Jumat, 17 Desember 2010

Ekspresi

TIDAK PADA ATURAN
TAPI ADA PADA KETELADANAN

Semakin  banyak anak-anak di bawah umur menonton dan melihat situs porno melalui internet, sudah demikian memprihatinkan saat ini. Orangtua  sendiri sangat kesulitan untuk mengawasi  dan melakukan kontrol pada anak-anaknya. Di rumah, bisa saja mereka menjadi anak yang manis dan penurut, tapi siapa yang tahu kelakuannya saat dia sudah diluar rumah. Saat bersama teman-temannya, ego dan perilaku kelompok lah yang mengemuka.
            Gatot S. Dewa Broto,  Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, lewat rilis di situs resminya menyatakan, kasus pornografi  itu tidak muncul di permukaan secara langsung, namun justru berkembang di kawasan paling privat. sehingga jika tidak dikendalikan sejak awal, akibatnya akan terus berlangsung dan semakin meluas.
Pornografi, katanya, mempunyai sifat yang melenakan dan menyebabkan ketagihan, sehingga ketika seseorang mencoba sekali, dan tidak diketahui orang lain, maka akan mencoba dan mencoba lagi.
”Pemerintah  amat serius memperhatikan dampak buruk dari perkembangan dan kemajuan ICT, dan telah mengambil tindakan dan langkah-langkah yang diperlukan.
Namun pemerintah tidak bisa menutup tayangan youtube, misalnya, karena ada ratusan ribu kontennya. Sehingga  filter pertama paling penting justru ada di lingkungan keluarga, sedangkan pemerintah terus menjalin kerja sama dengan perusahaan operator dan provider untuk melakukan blocking program yang berbahaya.” Ungkap Dewa Broto
Sehubungan dengan adanya kasus video asusila yang disertai penyebarannya secara luas di masyarakat, Komisi I DPR RI dengan merujuk pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia 1945 yang terkait dengan kejadian ini. Serta peraturan perudang-undangan terkait lainnya seperti UU ITE, pornografi, mendorong kepada Kementerian Kominfo menangani permasalahan tersebut dengan berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Ristek, Kementerian Pendidikan dan Budaya, Kementerian Kesehatan dan Kementerian lainnya serta POLRI, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, agar ke depan mampu mengantisipasi kejadian serupa yang berpotensi merusak moral bangsa khusunya anak-anak.
Ke depan Kemkominfo diharap bisa  bertindak lebih sigap dan cepat dengan bekerjasama dengan penegak hukum dan lembaga terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, sehingga tidak terjadi pembiaran yang justru dapat menimbulkan dampak negatif lebih luas. Komisi I DPR RI juga  meminta Kemkominfo agar mensosialisasikan secara intensif internet sehat sehingga masyarakat mampu menfilter tayangan media terhadap konten yang dapat merusak ketahanan moralitas bangsa.
Mengingat tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers adalah memastikan bahwa masyarakat mendapat tayangan yang informatif dan mendidik, Komisi I DPR RI mendesak agar KPI dan Dewan Pers menerapkan mekanisme yang tegas dan tepat bagi media yang menayangkan konten yang tidak sehat dengan tetap menjunjung kebebasan pers. Menyusul dampak negatif dari penyebaran video asusila dan mengantisipasi adanya kejadian serupa di kemudian hari serta membangun ketahanan moral bangsa, Komisi I DPR RI bersama dengan Kemkominfo akan mengagendakan kembali dalam waktu dekat pembahasan RPM Konten Multimedia.

