Senin, 20 Desember 2010

Rakyat miskin Semarang di LARANG SAKIT

  • Walikota Semarang tinggalkan rakyat miskin
Sejak pertengahan November kemarin, kota Semarang berlabur warna ceria. Kotanya menjadi terang benderang oleh aneka kegiatan yang digelar Pemkot, yang seratus persen beraroma komsuntif. Lihat saja program Semarang Setara yang diluncurkan dengan gegap gempita dan penuh rasa bangga itu. Lihat aneka diskon, mignight sale dan aneka gebyar yang ditawarkan mall, hotel, restaurant dan beratus pusat belanja yang tersebar disaentero sudut kota Semarang. Lihat itu media lokal Semarang yang penuh dengan iklan berwarna aneka produk.  Semuanya itu untuk siapa ?
      Jangan pernah bilang semuanya itu untuk warga Semarang. Sebab, diantara sekitar 2 juta warga Semarang itu, 111.558 keluarga yang terdiri dari 398.009 jiwa termasuk warga miskin. Benar-benar miskin lho, sehingga untuk kebutuhan makan sehari-hari saja harus dengan susah payah diupayakan bisa 3 kali sehari. Dan itu masih ditambah dengan sekian ratus ribu keluarga kelas menengah yang sebenarnya masuk kategori miskin apabila ukurannya adalah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang pas-pasan. Masak seperti itu sih ?
      Flashback aja, berapa sebenarnya warga kota Semarang yang bisa dikatakan berlebih, hingga bisa ditawari aneka tontonan wah dan sangat membanggakan bagi orang di luar Semarang itu ? Angka dari BPS kota Semarang, sayangnya belum secara riil dan pasti menyebutkan besaran angka warga yang sudah bisa dilepasbebaskan dari kaidah miskin itu. Yang pasti, masih banyak keluarga miskin Semarang yang bisanya hanya window shooping, longok sana longok sini, pegang ini pegang itu, sembari asyik pura-pura memilih untuk akhirnya menghitung kocek dan tersenyum kecut sendiri. Semuanya belum bisa terbeli.
      Malam minggu, 18/12, sekitar pukul 19.00 lebih sedikit. Sebuah keluarga dengan 3 anak, bersamaan dengan ku saat parkir di Matahari Simpang Lima. Dari penampilannya, bukan ingin memvonis, mereka datang dari keluarga sederhana. Saat langkah mereka ternyata juga menuju ke puluhan rak yang menawarkan sale dan discount bahkan hingga 70 persen, keingintahuan lantas begitu saja muncul. Ingin melihat perilaku belanja mereka, itu yang inti.
      Wah, sampai gempor kaki ini mengikuti mereka. Ternyata dari satu rak ke rak lainnya, mereka hanya membalik-mbalik, menjembreng, melihat angka yang tertera di label, menghitung harga baru setelah di discount, dan yang paling akhir mengembalikannya dengan tawa kecut dibibir, getir. Dan itu dilakukannya hingga hampir satu jam lebih, tanpa satupun yang dibeli.
      ”Ditunda aja belinya ya dik....... uang bapak masih kurang  ... ” itu yang diucap sang bapak agak keras sehingga cukup bisa saya dengar. Sementara 3 anaknya, dengan sopan dan tahu diri mengangguk, meski dengan tatapan sendu.
      ”Tadikan sudah aku omongin to pak... meski sudah di discount harganya masih mahal.... di sini bukan tempat kita, kita ke Johar aja ya ….. “ ucap getas sang Ibu yang lantas dianggukin dengan ceria oleh 3 anaknya
      Sebuah kenyataan yang memilukan. Dan itu sebuah kenyataan, yang bagi banyak keluarga di Semarang benar menjadi sebuah rutinitas keseharian. Jadi, sekali lagi tolong dijawab, semua gebyar itu sebenarnya untuk siapa pak Marmo ?

