Senin, 06 Juni 2011

QUO VADIS DUNIA PENDIDIKAN


            ”Bapak juga gitu, masak mas yang harus minta maaf sama Adit, padahal diakan yang nakalin adik. Mas kan hanya mbela adik. Bapak kuno, lihat ini, Mega – Sby aja nggak  mau akur..... ” Begitu anak sulung saya ngedumel saat saya suruh berbaikan dengan temannya yang habis diajak berkelahi, sambil ngangsurin koran Suara Merdeka Jum’at 3 Juni yang di halaman 2 nya tertulis besar judul Mega – Sby Belum Akur.
            Blaik ! Saya yang sudah membaca itu berita, langsung terdiam, talkless. Kagak bisa ngomong. Anak sekarang memang lain dengan anak jaman lalu. Ada kekritisan, ada seribu pertanyaan dan pernyataan. Dan keteladanan yang menjadi sumber paling utama dan cespleng dalam pola pengasuhan dan pendidikan anak, menjadi mental dan mentah tidak karuan, begitu anakku menyodorkan koran itu. Ini yang salah koran yang menurunkan headline atau perilaku pemimpin negeri ini yang sama sekali tidak patut dicontoh ?
            ...  Di sela-sela acara, Mega mebagi-bagi permen kepada tamu yang duduk di kanan – kirinya, yakni mantan presiden BJ Habibie, mantan wakil presiden Try Sutrisno, Hamzah Haz dan Yusuf Kalla. Namun, Mega tidak menawarkan permennya kepada SBY dan ketua MPR Taufik Kiemas yang juga suaminya .......
            Bah! Anak saya, yang ternyata juga sudah membaca beritanya, terus ngedumel dengan berjuta alasan, yang ujung-ujungnya bilang, ” .... presiden dan mantan presiden aja gak saling memberi permen kok, kenapa bapak mesti memaksa mas meminta maaf sih ..... ”
            Perilaku pemimpin negeri yang kayak begini apa patut dicontoh ? Kenapa pula di media masakan dengan judul begitu besar ? Meski di banyak kesempatan, di banyak mimbar, mereka, para pemimpin negeri ini, terus mengumbar, memberi janji, ber orasi setinggi langit tentang hal-hal yang baik dan terpuji, tapi kenyataannya ? Hanya sekedar lips service ? Geli dan pengin marah, itulah yang mengemuka pada saya saat itu. Kasus permen itu, menjadi  gambaran seutuhnya perilaku berpolitik para pemimpin negeri, yang sama sekali tidak patut dicontoh. Tidak patut menjadi teladan babar blas.

Quo Vadis dunia pendidikan ?
            Kalau boleh saya mengatakan, dunia pendidikan sekarang dalam posisi quo vadis. Dunia pendidikan, tidak bisa lagi secara benar menjawab apa yang dibutuhkan anak didik dalam mensikapi perkembangan dan tantangan sosial yang makin kompleks. Globalisasi
dunia yang  membuka semua akses dan ekses kehidupan, lengkap dengan plus minusnya, membuat anak didik gamang dan rapuh dalam menjalaninya.  Perilaku mereka makin tidak bisa ditebak, dan itu ditandai dengan makin bergesernya moralitas dan  makin menghilangnya budi pekerti dan unggah-ungguh dalam bersosialisasi. Anak didik, kalau saya perhatikan, hanya harus dan harus berprestasi secara akademis, hanya secara kognitif. Para guru hanya punya satu tugas, bagaimana menghantar anak didik lulus 100 persen di UN. Dan itulah dosa asal atas menghilangnya karakter dan segala sifat baik anak didik.
            Demikian yang dikatakan Ny. Murwani Maspuri Ridwan, mantan kepsek SMP Negeri Wonosalam Demak. Lebih lanjut dia mengatakan, tantangan yang dihadapi anak didik saat harus bergaul dengan lingkungannya saat ini lebih berat, lebih kompleks. Banyak godaan dan lebih banyak lagi iming-iming yang melenakan semangat belajar mereka. Seharusnya, pola pembelajaran yang diberikan juga melihat permasalahan yang dihadapi mereka. Tapi kenyataannya kan tidak. UN menjadi alasan para guru lebih memprioritaskan pada penguasaan materi pelajaran yang diujikan dalam UN. Sementara pelajaran lain, menjadi hanya sekedar pelengkap. Menjadi hanya sekedar ada.
            ”Pengamalan akidah dan budi pekerti serta karakter anak didik, hanya diberikan saat UN menjelang, lewat doa bersama hingga mujahadah. Itu  tentu saja tidak benar, karena itu sama saja membenarkan anggapan, bahwa beribadah, berdoa kepada Yang Esa hanya harus dilakukan saat menghadapi masalah. UN masalah juga kan ? ” Ungkapnya lebih lanjut.