Keteladanan
            Cukupkah semua aturan hukum di atas ? Mampukah semua pasal di banyak aturan itu melindungi anak dari gempuran arus teknologi informasi yang bahkan masuk dan menyelusup ke wilayah yang paling privat dalam diri si anak ?
            Jam belajar yang coba diterapkan oleh walikota Semarang, Soemarmo HS, dengan sejuta harapan yang amat sangat membuncah  itu, apakah juga mampu membuat banyak televisi di jutaan rumah tangga masyarakat Semarang, mati, saat jam belajar itu ?
            ”Enak saja nyuruh-nyuruh gitu. Aturan itu silahkan dipatuhi oleh para pejabat, para  oknum PNS yang kerjanya ringan, ongkang-ongkang, kluyuran, ngrumpi dan setiap bulan dapat gaji gede. Lha kalau kita ? Sudah banting tulang, peres keringat, eh buat makan saja masih tetap susah. TV itukan hiburan kita satu-satunya buat ngelupain susahnya hidup, kalau suruh dimatikan kita lantas ngapain ? Apa disuruh ngerumpi bersama tetatangga di pos ronda ? Peraturan itu gak logis babar blas mas,” demikian ungkap Sutarmin, kang sayur, yang setiap pagi harus beredar dari kampung ke kampung demi sesuap nasi.
            Seharusnya, menurut Kunarto, mantan pendidik dan penilik sekolah dari Demak , sebuah aturan sebelum disosialisasikan, diuji kelayakan dan kepatutannya dulu, agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
 ”Sepertinya berat juga ya, apalagi kalau aturan itu merupakan sebuah produk politis, yang meski dimunculkan  seorang walikota sekalipun. Kalau tujuannya hanya untuk pencitraan, sebuah gebrakan dan tidak murni demi masyarakatnya, meski dibungkus dengan slogan dan  tagline yang bombas, tetap saja tidak akan bisa menyentuh kesadaran masyarakatnya. ” Kata Supardi lebih jauh.
Tetangga saya ada yang PNS mas, kerja di balaikota, dia seharusnya yang paling paham atas aturan jam belajar itu. Semestinya dia yang memberi contoh untuk tertib mematuhi aturan itu. Kenyataannya, semua TV nya, besar-besar lagi,  selalu menyala dengan volume yang keras. Seharusnya, dia ngasih contoh dong mas. Bukan malah kayak gitu. Demikian protes Sutarmin sengit.
Keteladanan, ternyata. Saat sang pemimpin, para pangreh projo, para pegawai negeri, sama sekali tidak mau dan tidak mampu memberi cotoh baik, kenapa harus ngoyak-ngoyak warganya untuk berperilaku baik dengan mematuhi aturan.
Saat seorang pangreh projo memerintahkan kawulonya  untuk berperilaku  hidup sederhana, sementara dia dan jajarannya terus memamerkan perilaku konsumtif, jajan berombongan dengan deretan mobil mewah di resto – resto mahal, siapa yang akan peduli dengan perintahnya itu. Saat anak-anak pejabat setingkat kepala bagian atau bahkan kasubag, terus mondar-mandir dengan mobil mengkilapnya, dengan black berry nya, yang kalau mau jujur tidak akan terbeli oleh gaji orang tuanya itu, siapa yang akan peduli dengan perintah hidup sederhana itu ?
Keteladanan harus muncul dari atas, itu  menurut Kunarto. Seorang pemimpin adalah pelayan. Dan sebagai pelayan, dia harus mau dan mampu mengembangkan sikap dan sifat melayani. Sekarangkan jamannya sudah terbalik-balik. Lihat saja, betapa sibuknya para lurah saat seorang  pejabat di atasnya datang ke wilayahnya. Semua diada-adakan,  bahkan tidak jarang para ketua RW disuruh urunan  untuk menyediakan ubo rampe kesenangan pejabat itu.
Jadi ? Orang tua, khususnya bapak, adalah pemimpin di rumah. Kalau si bapak tidak mampu memberi contoh yang baik, jangan pernah berharap si anak akan berperilaku baik. Dan segala aturan, tidak akan pernah bisa efektif dan efisien mengatur warganya, kalau para pembuat aturan, para pengreh projonya, pegawai negerinya, tidak pernah mau dan mampu mematuhinya terlebih dulu.
”Para petinggi negeri ini sebenarnya tidak usah terlalu repot, sibuk dan paranoid  tehadap kemajuan IT  kok.  Aturan juga tidak perlu njlimet. Asal dalam setiap keluarga sudah berkembang pola  keteladanan untuk hidup baik dan benar, yang diawali oleh orang tua, maka si anak juga dapat dipastikan akan mengembangkan pola hidup baik dan benar berdasar kaidah agama itu. ” Kata Vinca Dia Kathartika, pelajar SMPN 1 Jember.
Tidak pada aturan kok bapak, tapi pada keteladanan orang tua, demikian kata Hanifa Maylasari, pelajar SMPN 2 Semarang, singkat dan tegas. (dmr)