Warga miskin Semarang di larang sakit
            Sakit itu mahal. Maka warga miskin jangan pernah sakit. Pameo itu menjadi semacam kenyataan yang seharusnya menghantam dengan telak para pemimpin di Semarang kota tercinta ini. Tapi, bagi walikota Semarang yang baru, ternyata hal itu belum sempat dipikirkannya. Dia masih disibukkan membikin gebrakan demi pencitraan yang baik ( maaf, sekali lagi yang baik untuk siapa ? )
      Mau lihat buktinya ?
Dr Taufik Kresno, ketua YPKKI ( Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Jateng ). Dia bilang : Pemkot Semarang mendzalimi masyarakatnya. Kualitas kesehatan di kota Semarang seharusnya dinaikkan, bukannya malah dipangkas. Pemkot tidak ada perhatian kepada masyarakat miskin.
            ”Apa kualitas kesehatan di Semarang sudah baik, sampai anggarannya sampai dipotong ? Lihat saja angka kesakitan dan kematian akibat DBD  tiap tahun naik. Saya sangat menyesalkan kebijakan itu.”
            Agus Yahya, dari Divisi Advokasi Patirro.
”Pemkot menghilangkan hak masyarakat miskin untuk sehat. Kebijakan itu bakal menjadi bumerang, pasalnya dari alokasi itu sebagian ada yang milik masyarakat miskin yang masuk program jamkeskot.”
            Yang lebih konyol lagi menurut Agus, adalah tidak terarahnya kebijakan pemkot terkait program penurunan jumlah masyarakat miskin. RPJM nasional saja, selama 5 tahun ke depan ditargetkan ada penurunan warga miskin 10 persen, sedangkan RPJM Jateng 13 persen. Lha kota Semarang, kok malah ditargetkan 31 persen ?
            Imam Marjuki, anggota Banggar DPRD kota Semarang
Pemangkasan anggaran sebesar 3,448 miliar, ternyata 1 milyar diantaranya anggaran untuk jamkeskot. Padahal dari sekian ribu masyarakat miskin, sebanyak 270 ribu jiwa belum terlayani jamkeskot. Apabila anggarannya kemudian dikurangi, bagaimana bisa menutup kekurangannya ?
            Ironisnya, di saat pemkot mengurangi anggaran untuk pelayanan kesehatan masyarakat miskin, anggaran untuk tunjangan penghasilan pegawai atau TPT dinaikkan sebesar 25 miliar di APBD 2011. Jumlah itu didapatkan dari nilai TPT 2010 yang hanya Rp 103 miliar, ternyata di TPT 2011 dinaikkan menjadi Rp 128 miliar. Dan itu sudah termasuk tunjangan uang makan.
            TPP ( Tunjangan Penghasilan Pegawai ) itu sendiri dinilai wajar oleh Soemarmo, karena setiap tahun dipastikan juga akan naik. Tapi itu semuanya dianggap tidak wajar oleh kalangan akademisi. Endang Larasati, dari Undip. Dia melihat ada ketidakadilan disini. Seharusnya, yang dinaikkan adalah guru, tenaga medis dan atau tenaga fungsional yang beban kerjanya sangat berat, tapi gajinya pas-pasan.
            ”Semestinya untuk pejabat eselon seperti Sekda atau kepala SKPD tidak usah diberi tunjangan. Mereka sudah makmur, belum ditambah tunjangan dan intensif. Pemkot sepertinya lebih memperhatikan jajaran birokratnya daripada mensejahterakan mereka yang memang beban tugasnya sangat berat di pinggiran kota sana.”
            Masih banyak gugatan dan hujatan atas tidak populisnya kebijakan pemkot itu. Tapi sepertinya walikota Semarang yang baru lepas tangan. Sebab, di Headline Suara Merdeka pertengahan bulan lalu, ditulis besar WALIKOTA TIDAK TAHU akan adanya pemangkasan anggaran itu. Dia mengatakan belum membaca rancangan anggaran nya  dan cenderung membebankan semuanya pada TPAD yang diketuai Sekda.
            Jadi ?
Silahkan kalian kasih komentar di sini. Kalian yang dari luar kota, silahkan datang ke Semarang. Lihat kenyataan yang ada  di lapangan dengan hati nurani, jangan hanya lihat gebyarnya di pusat-pusat kota dan di pemberitaan media massa.  Atau untuk lebih lengkapnya buka e paper nya Suara Merdeka. Tidak populisnya kebijakan walikota, banyak dipaparkan secara gamblang di korannya Jawa Tengah itu. (dmr)