PERTANYAAN
DI SENSOR KADISPEN
kannya. Karena Bapak Sugeng ini sebenarnya baik sekali dan amat sangat peduli dengan wartawan.
Hehehe .... biasanya saya bekerjasama dengan wartawan dari media lain. Merekalah yang kemudian bertanya atas pertanyaan yang dicoret oleh Bapak Sugeng yang baik hati dan ramah itu. Hafal dengan kebiasaan saya itu, beliau kemudian kepada wartawan yang lain, menyatakan, jangan bertanya ini, itu ya .....
Tapi wartawan seperti saya ini punya sifat dasar bandel, apalagi kalau kemudian pertanyaan itu tugas dari Jakarta yang harus mendapatkan jawab dari Pangdam. Bagaimanapun caranya, Pangdam harus mengeluarkan statement itu tekad saya.
Nah, suatu ketika, saya dengan kameramen Sony, dan beberapa wartawan lainnya, melakukan wawancara dengan Pangdam di dekat lapangan upacara. Kadispen, bapak Sugeng, sejak awal sudah mencoret beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan. Tapi karena itu merupakan pertanyaan penting dari bos Masturi, yang harus mendapatkan jawaban, maka bagaimanapun caranya, saya harus berhasil mendapatkan jawabannya.
Indera ke 6 bapak Sugeng rupanya tahu, kalau saya dan teman-teman yang lain akan nekat bertanya yang aneh-aneh. Beliau saat ini menempatkan diri di sebelah saya, sementara Sony, kameramen saya yang tinggi besar di belakang saya dengan kamera persis di atas kepala. Saya lirik, pak Sugeng terus mengawasi saya, kakinya yang bersepatu boot tentara, mepet persis dengan kaki saya yang mengenakan sepatu kets tipis. Waduh... blaik ini, permainan kaki pasti akan terjadi. Hhehehe saya, sering mengalaminya saat harus melaku
kan wawancara dengan walikota Sukawi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Kaki saya diinjak oleh petugas Humas, itu yang sering terjadi. Sakit tentu saja.
Membayangkan akan diinjak oleh sepatu boot tentara yang berat, pasti sakit. Saya njawil pinggang Sony, dan dengan cepat bergeser lebih ke dalam, sementara Sony maju dan menempatkan diri persis di sebelah Bapak Kadispen. Beliau yang kemudian sadar, segera menggeser ke belakang Sony dan mepet saya dari belakang dengan menempatkan kakinya kembali persis di dekat sepatu saya. Saya yang tahu gelagat, segera kembali di depan Sony, sementara Sony mundur kembali. Hehehe saya sendiri, kalau ingat hal itu suka senyum sendiri, kayak anak kecil main jethungan. Padahal saat itu, teman-teman yang lain sedang asyik berdialog dengan Pangdam.
Polah saya yang maju mundur, menghindari sepatu bapak Kadispen, rupanya terlihat juga oleh Pangdam.
“ Kalian lagi ngapain sih.... dari tadi kok usrek saja.... “ Demikian tanya Pangdam.
Dan saya hanya bisa nyengir, tanpa bisa menjawab. Sementara bapak Sugeng, hanya bisa menjawab, “ Siap Jendral ! ... “ sembari mendelik kepada saya.
Hehehehe yang pasti setelah itu, saya berhasil mendapatkan jawab atas pertanyaan yang sangat krusial itu. Sementara pulangnya, setelah di briefing singkat di ruangan Kadispen, diberi oleh-oleh :
“Besok lagi jangan diulangi lagi ya.... “
Ah, betapa kangennya bertemu dengan Kadispen yang baik dan semanak itu. Sekarang beliau tugas di mana ya ?
*****
DIMARAHI SOPHIA LATJUBA
DAN INDRA LESMANA
Ini ceritanya, saya masih bekerja sebagai wartawan di Harian Kartika. Saya waktu itu mendapatkan tugas meliput acara pementasan banyak artis di lantai 7 Matahari Simpang lima Semarang. Salah satu artisnya adalah suami istri Indra Lesmana, yang waktu itu masih beristrikan Sophia Latjuba. Bersama dengan beberapa wartawan hiburan dari beberapa media, saya melakukan wawancara dengan beberapa artis di ruang ganti.
