Jumat, 17 Desember 2010

ekspresi


Kriminalitas dunia maya, Salah Siapa?

PrintPDF
 “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Kedua orangtuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi “

Lagi-lagi jejaring sosial Facebook bikin ulah, sebut saja namanya DV, anak umu 13 tahun ini siswi kelas delapan SMPN  Jawa Barat hilang entah kemana. DV yang hilang sejak 05 oktober lalu sampai saat ini belum pulang, dan berdasarkan info yang disampaikan temannya DV pergi karena ada janjian dengan teman yang ia kenal lewat jejaring social Facebook.
“Harus ada aturan hukum yang pasti, agar secara legal formal ada perlindungan yang pasti dan mengikat bagi anak yang memakai jejaring social seperti facebook, twitter, freindster dan lainnya. Pemerintah dalam hal ini Kemeninfo, harus benar-benar cepat tanggap, karena software yang ditawarkan juga tidak dapat secara efektif memblokir banyak situs porno di internet.  Tapi bagaimana  formulanya ya ? Apakah sebuah aturan mampu menyentuh hingga ke perilaku keseharian warganya, perilaku pertemanan misalnya,  yang bahkan orang tua terkadang tidak bisa mengawasinya,”  ungkap Yetty Any Athika SH, dari kantor bantuan hukum YAA and Partner.
Dan ternyata kisah kehilangan DV, bukan baru pertama kali terjadi di tanah air kita.  Di Semarang, beberapa kasus juga sempat muncul. Semuanya karena pertemanan di dunia maya yang berlanjut di dunia nyata. Siapa yang bisa dipersalahkan ? Siapa yang bisa dituding sebagai kambing hitamnya ? Cukupkah jejaring sosial dijadikan obyek kesalahan untuk segera dicarikan aturan pemblokirannya ?
Kalau mau jujur, menurut Yetty, yang paling pertama harus dipersalahkan adalah kita, para orang tua. Kenapa kita tidak sejak awal memberikan bekal aqidah dan akhlak mulia yang kuat , sehingga si anak bisa membentengi diri sendiri atas semua kemudahan yang disediakan oleh kemajuan teknologi.
”Kenapa kita demikian tidak punya waktu dan bahkan cenderung masa bodoh atas perilaku keseharian anak-anak kita?  Kenapa kita tidak curiga saat anak ngendon di kamar ber jam-jam bersama hp nya ?  Sebagai orang tua, kita jangan sampai gagap teknologi, itu yang pasti. Sebab, teknologi itu seperti dua sisi dari ujung mata pisau yang tajam.” Kalau yang ini diucapkan Supardi S.Sos, pengelola sebuah rumah baca dan penggiat sebuah LSM pendidikan.
Menurut Supardi, pola pertemanan di jejaring sosial seperti facebook dan lainnya yang sekilas diamatinya, memang bisa memicu ketertarikan dan keterpesonaan  bahkan rasa cinta pada banyak pelakunya, khususnya mereka yang masih belia.
”Bahasa yang dipergunakan demikian puitis, memuji, merayu, sangat ber empati dan menebar rasa simpati. Seorang remaja belia yang masih lugu dan polos, saat bertemu dengan seseorang yang lebih dewasa, bisa dipastikan akan menjadi demikian  terhanyut oleh kata-kata indah itu. Dan ujung dari semuanya, copy darat sering kali menjadi malapetaka saat disalahgunakan oleh mereka yang lebih dewasa itu.” ucapnya Pardi lebih jauh.
Mungkin, jelas Yetty yang juga pengacara, yang dibutuhkan adalah sebuah schook therapi, sebuah terapi kejut yang membuat efek jera. Karena, melarikan anak gadis orang , bersetubuh dengan anak dibawah umur itu termasuk pidana, maka pelakunya harus dihukum maksimal, itu mungkin yang bisa dilakukan. Agar, mereka yang ingin mencobanya, jera.

