Senin, 06 Juni 2011

DICARI : PEMIMPIN TEGAS



UNTUK  SELAMATKAN  INDONESIA DARI KEBANGKRUTAN    

Bangsa ini diambang kebangkrutan. Negeri ini menjadi tidak nyaman lagi bagi anak negeri merunut masa depannya. Setiap hari rakyat disodori pameran kekuasaan yang tanpa batas, permainan politik yang saling membusukkan, perselingkuhan elit politik dengan para pemain dunia usaha dan berjuta show of force, lips service untuk saling menghujat, membusukkan dan mematikan. Setiap saat rakyat dipameri permainan melotragedi para aktor panggung yang mengatasnamakan kelompok dan golongan. Perseteruan yang seharusnya menjadi konsumsi internal diumbar dan diungkapmediakan sehingga menjadi permainan nasional, yang merepotkan dan menghabiskan energi petinggi negeri ini. Energi yang seharusnya diatasnamakan seratus persen demi kepentingan rakyatnya, kesejahteraan dan masa depan rakyatnya, habis, tandas tuntas demi permainan itu.
            Di tataran pelajar negeri ini, menghilangnya karakter, budi pekerti dan sikap-sikap tak acuh, tidak peduli, tidak peka lingkungan, sak karepe dhewe, mengemuka dan menjadi kekhawatiran mereka yang masih peduli dengan nasib anak negeri. Eksklusifisme, cenderung menolak sesuatu yang berbeda dengan apa yang dianut dan diyakini kelompoknya, dan mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, itulah yang muncul di perilaku sebagian besar anak negeri ini.
            Keteladanan yang nihil dari para pemimpin negeri ini, makin memperparah ketidakpedulian rakyat akan nasib bangsa dan negara ini kedepannya. Terus dikurasnya potensi alam oleh negeri lain, menjadi neo kolonialisme baru, yang mempercepat kebangkrutan negeri ini. Para pemimpin yang tidak tegas, yang takut  akan opini, pendapat, hingga ancaman dan embargo negera lain, makin mengkerdilkan kebanggaan berbangsa dan bernegara.  Mereka menjadi inferior dipergaulan bangsa-bangsa, sehingga bangsa ini selalu dilecehkan, dihina dan tidak pernah dianggap dalam percaturan di dunia internasional, serta selalu terlambat merespon setiap permasalahan yang dialami anak negeri ini di luar negeri.
            Modal dasar untuk bermain di percaturan dunia internasional, sudah tidak dipunyai lagi anak bangsa yang kebetulan menjadi pemimpin di negeri ini. Kalau  menurut istilah ketua PGRI Jawa Tengah, Subagio Brotosedjati, bangsa ini kehilangan posisi tawarnya, bargaining nya, karena dasar negara yang menjamin munculnya karakter yang kuat dan kebanggaan berbangsa dan bernegara, mulai tidak dianggap. ”Benar mas, tawar menawar dengan negeri kecil seperti Singapura terkait masalah ekstradisi para koruptor saja kita tidak dianggap, apalagi dengan negara lainnya. Itu semua karena karakter yang membentuk ketegasan dan keikhlasan mengabdi, sudah mulai tidak dipunyai oleh banyak pengambil kebijakan  di negeri ini. ” ungkapnya lebih lanjut.

Selamatkan Pancasila
Karakter itu adalah sifat, watak, tabiat, perilaku yang mengakar pada diri seseorang, satu kelompok masyarakat, atau bangsa terhadap suatu prinsip-prinsip tertentu. Demikian ucap Prof Dr H Arief Rahman Hakim MPd, pakar pendidikan negeri ini.  ”Sementara pendidikan karakter adalah suatu pendidikan yang membentuk karakter seseorang, karakter bangsa, atau karakter masyarakat berdasarkan suatu prinsip yang disebut filosofi dari bangsa itu. Dalam hal ini bangsa Indonesia mempunyai pegangan yaitu falsafah Pancasila.” Jelas Arif  lebih lanjut.
Pancasila sendiri  adalah dasar negara Indonesia. Seharusnya itu menjadi harga mati, tidak tergantikan hingga negeri ini runtuh.  ”Sebab, ia mengandung nilai-nilai luhur hasil eksplorasi para pendiri bangsa negeri ini (founding father). Di dalamnya  terkandung karakter dan kepribadian ideal manusia Indonesia yang dapat membawa negeri ini kepada kesejahteraan bersama. Membawa negeri ini agar mampu dan berani berdiri sejajar dengan bangsa dan negara lain, tanpa harus takut dipecundangi dan dilecehkan sebagaimana yang sering diterima selama ini.” Ungkap Drs Warsito SU, PR III Undip.