Saya, setelah merasa cukup dengan artis yang lain, kemudian menuju ke pasangan suami istri, yang saat itu lagi mesra-mesranya. Pertanyaan lantas menjadi obrolan, karena Indra dan Sophia sendiri orangnya sangat ramah. Namun, tatkala dengan santun, saya menanyakan, kemampuan bernyanyi Sophia, dan aji mumpung nya ? Meledaklah emosi si Indra ?
”Anda dari media apa ? Pertanyaan anda sudah menghakimi, saya tersinggung! Bukan begitu cara bertanya yang baik. Kalau vokal Sophia hanya polesan dan di mix di studio, tidak mungkin dia akan berani tampil live seperti saat ini ......... ”
Saya diamkan si Indra meluapkan emosinya, sampai kemudian berhenti sendiri, sementara saya tetap mengacungkan tape kecil untuk merekam semua amarahnya itu. Saya tatap matanya yang penuh emosi itu dengan tatapan sewajarnya saja. Setelah semua uneg-unegnya selesai ditumpahkan semua, saya dengan santai bilang :
”Pertanyaan saya itu merupakan pertanyaan titipan dari para penggemar kalian lho. Jawablah dengan jujur, kalau memang Sophia bisa bernyanyi live dengan baik, sebaik yang ada di dalam kaset, kamilah nanti yang akan menuliskannya untuk penggemar kalian. Tidak perlu marah begitu, oke ? Menurut mbak Sophia sendiri bagaimana ? ”
Sophia Latjuba yang sangat cantik, putih dan harum itu, semula dahinya sudah berkerut. Matanya juga terlihat ada bara api. Tapi begitu mendengar alasan saya, kelihatan sekali dia mencoba meredam emosinya. Pipi putihnya yang awalnya merah, berangsur-angsur putih kembali. Matanya kembali teduh dan bersinar lembut. Sophia memang cantik.
”Pertanyaan kamu tadi memang sangat mengejutkan mas. Baru kali ini ada wartawan yang berani bertanya seperti itu. Tapi okelah, masyarakat memang harus tahu, kalau saya sebenarnya bisa bernyanyi. Tidak amat bagus memang, ya lumayanlah, yang pasti tidak fals. .....”
Sophia mengatakan semuanya itu dengan memegang tangan Indra, yang kelihatan masih emosi. Dan teman-teman wartawan yang kemudian datang, karena mendengar suara keras Indra Lesmana, malah tertarik atas jawab dari pertanyaan saya itu. Dan wajah cantik Sophia lantas menjadi sasaran kamera teman-teman. Semu merah pipinya yang masih menyimpan emosi, makin membuatnya bak bidadari. AH, betatapun kamu, Sophia memang cantik he he he
Akhir cerita, penampilan mereka berdua ternyata benar-benar tidak mengecewakan. Sophia berhasil mengimbangi musikalitas Indra yang tanpa batas. Vokalnya juga tidak fals amat, meski kalau mau jujur, juga tidak terlalu kuat. Vokal seadanya itu berhasil dibungkus oleh musik dan syair yang kuat. Itu saja.
*****
DIPUKUL GUS DUR DENGAN PECI
Seorang wartawan itu harus tahu dan menguasai materi. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya. Hehehehe hal itu saya alami, saat dalam satu kesempatan mewawancarai gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai presiden. Dan saya saat itu masih menjadi piyeknya Masturi W. Syafaat, di RCTI.
Saat itu gus Dur mampir ke Semarang, tepatnya istirahat di Masjid Baiturahman, sebelum menuju ke Demak, untuk menghadiri acara PBNU. Dari bos Maturi, saya dapat tugas untuk mewawancari gus Dur terkait suatu permasalahan ( maaf, saya lupa apa pastinya). Protokoler di seputar gus Dur yang longgar, membuat banyak teman wartawan termasuk saya bisa bebas mendekati gus Dur. Saat itu gus Dur yang didampingi banyak kyai sepuh dan beberapa menteri, sedang istirahat di salah ruang di kantor masjid. Setelah minta ijin, kami kemudian mendekati gus Dur dan memohon kesediaan beliau untuk sedikit wawancara. Alhamdulillah bersedia.