Peran orang tua

Perilaku  on line yang sudah menjadi seperti gaya hidup, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan remaja saat ini. Tak jarang di jam sekolahpun banyak anak-anak masih online. Atas kenyataan itu, banyak sekolah yang kemudian menerapkan aturan tidak boleh membawa hp di sekolah. Apakah aturan itu dapat secara signifikan  mengurangi perilaku on line anak didik ?
Saat dunia maya dikotori oleh perilaku amoral dan bejat 3 artis idola banyak remaja, betapa sangat memprihatinkan saat melihat  remaja memburu video mereka di internet, dan kemudian dijadikan  semacam hiasan  di hp mereka, yang selalu setiap ada waktu di lihat dan dicermati. Sangat menakutkan saat melihat perempuan-perempuan belia itu berkerumun dan tertawa cekikikan sembari memelototi organ vital Ariel dengan komentar yang aneh-aneh. Kenapa artis dengan moral yang demikian bejat bisa dijadikan idola?
Kalau misalnya, atas penglihatan pertama itu, si anak kemudian tertarik dan ingin mencobanya bagaimana ? Atau  si teman lelaki, sang pacar monyet,  mengajak untuk mencoba seperti tokoh idola itu ? Kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan  atas sang buah hati, siapa yang disalahkan? Anak kah? atau kedua orangtuanya? Atau kita menyalahkan teknologinya, sepeti Facebook?
“Rumah adalah madrasah (sekolah) utama bagi anak,” demikian ulama mengatakan.  Maka menurut  Rohmatul Istiqomah, guru agama SDIT Assalamah Ungaran,  orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Apa yang mereka peroleh di rumah, maka itu yang akan tercermin di kehidupan anak ketika bergaul di luar rumah.  Junungan kita, nabi Muhammad  sendiri bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Keduanya orangtuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            “Jadi, dalam keadaan anak belum mengenal sosok teman atau lingkungan sekitarnya, pertama  yang ia kenal adalah  orangtuanya. Maka  mau jadi apa anaknya kelak, orangtualah dasar dari pembentukan karakter itu.” Ungkap Isti lebih lanjut.
            Sebenarnya apa sih yang menyebabkan moralitas generasi muda sekarang demikian terpuruk begitu ?      
            Menurut  Kundarti Ary SPd, Kepsek TK Al Firdaus, yang pertama,  sedikitnya waktu orang tua untuk si anak, sehingga minim pula kontrol  mereka pada perilaku keseharian si anak. Memanjakan si anak  dengan memberikan semua fasilitas dunia tanpa adanya kontrol itu ternyata yang menjadi sebab awal anak salah memilih teman dan lingkungan.
            ”Sebagai orang tua kita terkadang  memberi rasa sayang kepada anak  secara berlebih dan cenderung memanjakan. Kita bahkan  takut menegur atas  apa yang dilakukan si anak meski tahu hal itu menyimpang dari norma-norma agama. Biarlah, kan udah besar,  kalimat  pembenar itu terkadang tanpa sadar  sering  kita ucapkan , dan memberi legitimasi atas apa yang dilakukan si anak, padahal itu salah” ungkap Ary lebih lanjut.
            Kemudian yang kedua,  rendahnya pengetahuan agama orang tua. Dengan aqidah dan akhlak yang baik, serta terus menghidupkan suasana agamis di dalam rumah, mengajarkan shalat lima waktu sejak dini misalnya, maka  akan ada benteng yang tangguh atas diri si anak, shingga tidak mudah dipengaruhi oleh lingkungannya.
Rasulullah SWA bersabda, ”Suruhlah anak anakmu sholat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka.” 
            Faktor keteladanan, itulah yang utama. Anak adalah peniru yang canggih. Saat orang tua gagal memberi contoh perilaku baik dan terpuji, seperti selalu tertib mengerjakan shalat lima waktu,  maka jangan harap anak bisa dengan ikhlas dan penurut saat disuruh mengerjakan shalat.
            Ketiga, lingkungan pergaulan yang salah. Cedhak kebo guphak,  peribahasa Jawa mengatakan begitu. Artinya, berteman dengan tukang minyak wangi, maka sedikit banyaknya akan terbau wanginya. Berteman dan bergaul akrab dengan anak yang mulai suka merokok, maka sedikit banyak si anak juga akan ketularan untuk ikutan mencobanya.  
Saat orang tua acuh dan tidak peduli dengan siapa si anak bergaul,  maka bagi anak, teman adalah tokoh terbesar yang harus selalu diturut.  Dalam tataran yang lebih jauh lagi, norma dan aturan kelompok menjadi yang utama, yang mengalahkan dan menggeser posisi kedua orangtuanya. Dan kalau itu yang muncul, maka apa yang dinamakan kriminalitas dunia maya, akan tetap akan terus terjadi. Dalam modus operandi yang kian meningkat bin canggih tentu saja. Lantas ?
”Saya tidak perlu bergaul dengan kamu lebih dalam lagi untuk mengenal siapa kamu sebenarnya. Saya hanya perlu melihat dan mengenal siapa teman-temanmu, maka saya akan tahu siapa kamu sebenarnya, ” demikian yang dikatakan Mario Teguh, seorang motivator tangguh yang selalu tampil memikat di Metro TV.
            Jadi , perlukah kita memberangus segala yang namanya teknologi informasi dari rumah kita ? Perlukah kita merampas ponsel anak-anak kita, agar mereka tidak facebookan terus ?
            Tidak perlu se ekstrim itu. Hanya, globalisasi dunia saat ini membutuhkan orang tua yang tidak gagap teknologi. Orang tua yang mbukak komputer saja tidak bisa, siap-siap saja untuk sering diapusi anaknya. Orang tua yang hanya memberi fasilitas duniawi tanpa  batas, meninggalkan pentingnya bekal rohani, siap-siap saja menerima kabar buruk. Dan yang paling penting, memberikan contoh yang baik, keteladanan atas sifat, sikap hingga perkataan yang selalu baik, itu yang pasti. Karena pada dasarnya, anak adalah peniru yang canggih. Itu saja. (dmr)