Wartawan itu dibesarkan di jalanan.
Artinya :
Pola pikir, tingkah laku, kemampuan mendapatkan berita dengan news value tinggi, dan kekritisan seorang wartawan dibentuk dan digembleng oleh banyak kesulitan, rintangan dan batu sandungan selama dia menekuni pekerjaannya. Waktu yang membentuk seorang wartawan menjadi dewasa, dalam arti sebenarnya, sehingga mampu mencari solusi dan bahkan mensiasati aneka halangan dan rintangan terkait dengan narasumber, tempat dan waktu. Dan pengalaman itulah yang kemudian menjadi acuan di tip's n trik ini
A. Mensiasati OFF THE RECORD
Siapapun narasumbernya, apabila kemudian dia mengatakan off the record atas semua data dan informasi yang telah dibeberkannya, maka dia sama menjengkelkannya dengan narasumber yang amat sangat tertutup. Karena itu artinya, sia sialah wawancara yang telah dilakukan.
Ada dua langkah yang dapat kita lakukan kepada narasumber pertama yang bilang off the record, kita bisa:
a.
Kita terus terang mengatakan kepada narasumber, akan mencarikan narasumber baru atas data dan fakta yang dia punyai, apabila dia tidak enak/takut, saat harus dikutip namanya. Karena permasalahan yang akan dikomentari terkait dengan orang/kelompok/ institusi yang dia tahu dan kenal.
b.
Apabila narasumber, bersikeras tidak ingin data dan fakta yang dia punyai dipublikasikan, dan bahkan kita sama sekali tidak boleh mencuplik, mencatat apalagi memfotokopi. Apabila kita menganggap data dan fakta itu sangat urgen dan penting sekali dan harus segera diketahui masyarakat, maka kita dapat 'sedikit memain
kan' kata dan kalimat atas data dan fakta itu agar tidak sama persis dengan yang di off the record kan. Kemudian kita mintakan narasumber lain, yang kompeten dan keberadaannya setingkat atau lebih tinggi dari narasumber pertama, untuk berkomentar tanpa harus minta ijin kepada narasumber pertama.
Kemudian untuk mensiasatinya :
1.
Kita terus mengorek sedetail mungkin data dan fakta yang dipunyai narasumber yang mengatakan off the record itu, bahkan kalau memungkinkan di fotokopi, di foto dan di rekam wawancaranya. Agar kita tidak salah saat mengutipnya nanti.
2.
Atas data dan informasi yang telah kita dapat itu, kita carikan narasumber yang lain, yang kalau pejabat, lebih tinggi atau setingkat jabatannya, tapi lain dinas. Kalau anggota dewan, kita carikan anggota dewan yang lain. Kalau pakar atau pengamat, kita cari pakar yang lain.
3.
Kepada narasumber baru itu, kita beri data dan fakta yang kita dapat itu untuk dipelajari. Setelah dia menguasai, dia kita minta untuk 'ngomong' , berkomentar panjang lebar, dengan kata dan kalimat yang lain, tapi tetap dengan data dan fakta yang sama. Langkah ini, bisa membuat data dan fakta yang off the record itu menjadi on the record.
Catatan :
Tiga langkah diatas bisa kita lakukan, apabila beritanya
- Terkait langsung dengan kepentingan umum, yang kalau tidak terpublikasikan bisa merugikan banyak pihak.
- Ada orang/ kelompok/ institusi, yang dirugikan dan bahkan divonis bersalah secara hukum, apabila data dan fakta itu tidak dimunculkan.
- Apabila ada pembohongan public oleh orang/ kelompok dan insitusi tertentu atas suatu masalah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung membuat citra buruk yang bersangkutan.
B.
MENSIASATI NARASUMBER
YANG IRIT BICARA
Amat sangat mengjengkelkan apabila narasumbner yang kita wawacarai, irit menjawab. Yang keluar dari mulutnya hanya, ya, tidak, benar, salah, tidak tahu , dan jawaban jawaban diplomatis lainnya.