Saya waktu itu, yang paling dekat dengan gus Dur, yang duduk di sofa. Berbagai pertanyaan mengalir, disertai dengan sendau gurau khas gus Dur. Saat ada lontaran jawab gus Dur yang menarik untuk saya kembangkan (lagi-lagi saya lupa apa itu ), segera saya sambar untuk meminta penjelasan. Gus Dur, entah bisa melihat saya atau tidak, yang pasti, dia memandangi saya dengan lekat. Saya yang bersender di tangan sofa gus Dur, dan saat itu memakai topi, dipegang topi saya, dan di tanya
”Kamu wartawan Semarang ya ? Kamu tahu apa yang kamu tanyakan tadi ? Kamu tahu apa masalahnya ? ----- ” Tanya gus Dur sembari tangan beliau ada di bahu.
Saya, yang terus terang kurang menguasai masalah, gelagapan sejenak. Untung, saya segera menguasai diri dan berkilah , ”Itulah makanya gus, saya bertanya. Saya ingin tahu apa pendapat gus tentang itu ...... ”
Begitu selesai ucap saya, tawa terkekeh kekeh khas gus Dur segera terdengar. Dan kemudian, dengan cepat peci gus dur mendarat di kepala saya. Yang kemudian diikuti derai tawa seisi ruangan.
”Ya begini ini wartawan... begini ini aslinya, tidak tahu tapi pura-pura tahu untuk memancing kita berkomentar... hehehehehe kamu dari mana ? Kalian semua, kalau menghadapi wartawan kayak gini, hati-hati kalau menjawab. Jangan terpancing ..... hehehehehe ”
Banyak sekali kata-kata gus yang ditujukan kepada saya, yang terus terang muka saya makin lama makin memerah. Untungnya, ucapan gus itu ditutup dengan, ” ........ ndak pa pa, kamu memang boleh bertanya meski kamu sendiri tidak tahu persis permasalahannya. Memang harus begitu, biar tidak salah saat harus menuliskannya untuk pembaca. Ndak apa apa itu. Siapa namamu ? ”
Alhamdulillah, ditengah isinnya saya, ada sedikit pujian untuk itu. Kemudian, mas Agus Fathudin Yusuf, redaksi dari Suara Merdeka, yang mengambil alih dialog. Karena dia menguasai sekali permasalahannya, dialog menjadi gayeng, dan gus Dur melupakan saya, yang ngglesot di sebelahnya persis, sambil terus mengacungkan mic, sementara Sony, kameramen saya masih terkekeh kekeh, geli bin senang melihat repoternya diketawain seluruh ruangan.
Hehehehehehe, kalau tidak ingin malu, jangan pernah lupakan untuk minimal tahu permasalahan apa yang hendak kita tanyakan.
*****
DIBERI SETUMPUK BUKU UNTUK DIPELAJARI
Menjadi wartawan memang sangat diharapkan menguasai apa saja. Sebagai reporter piyek yang membantu Bos Masturi di RCTI, saat itu ada tugas dari redaksi Jakarta, untuk melakukan peliputan seputar masalah ekonomi. Yang jadi sasaran, selain dari dunia perbankan di BI juga pengusaha, pelaku bursa efek dan beberapa pengamat ekonomi lainnya. Melakukan peliputan ekonomi memang menjadi tugas yang paling berat bagi saya, setelah saya melakukan peliputan berita-berita kriminal, politik, sosial dan budaya. Kenapa ? Karena banyak istilah ekonomi, istilah perbankan, yang saya sendiri tidak menguasainya.
Nah, ini cerita saat saya melakukan wawancara dengan pejabat Bank Indonsia cabang Jateng DIY, yang kantornya saat itu masih di depan kantor Pos Semarang. Janjian jam 10.00, saya bersama Sony, sang kameramen, sudah datang jam 9.45. Setelah menunggu sekitar 15 menit, di ruang tunggu yang nyaman ber AC, datanglah sang pimpinan BI dengan disertai 4 direktur dari berbagai divisi yang ada di BI.
Blaik aku. Pasti kacau nih. Saya kan tidak begitu menguasai istilah-istilah perbankan dan dunia ekonomi. Sony yang melihat saya sedikit gugup, segera njawil dan bilang, ” ... mengalir aja dik.”
Mengalir sih mengalir, tapi kalau kelihatan bloonnya, malu juga kan. Benar juga, setelah basa-basi saling menanyakan kabar, saling tukar kartu nama dan sedikit bergurau, dialog masuk ke materi. Ketahuan deh, kalau saya tidak menguasai permasalahan. Materi yang disampaikan ternyata sangat teknis dan banyak sekali istilah perbankan dan ekonomi. Untung aku membawa tape perekam. Beberapa kali, saya meminta tolong untuk mereka menuliskan bagaimana ejaan dari istilah perbankan yang mereka sampaikan.
