BELUM BERKEADILAN DAN
TERKENDALA POLITIS
SKB (Surat Keputusan
Bersama ) lima menteri, yaitu Mendikbud, Menteri Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Mendagri, Menkeu, serta Menakertrans, terkait pemerataan guru,
mengundang rasa senang sekaligus was was di kalangan dunia pendidikan Jawa
Tengah. Sebab, sudah bukan rahasia lagi, persebaran, mutasi dan kepindahan guru
( termasuk Kepsek ), masih membawa unsur like
and dislike. Masih membawa unsur politis. Masih kental dengan aroma kolusi
dan nepotisme.
” Kalian baca kan berita
beberapa waktu lalu, di mana ada beberapa guru berprestasi yang tanpa ada
sebab, tanpa ada angin apalagi hujan, begitu saja dipindah ke sekolah
pinggiran. Kalian juga baca ada Kepsek yang berhasil mengangkat sebuah sekolah,
juga tanpa ada tanda-tanda, begitu saja dipindah, untuk kemudian diganti orang
yang sama sekali tidak dikenal. Kabar yang kemudian berhembus, penggantinya itu
dekat dengan pengambil keputusan di pemerintahan. Jadi, mutasi dan pemindahan guru
dan atau Kepsek, belum sepenuhnya menganut asas manfaat dan kebutuhan sebuah
sekolah, tapi lebih pada kedekatan. Lebih khusus lagi, memakai pendekatan
politis,” demikian ungkap Muhdi, Rektor IKIP PGRI Semarang.
Hal yang sama dikatakan
Subagyo Brotosejati, ketua PGRI Jateng. Menurut dia, kalau SKB itu mau
dilaksanakan dengan efektif dan bermanfaat serta bermartabat, maka harus ada
koordinasi dengan pejabat di tingkat kabupaten / kota. ”Harus ada sinergitas
yang komprehensif dengan pejabat kabupaten / kota, agar persebaran, pemindahan
dan atau mutasi guru benar-benar berdasar kebutuhan, bukan mendasarkan pada like and dislike. Khusus untuk Jawa
Tengah, persebaran itu harus benar-benar dipertimbangkan matang-matang, karena
2015 nanti kita menghadapi puncak ledakan guru yang pensiun. Seharusnya mulai sekarang ini, Diknas kabupaten / kota harus mempunyai maping terkait kebutuhan guru di
wilayahnya. Jangan sampai di sebuah sekolah guru untuk mapel tertentu menumpuk,
sementara di sekolah lain, guru mapel itu tidak ada. Maping itu penting, agar
persebaran guru benar-benar tepat sasaran dan membawa manfaat,” ungkap pak
Bagio ramah.
Berdasar data yang
dipunyai PGRI Jawa Tengah, hingga saat ini jumlah guru yang menjadi anggota PGRI ada sebanyak
247.000 orang. Dari jumlah itu, setiap
tahunnya ada pertambahan guru sebanyak 20.000. Sementara setiap bulannya ada
sekitar 8.900 guru yang pensiun. ”Kalau mendasarkan pada data itu, sebenarnya
tidak harus ada permasalahan terkait tenaga didik di semua sekolah di Jawa Tengah.
Hanya, karena persebarannya yang tidak merata, maka selalu ada sekolah yang
kekurangan guru yang mengampu mapel tertentu. Masih belum berkeadilan, begitu
ungkapan banyak Kepsek yang sekolahnya masih kekurangan guru. Diknas kabupaten
/ kota seharusnya pro aktif untuk itu, mereka seharusnya mempunyai data
kekurangan itu. UPT –UPT Diknas di tiap kecamatan saya yakin pasti punya data
tentang itu. Hanya mungkin karena masalahnya tidak terangkat, persebaran guru
yang tidak berkeadilan itu, tidak pernah mendapatkan perhatian, ” ungkap ketua
PGRI lebih lanjut.