Yang paling penting, saat menjumpai narasumber yang seperti ini adalah, kuasai materi. Kuasai permasalahan yang ingin dimintakan jawaban/ komentar. Kalau perlu, susun pertanyaan yang cenderung memvonis atau menghakimi, sehingga narasumber yang marah atau tersinggung, menjawab panjang lebar untuk melakukan pembelaan atau pembenaran. (Tetap saja semuanya harus tidak boleh menyimpang dari kaidah yang diatur dalam kode etik jurnalistik dan aturan hukum lainnya)
Contoh :
Atas terlibatnya dua PNS Pemkot Kota Semarang dalam kasus narkoba, ternyata Walikota Sukawi Sutarip, enggan dan tidak mau menjawabnya. Atas kemungkinan sangsipun dia enggan berkomentar. Jawaban yang muncul cenderung diplomatis, dan sama sekali tidak menarik untuk diturunkan dalam sebuah berita. Bahkan saat kita tanya nama dan jabatannya, dia lebih memilih diam.
“Kita tunggu aja hasil pemeriksaan dari aparat, “ itu katanya.
- Atas hal itu, kita bisa memancing … sedikit saja…. ketersinggungan atau amarah beliau, dengan mengutarakan kabar yang sudah beredar diluar.
“ Katanya namanya AN dan AT dari Dinas …. Ya pak ? Apa mereka memang pemain lama yang jadi TO aparat ya pak ? Kenapa bapak tidak menindak oknum PNS bawahan bapak yang kelakuannya tidak baik itu ? … “
Di jamin, walikota saat disebutkan data dan fakta yang memang sudah beredar di luar, dia akan memberikan jawaban yang agak panjang, dan layak dijadikan berita. Meski untuk itu, akan ada amarah dari bawahan beliau yang ingin cari muka dan ingin mengamankan bapaknya dari para wartawan usil seperti itu.
Jadi intinya di sini, wartawan harus menguasai masalah. Wartawan kalau perlu, tahu lebih banyak daripada sang narasumber. Gunanya, untuk memberikan informasi sekaligus memancing komentar narasumber. Saat kita sodori kenyataan kalau masalahnya ternyata lebih besar, lebih ruwet, lebih kompleks daripada berita yang pejabat peroleh dari anak buahnya yang memberikan laporan ABS (asal bapak senang). Bisa dipastikan dia akan bereaksi. Minimal, saat si beliau bungkam tetap tidak mau menjawab tanya wartawan, di kantor anak buah yang beri laporan ABS pasti akan di'habisin'. Hehehe anak buah yang demikian memang patut dihabisin, karena ABS nya dia sering bikin rakyatnya susah.
C.
HUMAS / INFOKOM
GELAR JUMPA PERS
Saat ini, peran Humas dan atau Infokom, dalam menghambat, mendikte, dan mengarahkan isi berita, untuk kepentingan Pemkot/Pemda/ dan institusi, terasa amat kuat. Untuk kasus kasus yang berpeluang menjadi heboh kalau diturunkan apa adanya oleh wartawan, diatasi dengan mengumpulkan wartawan dalam sebuah jumpa pers. Data dan fakta yang muncul, bisa dipastikan seratus persen sesuai dengan kebijakan mereka.
Dan itu sah-sah saja bagi pejabat humas yang bersangkutan, karena itu memang tugasnya. Tugas ? Apa sih tugasnya ? Salah satunya, mengamankan sang pemimpin, dari gangguan wartawan. Taruhannya tidak baen-baen, jabatan. Kalau di media massa muncul banyak sekali tulisan yang bernada mempertanyakan, menggugat dan menyerang kebijakan, perilaku dan pribadi seorang pemimpin, maka sang pejabat humas dipastikan tidak akan bertahan lama menduduki jabatannya. Dia pasti dianggap 'tidak berhasil mengamankan' sang Bapak dari gangguan wartawan. Maka, muncullah perilaku 'menganak emaskan' wartawan sebuah media besar dan berwibawa, sementara wartawan yang lain, dianggap hanya sebagai pelengkap saja ... terkadang bahkan pelengkap penderita ....