Karena dilihatnya, saya kurang menguasai permasalahan, pimpinan BI kemudian sekali dengan bijaksana menyetop dialog, dan berucap ....
”Gini aja mas, karena mas didik kelihatan belum begitu menguasai materi, ini kami pinjami buku-buku terkait permasalahan ekonomi saat ini. Kamu bisa pelajari dan setelah menguasai, ke sini lagi. Kita ingin ada dialog yang saling mengisi, jadi kalau mas bisa menguasai permasalahannya, pasti dialog akan bisa lebih berkembang, bagaimana mas, setuju ? ”
Entah bagaimana wajah saya ketika itu, yang pasti, malu jelas. Isin juga pasti, merah ? Jangan tanya lagi, kayak kepiting di rebus. Dan Sony, yang saya lirik hanya senyum-senyum sambil tetap asyik ngambil gambar. Diamput tenan Sony ini hehehhehe
Karena saya sendiri menyadari kekurangan saya itu, maka dengan berbesar hati, saya ambil tumpukan buku tebal-tebal yang berisi data dan banyak istilah ekonomi itu. Saya masukkan sebagian ke tas punggung, sebagian saya tenteng. Mencoba tetap gagah dan terhormat, saya pamit dan menyatakan siap melakukan wawancara 2 – 3 hari ke depan.
Sebuah rangkulan tulus ke pundak dan beberapa kali tepukan halus di punggung, mengantarkan saya dan Sony ke pintu keluar ruang pertemuan.
”Segera kontak saya ya mas! Kita siap berdiskusi lagi.... ” Begitu kata pimpinan ( maaf, saya lupa namanya ). Dan saya, sembari tersenyum kecut menyatakan, SIAP! Hehehehhe
Seorang wartawan memang harus serba tahu tapi tidak sok tahu. Seorang wartawan harus mau belajar, itu yang pasti. Minimal dia harus mau membaca, agar kejadian yang tidak mengenakkan seperti yang saya alami tidak kalian alami. Bagi saya, hal itu makin memacu saya untuk terus mengembangkan diri. Dunia wartawan memang sangat kompleks. Dan hanya wartawan yang mau belajar dan mampu mengembangkan diri , yang akan sukses. Benar tidak ?
DI SENSOR KADISPEN
Saat itu, saya masih jadi ‘piyek’nya Masturi W. Syafaat di RCTI. Pangdam saat itu masih dijabat oleh Letjen (atau Mayjen ya ?) Subagyo, dan kapuspennya Letkol ( atau Kolonel, maaf saya lupa ) Bapak Sugeng. Mungkin karena sudah terlanjur akrab ya, bapak Sugeng, selalu kalau kita minta waktu untuk wawancara dengan Pangdam, selalu disuruh menuliskan daftar pertanyaannya dulu. Saya khususnya, yang paling sering mengajukan pertanyaan, yang menurut bapak kita neko-neko, yang paling sering disuruh menuliskan dengan rinci daftar pertanyaan yang akan ditanyakan. Beliau kemudian membaca dan mencoret-coret daftar pertanyaan saya itu.
“ .... ini jangan ditanyakan ya, juga ini, ini, ini .... “ Hehehe biasanya dari 5 pertanyaan yang saya tulis, 4 diantaranya dicoret, tidak boleh ditanyakan. Tentu saya, masih punya banyak daftar pertanyaan di kepala, yang tidak semuanya saya tulis. Tapi saya sendiri dengan senang hati menuliskannya, untuk kemudian mengatakan tidak janji untuk tidak menanyakannya. Karena Bapak Sugeng ini sebenarnya baik sekali dan amat sangat peduli dengan wartawan.
Hehehe .... biasanya saya bekerjasama dengan wartawan dari media lain. Merekalah yang kemudian bertanya atas pertanyaan yang dicoret oleh Bapak Sugeng yang baik hati dan ramah itu. Hafal dengan kebiasaan saya itu, beliau kemudian kepada wartawan yang lain, menyatakan, jangan bertanya ini, itu ya .....