Guru diperbantukan
Dulu ada kebijakan guru diperbantukan, kenapa itu tidak
dilanjutkan. Kebijakan itu saya kira bisa mengatasi kurangnya guru berprestasi
di sekolah-sekolah pinggiran, dan sekolah swasta yang serba terbatas sarana
prasarananya. Demikian ungkap Tatik Yuliati SPd, Kasek SMP SMA AL Uswah Semarang. ”Kita pasti akan sangat
terbantu dengan adanya guru bantu itu. Karena dulu, guru yang diperbantukan
mengajar ke sekolah-sekolah swasta dan atau sekolah negeri di pinggiran adalah
guru-guru yang inovatif dan berprestasi. Sembari menunggu pelaksanaan SKB itu,
kenapa itu tidak dilakukan. Kalau yang menjadi tujuan akhir adalah kesetaraan mutu pendidikan di semua sekolah,
maka kualitas gurunya, mutu SDM tenaga didiknya, menjadi salah satu faktor yang paling utama
harus dipenuhi.” Ungkapnya lebih lanjut.
Kalau dengan kondisi
banyak sekolah negeri di pinggiran dan sekolah swasta banyak yang
menjalankan proses KBM apa adanya, maka
capaian target kesetaraan mutu pendidikan di seluruh sekolah di Indonesia,
sebagaimana yang menjadi tujuan Kemendikbud mengadakan UN, tidak akan mungkin
tercapai.
”Kalau harus menyamakan
kualitas pendidikan antara SMPN 2 yang sebuah SBI, dengan sarana prasarana
komplit dan kualitas tenaga didik yang mumpuni , dengan sekolah pinggiran yang
untuk praktek komputer saja mesti bergantian, maka itu tidak akan pernah
ketemu. Ada perbedaan yang sangat signifikan diantara sekolah favorit itu
dengan sekolah pinggiran dan sekolah swasta yang berjalan apa adanya itu. Saya
setuju, kalau pola guru diperbantukan itu kembali dilaksanakan. Sekolah yang
ketempatan, pasti diuntungkan, sementara guru yang bersangkutan juga tidak akan
dirugikan, bahkan dia akan makin bisa mengembangkan kreatifitas dan inovasinya
dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik,” demikian ungkap Joko
Winarso SPd, Humas SMP IT Harapan Bunda Semarang
Muhdi melihat, kebijakan
guru diperbantukan itu sebenarnya sangat ideal dalam mensikapi kurangnya guru
berkualitas dan kompeten di banyak sekolah negeri pinggiran dan sekolah swasta.
Hanya yang menjadi pertanyaan, kenapa kebijakan yang sangat baik itu tidak
dilanjutkan. Kalau untuk mendukung percepatan capaian mutu dan kualitas
pendidikan merata di semua sekolah di seluruh negeri ini, kebijakan itu adalah
langkah instan yang sangat efektif dan efisien. Tentunya dengan bonus khusus,
untuk guru yang diperbantukan itu, agar tetap ada semangat dan idealisme pada
guru itu.
Hanya yang masih menjadi
masalah adalah, bagaimana merumuskan kriteria guru yang layak untuk
diperbantukan. Apakah guru yang berprestasi di sebuah sekolah atau guru trouble
maker, guru yang tidak disenangi di sekolah asalnya. Jangan sampai tugas baru
itu menjadi beban psikologis tersendiri bagi guru yang bersangkutan.
”Idealnya guru yang
diperbantukan itu guru yang berprestasi, karena tugasnya disekolah barunya
cukup berat, yaitu mengangkat mutu dan kualitas pendidikan. Itu hanya bisa
dilakukan oleh guru yang mempunyai dedikasi dan berprestasi. Untuk guru
bermasalah, jangan pernah untuk dijadikan guru yang diperbantukan, karena di
sekolah baru dia hanya akan menjadi pengganggu dan parasit. ” Ungkap Joko lebih
lanjut.
Lantas ?
Dunia pendidikan memang membutuhkan terobosan yang komprehensif, tidak
setengah setengah. Di Jawa Tengah, di mana banyak daerah yang kekurangan guru,
persebaran guru yang berkeadilan dan bermanfaat sangat dibutuhkan. Hanya
masalahnya, banyak pejabat di Diknas kabupaten kota, belum mempunyai data dan
atau maping yang lengkap dan akurat terkait kelebihan dan kekurangan guru di
sekolahnya. Belum semua pejabat Diknas kabupaten kota sadar akan
pentingnya akurasi data itu. Sebab peta sebaran itulah yang nantinya
akan dipakai sebagai dasar penentuan pendistribusian guru itu.