Wartawan wartawan idealis, yang mencari data dan fakta dari sumber lain, atas berita yang di jumpa pers kan, akhirnya terberangus oleh peranan relationship yang dibina pejabat humas/ infokom dengan redaksi atau yang punya wewenang di media. Relationship itu sendiri biasanya terbentuk karena hutang budi akibat terus digelontor iklan, fasilitas atau upeti. Seberapapun akuratnya data dan fakta yang berhasil dihimpun oleh watawan, beritanya akan mental ke keranjang sampah, kalau relationship itu sudah terbina demikian dalamnya.
Contoh :
1.
Saat ditemukan kenyataan, masih ada balita busung lapar di Pasadena. Dan wartawan cenderung akan mengekploitasi pemberitaan itu. Pejabat terkait, dengan cepat mengumpul
kan wartawan, menggelar jumpa pers dengan memanggil Kadinas Kesehatan Kota. Pejabat itu, juga dengan gesit ngontak redaksi dan atau pimpinan redaksi, berjaga-jaga kalau sang wartawan tidak bisa diatur untuk mengaman
kan beritanya.
Hasilnya, berita yang muncul, di Pasadena masih ada balita gizi buruk, dan jumlahnya tidak signifikan. Data dan fakta yang dikumpulkan wartawan, yang mengungkap secara detail balita busung lapar itu, mental ke keranjang sampah. Dan itu sering terjadi di lapangan, bahkan hingga saat ini.
2.
Walikota Pasadena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati. Namun, proses pemeriksaan dan penyidikannya tidak juga berjalan. Bahkan cenderung stagnan. Saat demo besar besaran dari LSM se Kota Pasadena digelar, menuntut segera diprosesnya dugaan korupsi Walikota itu. Pejabat terkait pontang panting berusaha mengamankan, agar beritanya tidak keluar di media massa. Hasilnya, media yang menjadi kaki tangannya, yang rikuh karena diberi banyak fasilitas, sendiko dawuh , saat pejabat itu memerintahkan agar berita demo itu tidak usah di muat.
Sementara wartawan dan media masa, yang kebetulan mempunyai semangat yang sama-sama idealis, dipastikan akan tetap menurunkan berita itu, apa adanya. Tapi, karena sebagian besar media sudah di'bungkam', gaung dari demo itu lantas seperti embun di pagi hari yang segera lenyap diterpa sinar mentari.
(MENJENGKELKAN ! dan amat sangat menjengkelkan!)
Tapi terkadang, sebuah informasi/ data dan fakta, terkait dengan suatu permasalahan yang sangat urgen, berskala luas dan langsung menyentuh kepentingan masyarakat, hanya dapat diperoleh lewat Dispen/ Juru Bicara Pemerintah dan lainnya yang ditunjuk.
Contoh :
Atas kasus bom Mega Kuningan, hanya lewat Dispen Polri saja, data dan fakta yang akurat bisa diperoleh. Wartawan yang kemudian mengembangkannya dengan penelusuran, investigasi dan reportase untuk pengembangan beritanya.
Jadi, bagaimana sikap kita atas
kebijakan itu ?
- Kalau kita sebagai wartawan, ingin aman dan selamat terus bekerja di media yang kita sudah tahu menjadi corong institusi tertentu, disarankan untuk ikut saja arus besar yang sudah dibentuk oleh jajaran redaksi dan manajemen.
- Tapi, kalau sisi idealisme kita merasa terganggu, yang kemudian membuat kita mual , karena tidak bisa menulis apa adanya seperti kenyataan yang ada di lapangan. Kita tidak bisa melakukan pembelaan atas nama rakyat kecil dan kaum tertindas yang terkalahkan oleh kekuasaan, dan harta, maka kita dipersilahkan untuk hengkang dari media itu, dan bergabung dengan media yang masih punya nurani.
