Selasa, 12 April 2011

UN MASIH TETAP JADI MOMOK

ANAK DIDIK HARUS TERUS DIDAMPINGI

Prof. Fathur Rohman
            Pengalaman adalah guru yang paling baik. Pelaksanaan UN dari tahun ke tahun makin menemukan bentuknya. Pembaruan paradigma, perubahan sistem pelaksanaannya, perbaikan peraturannya, adalah upaya dari pemerintah dalam hal ini Kemendiknas, agar UN tidak lagi menjadi beban bagi satuan pendidik, anak didik dan orang tua tentu saja. Untuk tahun ini, soal yang dibuat 5 versi, pos tempat duduk yang terstruktur , dan pola pengawasan yang makin diperketat, diharapan dapat menghilangkan kecurangan apapun bentuknya selama pelaksaannya.
            Semua kebijakan yang diambil Kemendiknas, termasuk dilibatkannya satuan pendidik dalam menentukan kelulusan anak didik, seharusnya membuat tenang dan nyaman semua yang terlibat dalam perhelatan nasional itu. Seharusnya, guru dan anak didik mempersiapkan diri dengan sewajarnya saja seperti saat mereka mempersiapkan diri menghadapi ujian semesteran di sekolah. Karena toh, UN kali lebih melibatkan dan memihak satuan pendidikan di masing – masing sekolah. Seharusnya anak didik bisa tenang mempersiapkan diri menghadapi UN.
            Seharusnya, memang. Tapi pada kenyataannya, tetap saja yang namanya UN itu sesuatu yang sangar, yang sangat sukar . Sesuatu yang harus diwaspadai dan harus mendapat perlakuan khusus dari satuan pendidik , anak didik hingga orang tua. Karena harus mendapatkan perlakuan khusus itulah, yang kemudian membuat anak didik merasa terbebani secara psikologis. Dalam diri anak didik sejak pola UN diterapkan Kemendiknas, sudah  tergambar dan terbentuk semacam keyakinan kalau nasib dan masa depan pendidikannya ditentukan hanya oleh ujian itu.

Teror mental yang membuat down
            Adalah Rektor IKIP PGRI Semarang, Muhdi, yang melihat ada semacam indoktrinasi sejak awal sekali dari Kemendiknas, lewat pemberitaan di media massa terkait peraturan dan kebijakan lengkap dengan juklak juknisnya yang njlimet dan  terkesan sangat sulit. Dari situ saja anak didik sudah diberi gambaran kalau UN adalah perhelatan nasional yang mengusung banyak misi tinggi para pengambil kebijakan, dengan mereka sebagai obyeknya. Dan itu dilanjutkan oleh satuan pendidik di sekolah – sekolah yang  heboh, sibuk dan repot mempersiapkan banyak pelajaran tambahan, les, try out dan sejenisnya. Yang semuanya menambah keyakinan anak didik, kalau UN itu makhluk menakutkan yang harus diwaspadai dan menuntut perlakukan dan pengorbanan khusus. Pengharapan orang tua yang membuncak agar anaknya lulus. Tuntutan satuan pendidik, yang ingin melihat anak didiknya lulus 100 persen, menjadi semacam teror atas mental anak didik.
            ”Benar, teror mental itulah yang  muncul. Heroisme satuan pendidik yang selalu dan berulang-ulang menyebut bahwa UN adalah penentu masa depan pendidikan anak didik, sehingga mereka diharapkan dengan sungguh sungguh mau mempersiapkan diri dengan mengorbankan segala rutinitas, hobi, dan kebiasaaan sehari-hari. Itulah yang kemudian mengemuka. Semuanya itu masih ditambah dengan data dan fakta seputar gagalnya anak didik yang dalam kesehariannya masuk dalam kategori anak pintar, cerdas dan berprestasi. Kanatas ? Anak didik harus ikut pelajaran tambahan. Mereka harus mau dan mampu mengikuti pemadatan pelajaran sejak kelas 1, yang membosankan. Dan itu dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan seringkali monoton, ” ungkap Muhdi lebih lanjut.
            Akibatnya, menurut  Sukati, guru BP SMP Negeri 2 Semarang, kalau dalam olahraga sering disebut over training. Anak didik menjadi jenuh, keseimbangan konsumsi ’makanan’ di  memori otak menjadi tidak terjaga. Yang ada dan setiap hari harus dikonsumsi adalah rumus – rumus itu, hafalan-hafalan itu. Amat sangat membosankan. Pada beberapa kasus, anak menjadi depresi, cemas dan takut gagal. Satuan pendidik di sekolah-sekolah yang mempunyai manajemen bagus dan tertata, aspek psikologis yang muncul pada diri anak didik itu juga ikut dibina dan dikuatkan. Sehingga, anak didik sadar dengan sendirinya, tahu akan kewajibannya dan rela dengan ikhlas mengurangi dan bahkan melepas rutinitas keseharian yang disenanginya. Mereka rela berkorban demi lulus UN , itu intinya.
Drs Sardjono
            Tapi bagaimana dengan anak didik yang sama sekali dibiarkan mendapatkan dan terus menyakini adanya teror mental itu ? Bagaimana dengan anak didik yang berjalan sendiri merunut ketabahan hatinya, setelah meyakini kalau UN memang sulit dan butuh pengorbanan besar untuk menaklukkannya. Menurut  kepsek SMA Sultan Agung 1, Drs Sarjono, anak didik dengan beban psikologis seperti itu, apabila belajar di sekolah yang manajemennya belum tertata dengan baik, dan satuan pendidiknya membiarkan dan bahkan melakukan pembenaran atas anggapan kalau UN itu sukar. Maka yang muncul kemudian sekali adalah, anak didik yang serba gamang, ragu dan tidak percaya pada kemampuan dirinya sendiri.
            Anak didik dalam posisi terteror psikologisnya itu seharusnya mendapatkan penanganan khusus, siraman rohani atau penguatan mental misalnya, agar mereka bisa kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Namun bagaimana realisasinya di lapangan ? Sekolah yang masih harus disibukkan dengan rutinitas hariannya memikirkan kesinambungan  institusinya, bagaimana menambah dan melengkapi sarana prasarananya, membayar gaji satuan pendidiknya, dan  sejuta problematika  KBM nya. Mana sempat menghantar anak didiknya hingga siap lahir batin, siap dalam penguasaan materi UN dan juga siap dengan mental tangguhnya.
            Terus bagaimana dong ? Sebaiknya siswa sejak awal sekali diharuskan mandiri dalam mempersiapkan UN. Kemandirian itu, menurut Ketua PGRI Jawa Tengah, Dr Soebagyo Brotosedjati Mpd, sangat berperan besar pada sikap siswa, sehingga mereka bisa benar-benar yakin akan kemampuan dirinyasendiri. ”Kemandirian akan membuat anak didik malu kalau harus melakukan kecurangan, mencontek misalnya. Untuk membuat anak didik bisa benar-benar mandiri, satuan pendidik dan orang tua harus terus melakukan pemantauan, terutama berkait dengan aspek psikologi mereka. Percuma kalau dari sisi penguasaan materi UN bagus, tapi dari sisi mental keropos. Mereka tetap akan terbebani rasa takut tidak lulus, cemas kalau gagal. Hal itulah yang sangat berbahaya, kalau tetap dibiarkan,” ungkap Subagyo lebih lanjut.
           