Waduh ?
Lantas bagaimana sebenarnya aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam ranah dunia pendidikan? Apakah Pancasila masih relevan dengan kondisi masyarakat yang terus berubah? Juga bagaimana penerapannya di lingkungan sekolah?
Kepala Sekolah SMA N 14 Semarang, Drs Wagino mengungkapkan,  Pancasila masih belum luntur di jiwa pemuda Indonesia. “Saya yakin Pancasila sebagai dasar negara belum 100 persen  luntur, masih banyak kita jumpai pemuda yang  mempunyai karakter kuat dan budi pekerti baik. Tapi terus terang, yang saat ini mengemuka adalah generasi muda yang miskin karakter, yang mementingkan diri sendiri, yang sak karepe dhewe, dan ogah saat harus ikut dalam banyak kegiatan sosial di lingkungannya. Dan itu termasuk juga para pelajar,   ” ungkapnya.
Namun menurut Wagino, keprihatinan paling besar justru harus ditujukan pada para pemimpin negeri ini. ” Mereka, kalau mau jujur,  saat ini, dalam kondisi negeri saat ini, lebih mengedepankan kelompok dan posisi politisnya dibandingkan nasib bangsa dan negara. Mereka setiap hari sibuk berdebat di media massa , sibuk melakukan manuver, melemparkan isu, saling menjatuhkan, semuanya demi apa ? Demi kepentingan politis sesaat mereka kan ? Inilah sumber dari mulai melemahnya posisi tawar negeri ini di percaturan dunia internasional.” ungkap Wagino lebih lanjut. 
Jadi kalau mau dirunut, siapa yang harus dipersalahkan terkait situasi kondisi negeri ini yang terus carut marut adalah para pemegang amanah di DPR, Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan serta institusi tinggi negeri ini.. Para pembantu presiden hingga presidennya yang tidak berani tegas, itulah akar permasalahannya.  Mereka semua tidak bisa memberikan keteladanan yang baik pada rakyat, khususnya generasi mudanya. Mereka sibuk dengan urusan internal partai, kelompok dan golongannya. Demikian kesimpulan para tokoh lintas agama dalam pernyataan sikapnya belum lama ini, dalam rangka refleksi hari Kebangkitan Nasional beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataannya, para tokoh lintas agama ini mengatakan, bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani dan bertekad untuk menyelamatkan ideologi negara yakni Pancasila. Hal ini guna mencegah ancaman kebangkrutan nasional.
Gus Solahudin Wahid, pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng,  menjelaskan bahwa pernyataan sikap ini merupakan suatu upaya dari para tokoh agama yang ingin memperjuangkan bangsa agar terhindar dari kebangkrutan nasional.
"Bagaimana kita memperjuangkan itu, itulah yang harus kita cari bersama,  " tandasnya.
            Menyelamatkan dan mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara yang diusung para tokoh lintas agama, ternyata disambut dengan gegap gempita oleh para pemimpin lembaga negara di negeri ini. Caranya ? Mengembalikan Pancasila dalam moda pembelajaran di semua tingkatan pendidikan.
            Benar, setelah sekian lama Pancasila dihapus dari kurikulum pelajaran di Indonesia, akhirnya seluruh lembaga negara menyepakati mata pelajaran tersebut kembali diajarkan. Negara ingin, Pancasila kembali menjadi ideologi bangsa Indonesia. "Sudah beres, semua lembaga  mau , sepakat untuk mengembalikan pembelajaran Pancasila ke semua sekolah. Yang mendorong bukan saya tetapi semua lembaga," kata Ketua MPR RI Taufik Kiemas ketika ditanya wartawan tentang hasil pertemuan pimpinan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.
            Kiemas menjelaskan, MPR sendiri mendapat tugas memberi masukan untuk materi bahan ajaran. Karena itu, MPR akan membahas hal tersebut dengan ahli pendidikan dan tata negara.