Tapi wartawan seperti saya ini punya sifat dasar bandel, apalagi kalau kemudian pertanyaan itu tugas dari Jakarta yang harus mendapatkan jawab dari Pangdam. Bagaimanapun caranya, Pangdam harus mengeluarkan statement itu tekad saya.
Nah, suatu ketika, saya dengan kameramen Sony, dan beberapa wartawan lainnya, melakukan wawancara dengan Pangdam di dekat lapangan upacara. Kadispen, bapak Sugeng, sejak awal sudah mencoret beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan. Tapi karena itu merupakan pertanyaan penting dari bos Masturi, yang harus mendapatkan jawaban, maka bagaimanapun caranya, saya harus berhasil mendapatkan jawabannya.
Indera ke 6 bapak Sugeng rupanya tahu, kalau saya dan teman-teman yang lain akan nekat bertanya yang aneh-aneh. Beliau saat ini menempatkan diri di sebelah saya, sementara Sony, kameramen saya yang tinggi besar di belakang saya dengan kamera persis di atas kepala. Saya lirik, pak Sugeng terus mengawasi saya, kakinya yang bersepatu boot tentara, mepet persis dengan kaki saya yang mengenakan sepatu kets tipis. Waduh... blaik ini, permainan kaki pasti akan terjadi. Hhehehe saya, sering mengalaminya saat harus melaku
kan wawancara dengan walikota Sukawi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis. Kaki saya diinjak oleh petugas Humas, itu yang sering terjadi. Sakit tentu saja.
Membayangkan akan diinjak oleh sepatu boot tentara yang berat, pasti sakit. Saya njawil pinggang Sony, dan dengan cepat bergeser lebih ke dalam, sementara Sony maju dan menempatkan diri persis di sebelah Bapak Kadispen. Beliau yang kemudian sadar, segera menggeser ke belakang Sony dan mepet saya dari belakang dengan menempatkan kakinya kembali persis di dekat sepatu saya. Saya yang tahu gelagat, segera kembali di depan Sony, sementara Sony mundur kembali. Hehehe saya sendiri, kalau ingat hal itu suka senyum sendiri, kayak anak kecil main jethungan. Padahal saat itu, teman-teman yang lain sedang asyik berdialog dengan Pangdam.
Polah saya yang maju mundur, menghindari sepatu bapak Kadispen, rupanya terlihat juga oleh Pangdam.
“ Kalian lagi ngapain sih.... dari tadi kok usrek saja.... “ Demikian tanya Pangdam.
Dan saya hanya bisa nyengir, tanpa bisa menjawab. Sementara bapak Sugeng, hanya bisa menjawab, “ Siap Jendral ! ... “ sembari mendelik kepada saya.
Hehehehe yang pasti setelah itu, saya berhasil mendapatkan jawab atas pertanyaan yang sangat krusial itu. Sementara pulangnya, setelah di briefing singkat di ruangan Kadispen, diberi oleh-oleh :
“Besok lagi jangan diulangi lagi ya.... “
Ah, betapa kangennya bertemu dengan Kadispen yang baik dan semanak itu. Sekarang beliau tugas di mana ya ?
*****
DIMARAHI SOPHIA LATJUBA
DAN INDRA LESMANA
Ini ceritanya, saya masih bekerja sebagai wartawan di Harian Kartika. Saya waktu itu mendapatkan tugas meliput acara pementasan banyak artis di lantai 7 Matahari Simpang lima Semarang. Salah satu artisnya adalah suami istri Indra Lesmana, yang waktu itu masih beristrikan Sophia Latjuba. Bersama dengan beberapa wartawan hiburan dari beberapa media, saya melakukan wawancara dengan beberapa artis di ruang ganti.
Saya, setelah merasa cukup dengan artis yang lain, kemudian menuju ke pasangan suami istri, yang saat itu lagi mesra-mesranya. Pertanyaan lantas menjadi obrolan, karena Indra dan Sophia sendiri orangnya sangat ramah. Namun, tatkala dengan santun, saya menanyakan, kemampuan bernyanyi Sophia, dan aji mumpung nya ? Meledaklah emosi si Indra ?
