Dapat Anggaran dari Negara
Selama digunakan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sekolah swasta
merasa dianaktirikan dalam urusan bantuan dana pendidikan. Sebab pemerintah
hanya ngopeni sekolah negeri. Sekolah swasta tidak. Kalaupun ada bantuan, hanya
bersifat sporadis dengan pengajuan proposal lebih dahulu.
Ketidakadilan itu sudah lama
dikeluhkan. Dan akhirnya Machmudi Masjkur (Perguruan Salafiyah LP Maarif
Pekalongan) bersama Suster Maria Bernardine (Perguruan Santa Maria Pekalongan)
mengajukan gugatan secara hukum. Yakni juducial review atas UU Sisdiknas
2003 kepada Mahkamah Konstitusi.
Hasilnya, MK mengabulkan tuntutan perlakukan yang sama terhadap pendidikan
dasar yang diselenggarakan oleh sekolah swasta dan negeri agar tidak terjadi
diskriminasi dan kesenjangan mutu antara sekolah swasta dan negeri.
Akhir September lalu, (29/9) Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan
ayat 4 pasal 55 UU Sisdiknas. Amarnya, sekolah swasta memiliki hak sama seperti
sekolah negeri untuk memperoleh anggaran dari pemerintah.
Ayat 4 tersebut yang berbunyi; “lembaga pendidikan
berbasis masyarakat (swasta) dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah pusat dan
atau pemerintah daerah”.
MK mengoreksi kata “dapat” menjadi
“wajib”. Sehingga, redaksi barunya kurang lebih; “sekolah berbasis masyarakat wajib
memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan
merata dari pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah”.
Awal mendengar putusan tersebut
Mendiknas (kini Mendikbud) Muhammad Nuh merasa cemas. Dia menganggap jika
perubahan kata dapat ke wajib berlaku untuk seluruh jenjang
pendidikan. Ternyata setelah ia ditelepon Ketua MK Mahfud MD, aturan itu khusus
untuk pendidikan dasar. Yakni PAUD, SD, hingga SMP atau sederajat.
Nuh menerangkan, dengan keluarnya
putusan MK ini, otomatis upaya Kemendiknas selama ini untuk meningkatkan
kualitas sekolah swasta dan negeri bisa makin kuat.
Boleh Tuntut
Pemda
Mendikbud Muhammad Nuh menyampaikan,
masyarakat terutama pengelola sekolah swasta bisa menuntut Pemda jika terjadi
praktik diskriminasi dalam bentuk apapun. Terlebih urusan penyaluran dana atau
subsidi peningkatan kualitas pendidikan.
Selain soal dana, lanjutnya, perhatian dalam akses belajar bagi tenaga
pendidik di sekolah swasta juga harus adil. Di antaranya, pendistribusian
beasiswa belajar harus dibuka berimbang untuk guru di sekolah swasta dan guru
di sekolah negeri.
Dalam era otonomi daerah, pendidikan
dasar jadi wewenang pemerintah kabupaten dan kota. Tapi, pemerintah pusat masih
memberi dukungan. Karena keputusan tersebut bermakna juga peningkatan mutu
sekolah swasta juga akan terperhatikan.
Nuh berharap pemerintah kabupaten
dan kota tak lagi memandang sebelah mata keberadaan sekolah swasta. Pemda,
menurut Nuh, diminta aktif menghidupkan sekolah swasta. Dia juga minta urusan
pengucuran subsidi pendanaan tak dibedakan antara sekolah swasta dan sekolah
negeri.
“Yang belajar di sekolah swasta toh juga anak-anak mereka (Pemda dan
Pemkab, red),” tuturnya seperti dikutip di media nasional.
Kedua, MK juga tidak membiarkan
negara terus menerus melakukan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945) dan
UU Sisdiknas yang mewajibkan negara membiayai semua penyelenggaraan pendidikan
dasar (SD/SMP) secara bermutu.
Harus Dilaksanakan
Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Hasyim Asyari menyambut baik putusan MK tersebut. Menurutnya, konstitusi telah
mengamanatkan, negara
wajib mencerdaskan kehidupan bangsa.
Karena itu, sambungnya, alokasi
anggaran untuk lembaga pendidikan tak boleh membedakan negeri atau swasta. Dan
hal ini harus segera dilaksanakan. Anggarannya harus segera dimasukkan ke dalam
RAPBN 2012 dan sebisa mungkin ditetapkan sebelum akhir tahun 2011 ini.
“Putusan MK itu harus dilaksanakan. Pemerintah
bersama DPR harus segera menyusun RAPBN yang mengakomodir anggaran untuk sekolah
swasta,” tuturnya saat diwawancarai Merput via telepon belum lama ini.