            Pendapat senada diucapkan juga oleh ketua PGRI Jateng, Subagio Brotosedjati. Menurut  mantan Kadiknas provinsi Jateng, beban yang harus disandang satuan tenaga didik saat ini lebih berat dan makin kompleks. Bagi yang sudah lulus sertifikasi, mereka harus membuat laporan rutin terkait proses KBM nya. Mereka juga harus mampu mencari inovasi dalam pola pembelajarannya. Sementara bagi yang belum lulus, mereka dituntut untuk terus meningkatkan diri agar bisa ikut lulus. Banyaknya beban itu, kalau mau jujur, mengurangi waktu mereka untuk melakukan pendekatan persuasif pada anak didik, khususnya yang bermasalah.
            ” Padahal pendekatan itulah yang paling efektif dalam menanamkan  akidah, karakter, budi pekerti anak didik. Keteladanan yang dulu sangat mengemuka, lewat pendekatan personal, sekarang mulai diganti dengan banyak PR, banyak tugas hafalan hingga penguasaan materi pelajaran. Semuanya itu diatasnamakan ujian nasional. Anak didik  taunya hanya belajar dan belajar, sementara dalam dirinya kering secara moralitas dan contoh-contoh budi pekerti dan unggah-ungguh. Guru kehilangan waktunya untuk anak didik, itu saya kira yang paling pas menggambarkan situasi yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. ”  Ungkap Subagio lebih lanjut.
            Kembalinya sekolah mendapatkan hak menentukan kelulusan anak didiknya, menurut Murwani, menjadi momentum bagi semua guru, untuk kembali ke khitah awal, menjadi guru yang sebenar guru, yang wajib digugu dan ditiru. Guru adalah teladan, guru adalah semua sifat baik dan pusatnya karakter. Guru harus punya waktu 24 jam untuk anak didiknya. ”Guru jangan mementingkan dirinya sendiri, dengan
meninggalkan kelas untuk sekolah lagi demi mengejar syarat lulus sertifikasi. Meninggalkan murid dan memberikan LKS dengan tujuan tidak jelas, menjadi perbuatan yang paling tercela. Jaman memang sudah berubah, tapi guru tetaplah seorang guru. Dia mengemban tugas mulia, dan misinya tidak hanya meluluskan anak didik tapi juga membekali mereka dengan akidah, budi pekerti luhur, sehingga saat harus meninggalkan sekolahnya mereka menjadi anak yang berkarakter kuat,” ungkap Murwani lebih lanjut.
            Lantas ?
Saya berharap nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan sejak dini dari TK. Ibaratnya, kita harus memberi warna dan tulisan  pada selembar kertas putih, sehingga pada kertas itu melekat terus akidah, budi pekerti dan segala sifat sikap baik. Dan itu harus terus diperkuat saat dia duduk di SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Yakinlah, kalau itu bisa dilakukan, kekhawatiran banyak pihak terkait lunturnya karakter anak didik, tidak akan mengemuka lagi. Demikian diungkapkan Pembantu Rektor III Universitas Diponegoro, yang juga mantan Dekan Fisip Undip  Drs. Warsito.SU.
Hanya Warsito berharap, penanaman nilai-nilai Pancasila itu  haruslah satu dimensi instrumental. Saat hidup bersama berbangsa dan bernegara sudah bisa berjalan dengan baik dan itu disadari bersama. Pasti nantinya  akan mengerucut pada penjunjungan  tinggi akan ideologi negara. Dan kalau semua itu terlaksana dan teraplikasi dengan baik dalam hidup keseharian rakyatnya , maka  kita aman, tentram dan tidak saling menyalahkan dalam kehidupan bernegara, ”  Jelasnya.
Salah satu agenda strategis jangka panjang untuk membumikan Pancasila di kalangan generasi muda mau tidak mau harus dan menjadi satu-satunya langkah paling tepat adalah melalui dunia pendidikan. Demikian dikatakan Direktur Eskekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq. ”Beberapa survey belakangan ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolaj umum telah mengalami krisis disorientasi, seiring dengan suburnya pandangan keagamaan eksklusif antikeberagaman dan intoleren.”  Ungkapnya lebih lanjut.
Untuk menuju proses tersebut, pihaknya, menurut Riza, akan memprakarsai program penguatan kesadaran warganegara di SMA di empat daerah, yaitu Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta dan Surakarta. ” Dengan langkah ini, kami ingin menginternalisasi nilai-nilai toleransi, keterbukaan, anti kekerasan di kalangan siswa sekolah,” ungkapnya.
            Sudah begitu parah dan mengkhawatirkan kah tingkah polah, sikap sifat generasi muda negeri ini, saat ini ?
            ”Kalau kita mau jujur melihat realitas sosial yang berkembang saat ini, moralitas sebagian besar anak negeri ini sudah dalam tataran mengkhawatirkan. Pergaulan bebas, narkoba, premanisme, dan perilaku tidak terpuji lainnya, di bina dan dibentuk tidak hanya oleh lingkungan, tapi juga oleh perilaku keseharian para publik figur, para pemimpin, dan para pemegang amanah rakyat. Mereka memberi contoh yang sama sekali tidak terpuji, korupsi, main perempuan, saling lempar pepesan kosong di media masa, saling fitnah dan lainnya. Apa yang bisa menjadi teladan dari mereka ? ” runtuk Philipus Ramlan.
            ”Bapak mbok sekali-kali korupsi, biar banyak duit ....... 
