benar-benar menjawab apa yang selama ini dikeluhkan, dihujat dan di proteskan ( meski hanya berupa gerundelan dalam hati, karena takut akan nasib anaknya yang masih sekolah ) dalam banyak kesempatan.
            “Jangan sampai para pemangku kebijakan di Kemendiknas menanggung dosa karena menciptakan program pendidikan yang tidak populis, tidak menyentuh hajat hidup orang banyak dan cenderung mengkotak-kotak, membuat kasta-kasta di dunia pendidikan negeri ini. Jangan sampai para pemangku kebijakan menanggung dosa semua orang tua yang disingkirkan dan tersingkir dari sebuah sekolah favorit, hanya karena tidak mampu membayar biaya pendidikan anak-anaknya. “ Ungkap Faisal Widi dari LP2B tandas.
            Menanggung dosa ya ?  Ah masak sih ? Jangan sampai ! ( dmr )