Menurut Taufiq, konsep yang diajukan MPR adalah tidak memaksa masyarakat belajar Pancasila. Namun Pancasila mesti menjadi ideologi berkaitan dengan  krisis toleransi belakangan ini. ”Dan respon pemerintah seribu persen setuju," ungkapnya.
            Gayung sudah bersambut, dari pelaku dunia pendidikan sendiri bagaimana ?
Drs Philippus Ramlan, guru PKn SMP 25 Semarang mengatakan, kita harus berani jujur mengakui kalau Pancasila dikalangan pemuda pemudi sudah tidak begitu diperhatikan. Keprihatinan banyak pihak terkait karakter anak didik yang mulai luntur, jelas mulai menggejala. Dan itu harus segera diwaspadai dan dicarikan solusi. Mengembalikan pelajaran Pancasila dalam kurikulum, itulah langkah yang paling tepat.
 ”Kemendiknas harus mulai kembali membuat silabus di mana  muatan materi Pancasila dalam mata pelajaran PKn harus lebih mendalam, dengan contoh-contoh dan keteladanan para pemimpin negeri. Sebenarnya  jiwa dan semangat Pancasila  sudah ada  dalam UUD, namun tidak dikupas per silanya. Pancasila tidak bisa dipisahkan dengan UUD 45. Kalau ingin anak didik kembali ke fitrahnya sebagai manusia yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur, sila-sila dalam Pancasila harus dijabarkan secara jelas dan gamblang sesuai dengan perkembangan jaman, ” ungkap Ramlan lebih lanjut.
Terpisah Ketua DPRD kota Semarang,  Rudi Nurrahmat mengatakan, Pancasila adalah  tonggak dari perjuangan bangsa Indonesia. “Dimana semangat nilai-nilai Pancasila menjadi  roh pemersatu kekuatan dan keutuhan NKRI. Karena setiap sila yang terkandung dalam Pancasila mencerminkan kehidupan dari Bangsa Indoneisa,” katanya.
Mengembalikan Pancasila ke kurikulum, menurut Rudy, adalah satu kebijakan yang sangat ditunggu ditengah situasi kondisi negeri seperti ini. ”Jangan kemudian Pancasila dipolitisir sebagai warisan orde baru, sehingga harus ditinggalkan. Itu sama sekali tidak fair. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa. Keberadaannya telah diuji oleh sejarah, dan itulah yang harus terus dikembangkan, bukan malah diminimalisir seperti saat ini.” ungkap Rudy lebih lanjut.
            Pancasila seharusnya sudah final menjadi dasar dan ideologi bangsa ini. Hanya sayangnya, menurut Rudy,  depolitisasi berbagai hal akhirnya  menempatkan Pancasila sebagai warisan rezim orde baru, yang harus ditinggalkan. Padahal sebenarnya itu hanya pendapat beberapa gelintir orang, tapi imbasnya sangat luar biasa, karena Pancasila kemudian lepas dari kurikulum dunia pendidikan negeri ini. ”Ketika kemudian negeri ini makin banyak masalah, makin carut marut, para pemimpin hingga pelajar makin kehilangan karakternya, barulah Pancasila diingat untuk kembali dijadikan dasar dan ideologi berbangsa dan bernegara.” Ungkap Rudy lebih lanjut.
           
            PMP dan PKN harus terpisah
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. Dimana dalam ideologi tersebut memuat gagasan dan wawasan yang mengandung nilai-nilai kebenaran yang nantinya mengerucut pada tujuan Negara. “Pada zaman orde baru banyak pihak menganggap Pancasila sebagai doktrin, itu ada benarnya. Karena Pancasila merupakan ideologi bangsa maka  ideologi tersebut  mutlak dan  harus dimengerti rakyatnya, agar menjadi way of life, perilaku kesehariannya. Itukan  sama saja dengan doktrin. Setelah rakyatnya, pejabat dan PNS nya, ideologi tersebut  harus disosialisasikan ke lembaga pendidikan. Nah,  kalau tidak lewat  doktrin tentunya tidak akan teraplikasi dengan baik,” papar  Pembantu Rektor III Universitas Diponegoro, yang juga mantan Dekan Fisip Undip  Drs. Warsito.SU
Agar pengembalian Pancasila ke dunia pendidikan tidak memunculkan pro kontra, khususnya dari orang-orang yang tidak menginginkan bangsa dan negeri ini mempunyai karakter yang kuat, Warsita menjawab, “Dulu Pancasila diwadahi dalam  Pendidikan Moral Pancasila, sekarang berganti Pendidikan Kewarganegaraan. Sebenarnya pendidikan Pancasila sudah ada di dalam PKN, hanya saja belum detail dan dalam. Masih menyentuh kulit luarnya saja, menurut saya. Tidak  masalah sebenarnya, hanya kalau bisa ada kurikulum yang terpisah, antara PKN dan PMP, sehingga sila-sila dalam Pancasila terjabarkan dengan baik dan dalam.”
