Jumat, 06 Mei 2011

HARUSKAH SEKOLAH RSBI / SBI DIPERTAHANKAN



Standar tinggi yang diamanatkan undang-undang, atas pemberlakukan sekolah RSBI / SBI  ternyata tidak ditanggung pemerintah pendanaan untuk operasionalnya. Akibatnya, orang tua siswa kobol-kobol merogoh koceknya dalam-dalam. Sejak awal diluncurkan, program kelas tinggi ini memang menuai kontroversi. Sebab, konsepnya tidak jelas, dan lebih mengedepankan kemampuan ekonomi dibandingkan kemampuan akademik siswa. Akibatnya, banyak siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi ditolak masuk program ini karena ketiadaan biaya. Kalaupun ada yang diterima, mereka terpaksa mundur teratur karena tidak sanggup memenuhi berbagai persyaratan lain yang sangat berat dan sulit dipenuhi siswa tidak mampu seperti membeli laptop, mengikuti les bahasa Inggris hingga membeli buku-buku berstandar internasional yang harganya selangit.
            Benarkah ? Kita lihat contoh pada sebuah sekolah di luar pulau Jawa, tepatnya di SMPN 2 Bandar Lampung.  Seorang wali murid, kepada Lampung Post, mengatakan,  dia mengeluarkan minimal Rp2 juta/bulan untuk keperluan putrinya yang sekolah di sekolah favorit tersebut. "Selain SPP yang mencapai Rp300 ribu lebih, saya harus membayar les yang diadakan oleh guru yang sangat mahal yakni Rp150 ribu/bulan dengan empat kali pertemuan," katanya.
Biaya cukup besar juga harus dibayarkan untuk les bahasa Inggris yang rata-rata Rp700 ribu hingga Rp1 juta untuk tiga bulan. Selain itu, untuk mengejar ketertinggalan di sekolah, dia terpaksa mengundang guru les privat ke rumah yang tarifnya Rp30 ribu hingga Rp50 ribu/jam. "Selain itu saya juga harus membayar langganan internet yang bervariasi nilainya setiap bulan antara Rp150 ribu—Rp300 ribu," kata dia. Mahalnya biaya RSBI di sejumlah sekolah di Lampung, selama ini karena dana yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota terpaksa dibebankan kepada orang tua.
Waduh ? Kalau di Semarang lebih besar atau lebih kecil ya ?
Beberapa keperluan siswa di kelas seperti pengadaan bangku, ruang multimedia dan AC terpaksa dibebankan kepada siswa. "Namun, khusus untuk pembangunan fisik dan pengadaan laboratorium merupakan bantuan dari Kementerian Pendidikan," kata seorang pendidik di sebuah sekolah RSBI Semarang. Dan itu masih ditambah dengan biaya “mahal”  yang harus ditanggung oleh sekolah karena sekolah yang berstatus RSBI diwajibkan memiliki sertifikat ISO dari lembaga internasional yang diakui. Padahal untuk mendapatkannya,  sekolah diharuskan mendapat bimbingan dari konsultan yang hingga saat ini baru tersedia di kota-kota besar seperti Jakarta dan Palembang. Konon, untuk mendapatkan satu lembar sertifikat ISO 9000:2001 sekolah harus mengucurkan dana Rp50 juta hingga Rp100 juta. Waduh .... 

RSBI / SBI tetap jadi tumpuan
           
Bak anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu,  Kepsek SMA 4 Semarang, Srinatun, melihat gugatan dan hujatan  terkait status RSBI / SBI sebuah sekolah sebagai hal yang wajar. Dana besar yang dibutuhkan sekolah demi pemenuhan standart  minimal sarana prasarana sebuah sekolah RSBI / SBI, yang kebanyakan dibebankan kepada orang tua murid, kalau kemudian memunculkan sejuta pertanyaan juga  sah-sah saja.