Pemda harus dilibatkan
SKB 5 Menteri itu, apa bisa
memaksimalkan percepatan tujuan pendidikan nasional, itu yang masih
ditunggu dengan harap-harap cemas oleh
banyak pihak yang berkecimpung di dunia pendidikan. Bagaimana nanti
implementasinya di lapangan, itulah yang ditunggu. Bagaimana PP nya, juklak
juknisnya bagaimana ? Agar guru-guru
yang nantinya akan didistribusikan ke sekolah yang kekurangan guru, tidak
merasa dibuang dan disingkirkan.
”Diknas kabupaten kota
harus terlibat aktif dalam pelaksanaan SKB itu, karena merekalah yang paling
tahu daerah mana yang kurang gurunya dan wilayah mana yang kelebihan.
Pemindahannya juga jangan terkesan membuang atau menyingkirkan guru yang tidak
disenangi di sebuah sekolah. Karena kalau itu yang terjadi, guru yang sudah terlukai
secara psikologis itu kinerjanya di sekolah baru pasti tidak akan maksimal,”
ungkap Muhdi.
Harus ada bonus, atau
apalah istilahnya, kepada guru yang didistribusikan ke sekolah yang
membutuhkan. ”Kalau perlu yang dipindah itu guru yang berprestasi, guru yang
berdedikasi tinggi, dengan tugas membenahi dan mengangkat mutu pendidikan di
sekolah barunya. Ada bonus dan reward untuk mereka, itu yang pasti. Dan saat
guru yang bersangkutan mampu mengangkat mutu sekolah yang baru ditempatinya,
maka harus ada penghargaan berupa percepatan kenaikan pangkat dan golongan atau
promosi menjadi kepsek di sekolah yang masih lowong, ” jelas Broto, ketua PGRI
Jawa Tengah.
UU nomer 32 tahun 2004
tentang otonomi daerah juga menjadi salah satu batu sandungan dari pelaksanaan
SKB itu. Karena dengan otonomi itu, setiap daerah merasa mempunyai hak untuk
terus mengangkat dan mengangkat guru baru dan menempatkannya di sekolah yang
diingat tanpa melihat peta persebarannya. Skala kebutuhan akan guru mapel
tertentu, terkadang diabaikan, karena Diknas setempat tidak mempunyai akurasi
data terkait kebutuhan guru disebuah sekolah. Selain itu, guru baru juga
cenderung ingin ditempatkan di sekolah favorit meski dengan beban jam mengajar
yang sedikit. Semuanya itu pastinya terkait dengan materi. Karena di
sekolah favorit, kemungkinan untuk mendapatkan bonus dan lainnya, lebih besar
dibandingkan kalau misalnya guru baru itu ditempatkan di sekolah pinggiran
dengan beban mengajar yang padat tapi minim bonus.
Bisakah SKB itu
mempercepat capaian tujuan pendidikan nasional
? Masih ada tanda tanya besar yang harus dijawab. Karena di lapangan,
implementasi SKB itu akan berbenturan dengan ego pajabat birokrat di kabupaten
kota yang masih merasa punya hak untuk memindahkan, memutasi dan atau sejenisnya
tanpa perlu menjelaskan alasannya. Otonomi daerah menjadikan pejabat birokrat
sebagai raja – raja kecil dengan kewenangan besar. Kewenangan wajib bidang
pendidikan yang dipunyai daerah, akan
menjadi batu sandungan, kalau tidak direvisi. Itu tidak akan menjadi masalah
kalau pemda dilibatkan, dengan menyiapkan sebaran dan kebutuhan guru di tiap
wilayah secara kurat dan kredibel. Dan itulah yang harus ditata dulu, kalau
ingin SKB itu bisa berjalan dengan baik dan sukses serta bermanfaat. (dmr)