Hati-hati dalam mengisi data
            Last but not least, setelah semua perjuangan semua yang terlibat dalam UN memuncak  hingga H -1, maka menjadi harapan Rektor Unnes Prof Sudijono Sastroatmodjo, agar anak didik benar-benar berhati-hati dan teliti dalam mengisi lembar jawab. Agar kesalahan peserta UN yang sering kali ditemui di tahun sebelumnya, yang salah memasukkan data terkait identitas tidak sampai terjadi.
            ”Kalau ada kesalahan itu, mesin pemindai dipastikan tidak akan bisa melakukan tugasnya  sehingga scoring atau nilai mereka tidak akan bisa tercetak. Sebagai contoh, peserta salah menghitamkan kolom nama dalam lembar jawab. Atau kalau namanya terlalu panjang, mereka salah dalam menyingkat sehingga tidak sama dengan yang data siswa sebelumnya, ” ungkap rektor yang murah senyum itu.
            Kelihatannya sepele, tapi menurut rektor Unnes, kesalahan teknis seperti itu akan berakibat mesin pemindai tidak bisa melakukan identifikasi dan lembar jawab tidak bisa dipindai. Akibat akhirnya, anak didik pintar, cerdas dan juara di berbagai lomba mapel, dipastikan gagal ujiannya karena lembar jawabnya tidak bisa dipindai.  Jadi tidak lulus deh mereka.
            Tapi kalian semua tidak usah cemas. Karena Unnes  sebagai institusi yang bertugas melakukan pemindaian lembar jawab di seluruh Jawa Tengah, telah melakukan langkah – langkah yang lebih manusiawi, demi mengatasi salahnya para peserta UN mengisi identitas di lembar jawab. ”Benar, kami telah memerintahkan kepada tim pemindai untuk mengatasi permasalahan itu dengan bijak. Mereka siap membenahi dan membetulkan kalau ada anak didik yang salah dalam menghitamkan kolom sesuai dengan hurufnya. Tapi itu sebatas pada kolom identitas saja, tidak pada kolom – kolom jawaban.  Kasihan siswa peserta, kalau hanya gara-gara salah menghitamkan, lembar jawabannya tidak bisa dipindai, ” demikian harap rektor yang penuh simpati ini.
            Jadi ?
Kemudahan telah diberikan. Toleransi makin dibuka demi penyempurnaan. Sekarang bola api ada ditangan kalian semua, para anak didik. Siap tidak kalian bertekun diri, sungguh-sungguh berlatih dan terus berlatih menjawab soal UN tahun lalu, di sisa waktu sebelum pelaksaan UN itu berlangsung ? Semuanya terserah kalian. Semuanya sekarang tergantung kalian. Masa depan pendidikan kalian, ada di tangan kalian sendiri. Itu yang pasti. (dmr)