            ” Masyarakat boleh menilai apa saja,  yang pasti kami bertindak sesuai prosedur dan acuan yang telah ditetapkan pemerintah. Kalau kemudian dinilai mahal,  itu relatif ya. Kami sudah berusaha transparan terkait penggunaan dan pemanfaatan dana yang dipungut dari orang tua. Kalau kemudian tetap ada kata tanya, kami menyikapinya dengan  syukur  atas  nikmat dari Tuhan itu. Sebenarnya kami ingin, orang tua tidak harus terus mengeluh, toh dana – dana itu kita kembalikan untuk pendidikan buah hati mereka. Anggap lah itu semua sebagai  amal ibadah,” Ungkap Srinatun, yang sekolahnya sudah RSBI itu lebih lanjut.
            Kepala sekolah SMPN 27 Semarang, Drs Harianto D, sebuah sekolah reguler, ternyata mendukung juga keberadaan sekolah RSBI / SBI itu, meski dengan banyak catatan. ” Yang berhak masuk ke sekolah itu seharusnya anak yang benar-benar mampu secara kecerdasan dan kepandaian, juga mampu secara ekonomi. Sebab kualifikasi anak didik seperti itulah yang dituntut. Sehingga, kalau kemudian ada anak yang pas-pasan, secara kecerdasan dan ekonomi, pasti akan repot dan kesulitan sendiri. Terlepas dari itu semua, saya sebenarnya berharap, program sekolah RSBI / SBI ditinjau kembali. ” Ungkapnya.
Orang tua yang pas-pasan dari sisi ekonomi, menurut Harianto, pasti akan keteteran saat harus mengikuti semua program yang pendanaannya dibebankan kepada orang tua. Apalagi, kalau itu ditambah dengan kemampuan akademik anaknya juga pas-pasan. Pengeluarannya akan makin banyak, untuk banyak les misalnya dan lainnya. Itulah, dari orang tua seperti itulah,  yang ditunjuk Harianto sebagai pemicu munculnya banyak gugatan terhadap keberadaan sekolah itu.
Sementara Kepala Sekolah SMAN 5 Semarang, Drs. Waino melihat masih ada sekolah RSBI yang memaksakan diri padahal SDM tenaga didiknya belum siap. ”Kalau memang belum siap, lebih  baik jangan memaksakan diri. Sebab, selain harus mandiri secara finansial, sekolah RSBI juga menuntut anak didik aktif, sementara guru hanya menjadi fasilitator. Kalau di sebuah sekolah RSBI / SBI  satuan didiknya, gurunya, dari sisi SDM masih sangat rendah kualitasnya, lebih baik dibubarkan. Sekolah seperti inilah yang dituding memunculkan banyak gugatan dan bahkan hujatan terkait keberadaannya.” Ungkap Waino lebih lanjut.
Sekolah RSBI / SBI dengan kualitas SDM pas-pasan, bahkan cenderung rendah, dituding Waino, sebagai penyulut munculnya serangan dari banyak pihak terkait keberadaannya. Sekolah seperti itu, menurut Waino, biasanya juga tidak terlalu bagus menjalin komunikasi dengan orang tua murid, kurang transparan dalam pengelolaan dan penggunaan dananya. ”Akibatnya, orang tua yang kurang dilibatkan, kurang diajak rembugan, akan selalu bertanya dan bertanya atas semua kebijakan yang dikeluarkan sekolah. Kalau tanya itu mendapatkan jawab yang pas dan memuaskan, akan tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah, apabila kata tanya itu sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Dan itulah yang mengemuka saat ini, ” ungkap Waino lebih lanjut.
Sejuta gugatan boleh terus mengemuka, terkait keberadaan sebuah sekolah yang menyandang status RSBI / SBI. Tapi yang pasti, menurut Srinatun, model sekolah mandiri dengan tututan agar anak didik aktif, dan memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi untuk mendukung proses KBM, kedepannya akan menjadi sebuah kebutuhan. Untuk menuju model sekolah RSBI / SBI yang ideal, sesuai yang diamanatkan UU No 20, Pasal 50 Tahun 2003 Sismendiknas, memang membutuhkan SDM, sarana prasarana dan proses KBM yang profesional, berkualitas dan mumpuni. Sayangnya, sekolah dengan model yang demikian, masih belum begitu banyak, meski di belakang nama sekolahnya sudah ada embel-embel RSBI / SBI.