”Anda dari media apa ? Pertanyaan anda sudah menghakimi, saya tersinggung! Bukan begitu cara bertanya yang baik. Kalau vokal Sophia hanya polesan dan di mix di studio, tidak mungkin dia akan berani tampil live seperti saat ini ......... ”
Saya diamkan si Indra meluapkan emosinya, sampai kemudian berhenti sendiri, sementara saya tetap mengacungkan tape kecil untuk merekam semua amarahnya itu. Saya tatap matanya yang penuh emosi itu dengan tatapan sewajarnya saja. Setelah semua uneg-unegnya selesai ditumpahkan semua, saya dengan santai bilang :
”Pertanyaan saya itu merupakan pertanyaan titipan dari para penggemar kalian lho. Jawablah dengan jujur, kalau memang Sophia bisa bernyanyi live dengan baik, sebaik yang ada di dalam kaset, kamilah nanti yang akan menuliskannya untuk penggemar kalian. Tidak perlu marah begitu, oke ? Menurut mbak Sophia sendiri bagaimana ? ”
Sophia Latjuba yang sangat cantik, putih dan harum itu, semula dahinya sudah berkerut. Matanya juga terlihat ada bara api. Tapi begitu mendengar alasan saya, kelihatan sekali dia mencoba meredam emosinya. Pipi putihnya yang awalnya merah, berangsur-angsur putih kembali. Matanya kembali teduh dan bersinar lembut. Sophia memang cantik.
”Pertanyaan kamu tadi memang sangat mengejutkan mas. Baru kali ini ada wartawan yang berani bertanya seperti itu. Tapi okelah, masyarakat memang harus tahu, kalau saya sebenarnya bisa bernyanyi. Tidak amat bagus memang, ya lumayanlah, yang pasti tidak fals. .....”
Sophia mengatakan semuanya itu dengan memegang tangan Indra, yang kelihatan masih emosi. Dan teman-teman wartawan yang kemudian datang, karena mendengar suara keras Indra Lesmana, malah tertarik atas jawab dari pertanyaan saya itu. Dan wajah cantik Sophia lantas menjadi sasaran kamera teman-teman. Semu merah pipinya yang masih menyimpan emosi, makin membuatnya bak bidadari. AH, betatapun kamu, Sophia memang cantik he he he
Akhir cerita, penampilan mereka berdua ternyata benar-benar tidak mengecewakan. Sophia berhasil mengimbangi musikalitas Indra yang tanpa batas. Vokalnya juga tidak fals amat, meski kalau mau jujur, juga tidak terlalu kuat. Vokal seadanya itu berhasil dibungkus oleh musik dan syair yang kuat. Itu saja.
*****
DIPUKUL GUS DUR DENGAN PECI
Seorang wartawan itu harus tahu dan menguasai materi. Kalau tidak, tanggung sendiri akibatnya. Hehehehe hal itu saya alami, saat dalam satu kesempatan mewawancarai gus Dur, yang saat itu masih menjabat sebagai presiden. Dan saya saat itu masih menjadi piyeknya Masturi W. Syafaat, di RCTI.
Saat itu gus Dur mampir ke Semarang, tepatnya istirahat di Masjid Baiturahman, sebelum menuju ke Demak, untuk menghadiri acara PBNU. Dari bos Maturi, saya dapat tugas untuk mewawancari gus Dur terkait suatu permasalahan ( maaf, saya lupa apa pastinya). Protokoler di seputar gus Dur yang longgar, membuat banyak teman wartawan termasuk saya bisa bebas mendekati gus Dur. Saat itu gus Dur yang didampingi banyak kyai sepuh dan beberapa menteri, sedang istirahat di salah ruang di kantor masjid. Setelah minta ijin, kami kemudian mendekati gus Dur dan memohon kesediaan beliau untuk sedikit wawancara. Alhamdulillah bersedia.
Saya waktu itu, yang paling dekat dengan gus Dur, yang duduk di sofa. Berbagai pertanyaan mengalir, disertai dengan sendau gurau khas gus Dur. Saat ada lontaran jawab gus Dur yang menarik untuk saya kembangkan (lagi-lagi saya lupa apa itu ), segera saya sambar untuk meminta penjelasan. Gus Dur, entah bisa melihat saya atau tidak, yang pasti, dia memandangi saya dengan lekat. Saya yang bersender di tangan sofa gus Dur, dan saat itu memakai topi, dipegang topi saya, dan di tanya
”Kamu wartawan Semarang ya ? Kamu tahu apa yang kamu tanyakan tadi ? Kamu tahu apa masalahnya ? ----- ” Tanya gus Dur sembari tangan beliau ada di bahu.