Walah !? Dapat pikiran darimana anak kecil saya ngomong kayak gitu ? Memang, sebelum dia ngomong gitu, saya sempat berjanji akan membelikan sepeda baru kalau punya uang. Yang jadi pikiran saya sebagai orang tua adalah, darimana dia punya perbendaraan kata seperti itu ?   

Tidak hanya di sekolah
            Adalah Isdarwanti , SPd SD Guru SDN Karangrejo 01, Kecamatan Gajah Mungkur yang mengatakan kalau pengembalian Pancasila dalam kurikulum lebih baik di semua bidang studi, sejak usia dini. “Eksklusifisme pada penerapan satu bidang studi seperti P4 nya orde baru hanya akan memunculkan banyak kata tanya. Saya takut Pancasila gagal dimasukkan kembali dalam kurikulum. Lebih baik, pemerintah menyusun pola  pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila  itu lebih dulu secara sederhana, lugas dan mudah diterima olah anak didik.  Baru kemudian diterjemahkan dan diterapkan dalam semua bidang studi. Untuk pelajaran agama misalnya, sila-sila dalam Pancasila akan lebih pas apabila aplikasinya disesuaikan dengan akidahnya. Untuk bahasa Inggris, lebih ditujukan pada penguatan rasa bangga berbangsa dan bernegara. Demikian seterusnya. ”
Jadi menurut Isdarwanti, semua guru mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam  membentuk anak didik berkarakter dan berbudi pekerti luhur. ”Problematika anak didik itu tidak sama. Masing-masing membawa karakteristik sendiri-sendiri. Harus ada pendekatan personal pada masing-masing anak didik, agar mereka bisa benar-benar menjadi generasi muda yang berkarakter baik.”
Kepala Sekolah SMA N 14 Semarang, Drs Wagino juga setuju pelajaran Pancasila mulai diberlakukan sejak usia dini. ”Pembelajaran pancasila harus dilakukan sejak dini, idealnya saat mereka sekolah PAUD. Itu harus dilakukan di lingkungan sekolah,  maupun dilingkungan  keluarga. Semuanya harus saling  mendukung.” jelasnya.
Lebih jauh Wagino menuturkan, dia  sangat setuju apabila pancasila kembali diterapkan dalam kurikulum. “ Pancasila memang identik dengan orde baru. Saat reformasi, banyak orang yang alergi dengan orde baru. Merekalah yang mendorong dihapusnya Pancasila di kurikulum. Padahal kalau mau jujur, dengan Pancasilalah, bangsa ini bisa  bersatu agar  jiwa patriotisme, demokratis dan nasionalisme  bisa berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Saat bangsa ini lagi bermasalah, kerinduan akan Pancasila kembali mengemuka, dan itu baik, sangat baik, ” tuturnya.
Semua komponen harus saling sinergis, mewujudkan pengamalan nilai-nilai pancasila di lingkungan tanpa mengabaikan norma budaya setempat yang berlaku, ungkap Wagino lebih lanjut.  Pancasila kembali masuk kurikulum, itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Generasi muda harus diberikan pembelajaran, pemahaman, dan penguatan atas apa yang terkandung dan tersirat dalam sila-sila dalam Pancasila. Sementara orang tua, harus kembali disegarkan, diingatkan, bahwa Pancasila adalah dasar dari semua dasar pola kehidupan berbangsa dan bernegera.
            Lantas ?
Mendiknas M. Nuh, sudah berjanji  akan kembali memasukkan Pancasila dalam kurikulum di semua tingkatan pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi. Pihaknya, akan memanggil semua pemangku kepentingan, stake holder, untuk bersama-sama merumuskan, bagaimana pola pembelajaran yang pas dan tepat, agar anak didik bisa mendapatkan pencerahan terkait karakter, perilaku dan budi pekertinya.
            Yang pasti, menurut M. Nuh, tidak semua yang ditinggalkan orde baru itu buruk. Mari kita ambil yang baik-baik dan tinggalkan yang buruk. Pancasila harus kembali  masuk ke kurikulum dunia pendidikan, agar anak didik mendapatkan penguatan atas sikap sifat dan karakternya.
            ”Jangan sampai pendidikan malah menjadikan anak melupakan aspek mental dan moralnya. Penguasaan ilmu dan teknologi yang meninggalkan aspek keagamaan, hanya akan menjadikan anak gagap dan terbata-bata saat harus menerima gempuran arus teknologi dan globalisasi dunia. Akibat akhirnya, anak hanya fokus mengejar duniawinya, sementara dalam dirinya kering dengan akidah dan budi pekerti serta sikap sifat baik.” Ungkap Elvira, sekretaris Lembaga Pelatihan dan Pengembangan Bakat (LP2B) Semarang
“Ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan, jika kita sesat di ujung jalan, kita harus kembali ke pangkal jalan. Artinya, jika kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat kita mengalami persoalan, maka kita harus kembali ke cita-cita awal, yaitu Pancasila dan UUD 1945,” demikian Mendagri, Gamawan Fauzi, menutup semua silang sengkarut di atas.
Kembali ke pangkal jalan ya ? (dmr)