Kamis, 14 April 2011

HUMOR WARTAWAN (1)



………… pengalaman lapangan …………..

***


Gambare kok jempalitan ?

            Ini cerita temanku Sutrimo, PNS di Infokom kota Semarang. Sebagai ’tukang shooting’ atas setiap acara resmi walikota dan wakilnya, dialah yang bertanggung jawab. Kita, sebagai wartawan yang sering nongkrong di balaikota, sering mengandalkan shotingannya, saat ada acara yang bersamaan di lingkungan walikota. Benar, kita sering meng copy hasil kerjanya, dan selama ini dia wellcome saja.
            Nah, karena kebiasaan kita ngopy itulah, muncul cerita lucu ini. Diantara banyak wartawan elektronika lokal yang biasa nongkrong, ada satu yang bener-bener males bin keset. Si A inilah yang bikin si Trimo sebel, jengkel bon gondok. Suatu ketika, Trimo ditugasi nyuting kegiatan wakil walikota, di suatu kegiatan olahraga, jam 6 pagi. Si A, tentu saja tidak akan pernah mau dan bisa bekerja pagi-pagi begitu. Sayangnya, liputan itu adalah penugasan dari big bosnya, sehingga mau tidak mau dia harus dapat gampar liputannya.
            Pimpinan si Trimo, sejak dini hari sudah dikontak untuk nyuruh si Trimo ngambil sebagus mungkin. Trimo hanya tersenyum ringan saat bosnya nyampein pesenan si A itu. Saya sendiri yang pagi itu ikutan berangkat bersama Trimo, tidak tahu ada apa dibalik senyumannya itu.
            Singkat cerita, sekitar jam 11 tim liputan termasuk saya, sudah balik ke kantor. Si A, sudah terlihat dengan santainya duduk di ruangan Infokom.  Dengan tidak sabar dia minta kamera yang masih disandang Trimo, dan Trimo dengan senyum ringan menyerahkannya untuk kemudian mengajak kita semua ke kantin di pojok lantai 2. Yang aneh si Trimo ini kok  mesem-mesem gak jelas gitu. Dan jawabannya kemudian muncul lewat teriakan si A, yang jengkel dan marah besar.
            ”Mas... gambarnya kok goyang-goyang ....  gimana sih nyutingnya ? ” tanya keras si A. Dan gimana jawaban si Trimo ?
            ”Situ tadi pesen apa ama bos ? Ambil gambar dari sudut pandang  pak wawali kan ... lha itu hasilnya, mau apa lagi, kalau gak puas kenapa gak ngambil sendiri.... ”
            Teman-teman wartawan, setelah sejenak merenungkan jawaban Trimo, akhirnya terbahak-bahak bersama. Sementara si A ngomel-ngomel tidak karuan, sembari kembali ke ruangan Infokom. Dia tidak akan bakalan berani minjam shotingan saya, karena pernah saya tolak.
            Mau tahu apa sebabnya ?
Maafkan kami ya pak wawali. Pak wawali kita (maaf), kakinya kan pernah patah akibat kecelakaan, jadi jalannya tidak bisa senormal kita semua. Dan Trimo, yang memang ingin ngerjain si A, menerjemahkan permintaan si A dengan menirukan cara jalan pak wawali saat nyuting. Hasilnya ? Gambarnya jadi jungkat-jungkit tidak karuan gitu deh. Hehehehe dasar si Trimo. Dan sejak saat itu si A, berusaha untuk selalu datang sendiri dalam setiap liputan, betapapun paginya.