Yang menjadi masalah sekarang, menurut Warsita adalah perlu di evaluasi dan dikajinya pola pembelajaran Pancasila di sekolah. Bagaimana  strategi dan cara Guru, Dosen, dan tenaga pendidik lainya menyampaikan materi. Itu yang harus dievaluasi. Apa dengan sistem doktrin seperti masa lalu, atau sistem keteladanan. Semua stakeholder dunia pendidikan harus duduk satu meja untuk merumuskannya, agar penanaman dan pengamalan Pancasila saat ini tidak dikatakan indoktrinasi rezim berkuasa sebagaimana yang dituduhkan saat ini kepada orde baru.
Pola Pembelajaran dengan keteladananm, itu yang menurut ketua PGRI Jateng, Subagio Brotosedjati, paling pas dan tepat saat ini. ”Generasi muda kita saat ini sangat kritis, mereka pinter-pinter. Sehingga segala bentuk pemaksaan, tekanan dan arogansi penguasa pasti akan ditentang. Pola pembelajaran Pancasila juga demikian, jangan ada lagi indoktrinasi apalagi pencucian otak. Semuanya harus muncul dengan sendirinya, setelah mereka melihat, mengamati dan mengambil intisari pelajaran dari keteladanan para pemimpinnya. Harus ada budaya malu berbuat salah, itu setidaknya tujuan akhir dari pembelajaran Pancasila itu, ” ungkapnya.
 “ Saya merindukan suasana ketika masyarakat Indonesia saling menghormati dan tolong menolong, menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah dan kepala dingin, tidak ricuh dan bergolak seperti saat ini, “ tutur Isdarwanti , SPd, guru SDN Karangrejo 01, Kecamatan Gajah Mungkur.
Hanya sayangnya, menurut Isdarwanti semua itu terjadi pada masa Orde Baru, dimana pengamalan Pancasila dan pelaksanaan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) dilaksanakan seluruh rakyat dengan sewajarnya.  Saat itu P4  dituangkan dalam rumusan yang sederhana dan jelas,  yang mencerminkan suara hati nurani manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila,  dan mampu secara terus menerus menggelorakan semangat serta memberikan keyakinan dan harapan atas hari depan yang lebih baik.
”Sebenarnya itu yang dibutuhkan saat harus kembali memasukkan Pancasila dalam pola pembelajaran di semua tingkatan pendidikan.  Pengenalan, pengalaman dan pelaksanaan Pancasila harus dilakukan dengan rumusan yang sederhana dan jelas, dengan keteladanan para pemimpinnya. Itu tidak bisa dimasukkan dalam PKN, harus terpisah. Harus ada meteri pelajaran baru, PMP misalnya. Agar, anak didik berkesempatan kembali mengenal dan mempelajarinya dengan hati dan perasaannya.” Ungkapnya.
Jangan ada lagi sistem indoktrinasi. Pemaksaan pembelajaran Pancasila dengan pola-pola berjenjang seperti jaman orba, hanya tepat apabila diterapkan kepada para pengajar, dan pejabat terkait. Agar mereka bisa benar-benar mendalami makna dan penerapan serta pengamalannya sebagaimana  yang tersirat  di sila-sila Pancasila. Sementara untuk anak didik, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, pengajaran yang pas  adalah dengan sistem keteladanan. Sila-sila dalam Pancasila dijabarkan dalam rumusan yang sederhana dan jelas, itu yang menjadi keharusan. Ungkap Warsito lebih lanjut.
“Ada pepatah Minangkabau yang menyebutkan, jika kita sesat di ujung jalan, kita harus kembali ke pangkal jalan. Artinya, jika kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat kita mengalami persoalan, maka kita harus kembali ke cita-cita awal, yaitu Pancasila dan UUD 1945,” demikian Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri memberikan solusi menutup segala kata tanya di atas.
Haruskah  ? (dmr)