Adanya sekolah swasta, kata dia,
karena pemerintah tidak mampu memenuhi kewajibannya melayani pendidikan secara
merata. Karena itu pemerintah
tidak boleh lepas tangan, menyepelekan, apalagi mengangapnya pesaing.
Soal ada sekolah swasta yang
bersifat komersial, dengan tarif mahal, itu bukan alasan untuk tidak memasukkan
di dalam program bantuan dari pemerintah. Sebab menurutnya, adanya sekolah
mahal itu karena tak punya sumber dana lain selain dari orang tua murid. Dan
mereka berani menjual kualitas layanannya.
Maka, lanjut dosen FH Undip ini,
pemerintah pusat maupun daerah segera memberi subsidi atau skema tertentu, agar
anak-anak dari ekonomi biasa bisa mengakses sekolah tersebut.
“Sekolah swasta yang mahal itu juga
harus dibantu. Skemanya bisa berupa subsidi, agar orang dari ekonomi biasa
tetap bisa mengaksesnya,” terang dia.
Hasyim menambahkan, banyak sekolah
swasta yang kondisinya memprihatinkan. Gaji gurunya tidak manusiawi. Padahal
perannya dalam mendidik generasi bangsa sangat besar.
Menuturnya, masyarakat tetap diminta
berpartisipasi mendukung sekolah macam itu. Tetapi pemerintah harus
memprioritaskan anggarannya untuk mereka. Misalnya berupa honor guru, fasilitas
pendidikan atau bangunan fisik.
“Masyarakat tetap harus
berpartisipasi kepad sekolah swasta. Tapi pemerintah harus men-support secara
nyata,” tegasnya.
Bagaimana
jika pemerintah tidak melaksanakan titah konstitusi dan UU itu? Hasyim
menyatakan, warga negara berhak menggugat secara hukum dan menuntut secara
moral.
“Negara
kita berdasar hukum. Konstitusi sudah menjamin. Undang-Undang sudah diubah.
Kita harus ingatkan terus pemerintah agar menaati. Kalau tidak, kita bisa gugat
dan tuntut,” jelasnya.
Harus Merata
Ketua
Persatuan Guru dan Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jawa Tengah Muh Zen Adv
mengungkapkan, sekolah swasta maupun negeri harus ada pemerataan. Tak boleh
diskriminasi.
Pasalnya, dalam pendidikan tidak
ada yang namanya dikotomi antara sekolah negeri dan swasta, karena tujuannya
sama-sama mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.
”Pemerintah wajib memberikan bantuan dan memfasilitasi
sekolah swasta. Nilai bantuan juga harus proporsional. Selama ini bantuan
diprioritaskan ke sekolah negeri,” papar anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah ini.
Politisi dari PKB ini
menambahkan, selama ini anggaran pendidikan 20% dari APBN yang diteruskan ke
kabupaten/kota, alokasi ke sekolah negeri dan swasta selalu dibedakan. Untuk sekolah
swasta nilainya sangat sedikit dibanding sekolah negeri. Bahkan, berdasarkan
fakta, sekolah swasta hanya mendapat dana dari bantuan sosial (bansos) yang
nilainya terikat pada Pemerintah Daerah.
“Dana pendidikan yang disalurkan
kepada sekolah swasta sangat jauh berbeda dibandingkan sekolah negeri. Akibatnya,
banyak sekolah swasta terlebih yang di pinggiran mengalami krisis karena tidak
mampu membiayai pelayanan pendidikan,” ungkapnya.
Pengamat pendidikan dari IKIP
PGRI Semarang Muhdi melanjutkan, pemerintah harus memperhatikan sekolah swasta
seperti bantuan pendidik atau guru.
“Pemerintah kabupaten/ kota juga
harus terus didorong untuk memperlakukan sekolah negeri dan swasta tanpa
diskriminatif,”katanya.
Dana Dekonsentrasi
Muh Zen berharap, anggaran untuk
sekolah swasta bisa melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diberikan kepada
Pemda. Skemanya untuk perawatan fisik
sekolah swasta, baik di bawah naungan Dinas Pendidikan maupun Kantor Kementerian
Agama. Semuanya harus proporsional,
termasuk dana dekonsentrasi yang dikelola Dinas Pendidikan provinsi.
Sementara itu Wakil Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota
Semarang Kustiono mengatakan, pada dasarnya kewenangan sekolah negeri dan
swasta tidak berbeda.
Jika di negeri ada komite, di swasta oleh yayasan. Sehingga, kata dia, pemerintah
bisa berbuat adil sebagaimana telah dilakukan dalam program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), di mana siswa sekolah swasta juga memperoleh dana tersebut.
”Bantuan yang selama ini diharapkan oleh sekolah swasta adalah mengenai
bantuan rehabilitasi sekolah yang belum bisa terpenuhi. Di samping itu, pelatihan guru dan bantuan guru
PNS ke sekolah swasta,” katanya. (ichwan)