Artinya :
Pola pikir, tingkah laku, kemampuan mendapatkan berita dengan news value tinggi, dan kekritisan seorang wartawan dibentuk dan digembleng oleh banyak kesulitan, rintangan dan batu sandungan selama dia menekuni pekerjaannya. Waktu yang membentuk seorang wartawan menjadi dewasa, dalam arti sebenarnya, sehingga mampu mencari solusi dan bahkan mensiasati aneka halangan dan rintangan terkait dengan narasumber, tempat dan waktu. Dan pengalaman itulah yang kemudian menjadi acuan di tip's n trik ini
A. Mensiasati OFF THE RECORD
Siapapun narasumbernya, apabila kemudian dia mengatakan off the record atas semua data dan informasi yang telah dibeberkannya, maka dia sama menjengkelkannya dengan narasumber yang amat sangat tertutup. Karena itu artinya, sia sialah wawancara yang telah dilakukan.
Ada dua langkah yang dapat kita lakukan kepada narasumber pertama yang bilang off the record, kita bisa:
a.
Kita terus terang mengatakan kepada narasumber, akan mencarikan narasumber baru atas data dan fakta yang dia punyai, apabila dia tidak enak/takut, saat harus dikutip namanya. Karena permasalahan yang akan dikomentari terkait dengan orang/kelompok/ institusi yang dia tahu dan kenal.
b.
Apabila narasumber, bersikeras tidak ingin data dan fakta yang dia punyai dipublikasikan, dan bahkan kita sama sekali tidak boleh mencuplik, mencatat apalagi memfotokopi. Apabila kita menganggap data dan fakta itu sangat urgen dan penting sekali dan harus segera diketahui masyarakat, maka kita dapat 'sedikit memain
kan' kata dan kalimat atas data dan fakta itu agar tidak sama persis dengan yang di off the record kan. Kemudian kita mintakan narasumber lain, yang kompeten dan keberadaannya setingkat atau lebih tinggi dari narasumber pertama, untuk berkomentar tanpa harus minta ijin kepada narasumber pertama.
Kemudian untuk mensiasatinya :
1.
Kita terus mengorek sedetail mungkin data dan fakta yang dipunyai narasumber yang mengatakan off the record itu, bahkan kalau memungkinkan di fotokopi, di foto dan di rekam wawancaranya. Agar kita tidak salah saat mengutipnya nanti.
2.
Atas data dan informasi yang telah kita dapat itu, kita carikan narasumber yang lain, yang kalau pejabat, lebih tinggi atau setingkat jabatannya, tapi lain dinas. Kalau anggota dewan, kita carikan anggota dewan yang lain. Kalau pakar atau pengamat, kita cari pakar yang lain.
3.
Kepada narasumber baru itu, kita beri data dan fakta yang kita dapat itu untuk dipelajari. Setelah dia menguasai, dia kita minta untuk 'ngomong' , berkomentar panjang lebar, dengan kata dan kalimat yang lain, tapi tetap dengan data dan fakta yang sama. Langkah ini, bisa membuat data dan fakta yang off the record itu menjadi on the record.
Catatan :
Tiga langkah diatas bisa kita lakukan, apabila beritanya
- Terkait langsung dengan kepentingan umum, yang kalau tidak terpublikasikan bisa merugikan banyak pihak.
- Ada orang/ kelompok/ institusi, yang dirugikan dan bahkan divonis bersalah secara hukum, apabila data dan fakta itu tidak dimunculkan.
- Apabila ada pembohongan public oleh orang/ kelompok dan insitusi tertentu atas suatu masalah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung membuat citra buruk yang bersangkutan.
B.
MENSIASATI NARASUMBER
YANG IRIT BICARA
Amat sangat mengjengkelkan apabila narasumbner yang kita wawacarai, irit menjawab. Yang keluar dari mulutnya hanya, ya, tidak, benar, salah, tidak tahu , dan jawaban jawaban diplomatis lainnya.