”Kalau hanya mendasarkan pada out put kelulusan yang 100 persen, sekolah reguler juga banyak yang meluluskan anak didiknya 100 %. Kalau merujuk pada penguasaan bahasa Inggris anak didiknya, anak didik di sekolah reguler juga banyak yang bahkan lebih menguasai. Apalagi yang mau diandalkan ? Saya lebih menunjuk pada kelengkapan sarana prasarana, pemaksimalan penggunaan teknologi IT dan  penambahan jam belajar yang menjadi kelebihannya, selain itu tidak ada.” Gugat  Suprayitno lebih lanjut.
Yang pasti, apapun gugatan dan bahkan hujatan yang mengemuka dari masyarakat, menurut Prof DR Achmat Rofik, dunia pendidikan di Indonesia memang butuh moda pendidikan yang benar-benar mampu menyeimbangkan, memadukan,  antara kemajuan teknologi dengan  dasar pendidikan lokal wisdom yang bertumpu pada penanaman dan penumbuhkembangan akidah dan nilai-nilai agama,  budi pekerti luhur, sehingga mampu memunculkan out put anak didik yang berkarakter dan berkebangsaan tinggi.
”Evaluasi tetap harus dilakukan, agar muncul sekolah RSBI / SBI yang benar-benar ideal dari sisi apa saja. Besaran dana yang ditarik dari orang tua anak didik, harus secara signifikan mendatangkan  manfaat, efektif dan efisien menghasilkan kelulusan sebagaimana yang dicita-citakan founding father negeri ini. Dan yang paling penting, setiap kepsek di sekolah RSBI / SBI harus mampu berbesar hati, legowo, membuka lebih transparan lagi untuk apa saja, akan dialokasikan  di mana saja, dana yang ditarik dari orang tua anak didik.  Orang tua harus benar-benar dilibatkan di dalamnya, dan komite sekolah dimaksimalkan peran dan fungsinya, sehingga status RSBI / SBI yang melekat di belakang nama sekolah, tidak hanya sekedar tempelan dan gengsi saja, tapi benar-benar layak dan pas. ” Papar Achamad Rofik panjang lebar.
Lantas ?
Keharusan sekolah RSBI / SBI menyediakan ruang untuk 20 persen anak didik kurang mampu dari sisi ekonomi tapi ’mampu’ secara akademik bagaimana ? Mereka, menurut Muhdi, rektor IKIP PGRI, dipastikan akan tetap menghadapi kesulitan khususnya terkait dengan pemenuhan sarana prasarana belajarnya. ”Dalam tataran ideal pencatuman angka 20 persen itu bagus.  Tapi  bagusnya hanya  di atas kertas saja. Dalam pelaksanaannya, anak didik yang kurang mampu tetap akan mendapatkan beban mental dan psikologis, khususnya di saat harus menyediakan buku dan peralatan bantu seperti lap top dan lainnya. ”
            Dana  besar yang ditarik dari orang tua, khususnya yang dialokasikan untuk subsidi silang anak didik kurang mampu, harus benar-benar secara transparan dilaporkan penggunaannya. Sebab, kebijakan yang digadang-gadang  menjadi misi kemanusiaan atas moda sekolah RSBI/SBI, dan selalu dijadikan alasan dalam penarikan dana dari orang tua, tidak pernah secara jelas menyebut nama anak yang mendapatkan, untuk berapa orang dan apa saja yang diberikan. ”Susah kalau harus menuntut sekolah benar-benar transparan melaporkan semuanya. Hanya sekolah dengan kepsek yang idealis, legowo dan ikhlas saja yang bisa melakukannya. Yang menjadi pertanyaan, berapa banyak kepsek seperti itu ada di ratusan sekolah RSBI / SBI di Jawa Tengah ini ? ” Tanya Mampuono, ketua IGI Jawa Tengah.
            Berapa banyak ya ? (dmr)