*****

Walikota SEMARANG ngitung duit

            Ini ceritanya, saat kita, 6 orang wartawan cetak dan elektronik, selesai wawancara dengan walikota Semarang saat itu, Bapak Sukawi Sutarip. Seperti biasa, setelah selesai wawancara, kita semua asyik ngobrol ngalor ngidul. Saya, yang kebetulan menjadi wartawan elektronika, tentu saja harus ngambil gambar pendukung untuk melengkapi wawancara itu. Maka, asyiklah saya mondar-mandir ngambil gambar dari berbagai posisi suasana ngobrol itu.
            Pak Kawi sendiri, yang saat itu sudah kembali duduk di belakang meja kerjanya, lagi menerima telepon. Entah dari siapa, yang pasti setelah menerima telpon itu, dia mengambil dan  membuka dompetnya, untuk kemudian menghitung puluhan lembar uang pecahan ratusan ribu yang ada di dalamnya. Kehadiran saya yang ada di belakangnya, sama sekali tidak disadarinya. Maka, moment langka itu kemudian saya ambil. Saya bahkan bergeser agak lebih mendekat, dan tetap tidak disadarinya. Pak Kawi masih tetap asyik menghitung puluhan lembar uang ratusan ribu itu. Teman-teman sendiri tidak tahu apa yang saya shoting, karena tangan pak Kawi ada di balik meja kerjanya.
            Nah, begitu selesai, dan dia menengadah, barulah kehadiran saya yang tetap nyuting itu diketahuinya. Hehehehehe saya tidak bisa menceritakan bagaimana roman muka bapak kita itu. Yang pasti, dia agak gelegapan sedikit.
            ”Kok kamu ada di situ ....  ”
”Sudah sejak tadi pak ....” Jawabku santai
            Sebagai seorang politikus kawakan, bapak kita itu segera menguasai keadaan. Segera dia bangkit dan kembali duduk di sofa bersama teman-teman wartawan. Anak buahnya dari Infokom yang kemudian tahu permasalahannya, melotot tajam ke arah saya, tapi saya cuek aja dan pura-pura tidak tahu.
            ”Setelah dari sini kalian mau ke mana nih ? Tolong ya beritanya dikembangkan di lapangan, aspirasi masyarakat sendiri bagaimana .........  ”
Setelah berbasa basi sebentar, dia kemudian mengeluarkan duit yang barusan di hitungnya tadi, dan menyerahkan kepada saya yang kebetulan menjadi wartawan paling tua di situ.
            ”Ini ada dana, tidak seberapa sih, tapi bisa untuk kalian semua makan dan sedikit buat beli sesuatu untuk keluarga di rumah. Dan buat mas didik, gambarnya tadi jangan ditampilin ya, malu .....  ”
            Hehehehehe  saya tersenyum, kikuk dan serba salah. Sementara teman-teman tersenyum lebar. Rejeki memang tidak ke mana kok ?  Hehehehehhe

                                                            ****

Topi dan pak Gubernur JATENG

            Saat itu, kami semua, banyak wartawan dari banyak media masa di Semarang, sedang duduk-duduk di lantai 2 gedung berlian DPRD tingkat 1 Jateng. Lobi di depan ruangan ketua dan wakil ketua DPRD I, saat itu penuh sesak. Saya sendiri bersama teman-teman duduk di bawah sofa, menghadap ke ruangan ketua dewan dan membelakangi pintu lift.
            Kita semua, dengan sabar menunggu kehadiran Gubernur Jateng saat itu, Bapak Mardiyanto. Semua terlibat dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang ngobrol, ada yang nyambi bikin berita, dan banyak juga yang ngantuk. Saya sendiri, saat itu lagi asyik ngobrol dengan beberapa teman wartawan media Nasional.
            Saat lagi asyik-asyinya itulah, sebuah tangan dengan cepat mengambil topi yang saya kenakan. Oh ya, perlu kalian semua ketahui, saya saat itu, kemanapun pasti memakai topi, dan itu seolah menjadi trade mark keberadaan saya. Tentu saja, saya tidak bisa menerimakan topi butut saya itu lepas dari kepala. Saat dengan reflek tangan saya menggapai-nggapai ingin merebut kembali topi itu, terdengar suara tawa banyak orang, keras dan menggema. Tapi, apa peduli saya, sambil mencoba bangkit dari duduk, saya terus mencoba meraih kembali topi , tanpa sempat untuk menengadah untuk melihat siapa pemilik tangan yang usil itu.
            Lhadalah ...  setelah dalam hitungan detik tangan saya berhasil kembali memegang tepian topi, dan menangadah untuk melihat pemilik tangan usil itu.....
Hehehhehhe aku bukannya marah, tapi malah tersipu malu sembari salah tingkah tidak karuan. Sementara tawa terus saja menggema. Pemilik tangan itu ternyata milik gubernur yang lagi ditunggu keberadaannya. Tangan itu ternyata milik Pak Mardiyanto.
            Gubernur kemudian merengkah bahu saya dan mengajak masuk ke ruangan ketua Dewan. Sementara topi sialan itu masih dipegangnya. Dan teman-teman, sembari menyisakan tawanya ikutan masuk.
Walah, kena saya!

                                                            *****