Yang paling penting, saat menjumpai narasumber yang seperti ini adalah, kuasai materi. Kuasai permasalahan yang ingin dimintakan jawaban/ komentar. Kalau perlu, susun pertanyaan yang cenderung memvonis atau menghakimi, sehingga narasumber yang marah atau tersinggung, menjawab panjang lebar untuk melakukan pembelaan atau pembenaran. (Tetap saja semuanya harus tidak boleh menyimpang dari kaidah yang diatur dalam kode etik jurnalistik dan aturan hukum lainnya)
Contoh :
Atas terlibatnya dua PNS Pemkot Kota Semarang dalam kasus narkoba, ternyata Walikota Sukawi Sutarip, enggan dan tidak mau menjawabnya. Atas kemungkinan sangsipun dia enggan berkomentar. Jawaban yang muncul cenderung diplomatis, dan sama sekali tidak menarik untuk diturunkan dalam sebuah berita. Bahkan saat kita tanya nama dan jabatannya, dia lebih memilih diam.
“Kita tunggu aja hasil pemeriksaan dari aparat, “ itu katanya.
- Atas hal itu, kita bisa memancing … sedikit saja…. ketersinggungan atau amarah beliau, dengan mengutarakan kabar yang sudah beredar diluar.
“ Katanya namanya AN dan AT dari Dinas …. Ya pak ? Apa mereka memang pemain lama yang jadi TO aparat ya pak ? Kenapa bapak tidak menindak oknum PNS bawahan bapak yang kelakuannya tidak baik itu ? … “
Di jamin, walikota saat disebutkan data dan fakta yang memang sudah beredar di luar, dia akan memberikan jawaban yang agak panjang, dan layak dijadikan berita. Meski untuk itu, akan ada amarah dari bawahan beliau yang ingin cari muka dan ingin mengamankan bapaknya dari para wartawan usil seperti itu.
Jadi intinya di sini, wartawan harus menguasai masalah. Wartawan kalau perlu, tahu lebih banyak daripada sang narasumber. Gunanya, untuk memberikan informasi sekaligus memancing komentar narasumber. Saat kita sodori kenyataan kalau masalahnya ternyata lebih besar, lebih ruwet, lebih kompleks daripada berita yang pejabat peroleh dari anak buahnya yang memberikan laporan ABS (asal bapak senang). Bisa dipastikan dia akan bereaksi. Minimal, saat si beliau bungkam tetap tidak mau menjawab tanya wartawan, di kantor anak buah yang beri laporan ABS pasti akan di'habisin'. Hehehe anak buah yang demikian memang patut dihabisin, karena ABS nya dia sering bikin rakyatnya susah.
C.
HUMAS / INFOKOM
GELAR JUMPA PERS
Saat ini, peran Humas dan atau Infokom, dalam menghambat, mendikte, dan mengarahkan isi berita, untuk kepentingan Pemkot/Pemda/ dan institusi, terasa amat kuat. Untuk kasus kasus yang berpeluang menjadi heboh kalau diturunkan apa adanya oleh wartawan, diatasi dengan mengumpulkan wartawan dalam sebuah jumpa pers. Data dan fakta yang muncul, bisa dipastikan seratus persen sesuai dengan kebijakan mereka.
Dan itu sah-sah saja bagi pejabat humas yang bersangkutan, karena itu memang tugasnya. Tugas ? Apa sih tugasnya ? Salah satunya, mengamankan sang pemimpin, dari gangguan wartawan. Taruhannya tidak baen-baen, jabatan. Kalau di media massa muncul banyak sekali tulisan yang bernada mempertanyakan, menggugat dan menyerang kebijakan, perilaku dan pribadi seorang pemimpin, maka sang pejabat humas dipastikan tidak akan bertahan lama menduduki jabatannya. Dia pasti dianggap 'tidak berhasil mengamankan' sang Bapak dari gangguan wartawan. Maka, muncullah perilaku 'menganak emaskan' wartawan sebuah media besar dan berwibawa, sementara wartawan yang lain, dianggap hanya sebagai pelengkap saja ... terkadang bahkan pelengkap penderita ....
Wartawan wartawan idealis, yang mencari data dan fakta dari sumber lain, atas berita yang di jumpa pers kan, akhirnya terberangus oleh peranan relationship yang dibina pejabat humas/ infokom dengan redaksi atau yang punya wewenang di media. Relationship itu sendiri biasanya terbentuk karena hutang budi akibat terus digelontor iklan, fasilitas atau upeti. Seberapapun akuratnya data dan fakta yang berhasil dihimpun oleh watawan, beritanya akan mental ke keranjang sampah, kalau relationship itu sudah terbina demikian dalamnya.
Contoh :
1.
Saat ditemukan kenyataan, masih ada balita busung lapar di Pasadena. Dan wartawan cenderung akan mengekploitasi pemberitaan itu. Pejabat terkait, dengan cepat mengumpul
kan wartawan, menggelar jumpa pers dengan memanggil Kadinas Kesehatan Kota. Pejabat itu, juga dengan gesit ngontak redaksi dan atau pimpinan redaksi, berjaga-jaga kalau sang wartawan tidak bisa diatur untuk mengaman
kan beritanya.
Hasilnya, berita yang muncul, di Pasadena masih ada balita gizi buruk, dan jumlahnya tidak signifikan. Data dan fakta yang dikumpulkan wartawan, yang mengungkap secara detail balita busung lapar itu, mental ke keranjang sampah. Dan itu sering terjadi di lapangan, bahkan hingga saat ini.
2.
Walikota Pasadena ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati. Namun, proses pemeriksaan dan penyidikannya tidak juga berjalan. Bahkan cenderung stagnan. Saat demo besar besaran dari LSM se Kota Pasadena digelar, menuntut segera diprosesnya dugaan korupsi Walikota itu. Pejabat terkait pontang panting berusaha mengamankan, agar beritanya tidak keluar di media massa. Hasilnya, media yang menjadi kaki tangannya, yang rikuh karena diberi banyak fasilitas, sendiko dawuh , saat pejabat itu memerintahkan agar berita demo itu tidak usah di muat.
Sementara wartawan dan media masa, yang kebetulan mempunyai semangat yang sama-sama idealis, dipastikan akan tetap menurunkan berita itu, apa adanya. Tapi, karena sebagian besar media sudah di'bungkam', gaung dari demo itu lantas seperti embun di pagi hari yang segera lenyap diterpa sinar mentari.
(MENJENGKELKAN ! dan amat sangat menjengkelkan!)
Tapi terkadang, sebuah informasi/ data dan fakta, terkait dengan suatu permasalahan yang sangat urgen, berskala luas dan langsung menyentuh kepentingan masyarakat, hanya dapat diperoleh lewat Dispen/ Juru Bicara Pemerintah dan lainnya yang ditunjuk.
Contoh :
Atas kasus bom Mega Kuningan, hanya lewat Dispen Polri saja, data dan fakta yang akurat bisa diperoleh. Wartawan yang kemudian mengembangkannya dengan penelusuran, investigasi dan reportase untuk pengembangan beritanya.
Jadi, bagaimana sikap kita atas
kebijakan itu ?
- Kalau kita sebagai wartawan, ingin aman dan selamat terus bekerja di media yang kita sudah tahu menjadi corong institusi tertentu, disarankan untuk ikut saja arus besar yang sudah dibentuk oleh jajaran redaksi dan manajemen.
- Tapi, kalau sisi idealisme kita merasa terganggu, yang kemudian membuat kita mual , karena tidak bisa menulis apa adanya seperti kenyataan yang ada di lapangan. Kita tidak bisa melakukan pembelaan atas nama rakyat kecil dan kaum tertindas yang terkalahkan oleh kekuasaan, dan harta, maka kita dipersilahkan untuk hengkang dari media itu, dan bergabung dengan media yang masih punya nurani.