Saya, yang terus terang kurang menguasai masalah, gelagapan sejenak. Untung, saya segera menguasai diri dan berkilah , ”Itulah makanya gus, saya bertanya. Saya ingin tahu apa pendapat gus tentang itu ...... ”
Begitu selesai ucap saya, tawa terkekeh kekeh khas gus Dur segera terdengar. Dan kemudian, dengan cepat peci gus dur mendarat di kepala saya. Yang kemudian diikuti derai tawa seisi ruangan.
”Ya begini ini wartawan... begini ini aslinya, tidak tahu tapi pura-pura tahu untuk memancing kita berkomentar... hehehehehe kamu dari mana ? Kalian semua, kalau menghadapi wartawan kayak gini, hati-hati kalau menjawab. Jangan terpancing ..... hehehehehe ”
Banyak sekali kata-kata gus yang ditujukan kepada saya, yang terus terang muka saya makin lama makin memerah. Untungnya, ucapan gus itu ditutup dengan, ” ........ ndak pa pa, kamu memang boleh bertanya meski kamu sendiri tidak tahu persis permasalahannya. Memang harus begitu, biar tidak salah saat harus menuliskannya untuk pembaca. Ndak apa apa itu. Siapa namamu ? ”
Alhamdulillah, ditengah isinnya saya, ada sedikit pujian untuk itu. Kemudian, mas Agus Fathudin Yusuf, redaksi dari Suara Merdeka, yang mengambil alih dialog. Karena dia menguasai sekali permasalahannya, dialog menjadi gayeng, dan gus Dur melupakan saya, yang ngglesot di sebelahnya persis, sambil terus mengacungkan mic, sementara Sony, kameramen saya masih terkekeh kekeh, geli bin senang melihat repoternya diketawain seluruh ruangan.
Hehehehehehe, kalau tidak ingin malu, jangan pernah lupakan untuk minimal tahu permasalahan apa yang hendak kita tanyakan.
*****
DIBERI SETUMPUK BUKU UNTUK DIPELAJARI
Menjadi wartawan memang sangat diharapkan menguasai apa saja. Sebagai reporter piyek yang membantu Bos Masturi di RCTI, saat itu ada tugas dari redaksi Jakarta, untuk melakukan peliputan seputar masalah ekonomi. Yang jadi sasaran, selain dari dunia perbankan di BI juga pengusaha, pelaku bursa efek dan beberapa pengamat ekonomi lainnya. Melakukan peliputan ekonomi memang menjadi tugas yang paling berat bagi saya, setelah saya melakukan peliputan berita-berita kriminal, politik, sosial dan budaya. Kenapa ? Karena banyak istilah ekonomi, istilah perbankan, yang saya sendiri tidak menguasainya.
Nah, ini cerita saat saya melakukan wawancara dengan pejabat Bank Indonsia cabang Jateng DIY, yang kantornya saat itu masih di depan kantor Pos Semarang. Janjian jam 10.00, saya bersama Sony, sang kameramen, sudah datang jam 9.45. Setelah menunggu sekitar 15 menit, di ruang tunggu yang nyaman ber AC, datanglah sang pimpinan BI dengan disertai 4 direktur dari berbagai divisi yang ada di BI.
Blaik aku. Pasti kacau nih. Saya kan tidak begitu menguasai istilah-istilah perbankan dan dunia ekonomi. Sony yang melihat saya sedikit gugup, segera njawil dan bilang, ” ... mengalir aja dik.”
Mengalir sih mengalir, tapi kalau kelihatan bloonnya, malu juga kan. Benar juga, setelah basa-basi saling menanyakan kabar, saling tukar kartu nama dan sedikit bergurau, dialog masuk ke materi. Ketahuan deh, kalau saya tidak menguasai permasalahan. Materi yang disampaikan ternyata sangat teknis dan banyak sekali istilah perbankan dan ekonomi. Untung aku membawa tape perekam. Beberapa kali, saya meminta tolong untuk mereka menuliskan bagaimana ejaan dari istilah perbankan yang mereka sampaikan.
Karena dilihatnya, saya kurang menguasai permasalahan, pimpinan BI kemudian sekali dengan bijaksana menyetop dialog, dan berucap ....
”Gini aja mas, karena mas didik kelihatan belum begitu menguasai materi, ini kami pinjami buku-buku terkait permasalahan ekonomi saat ini. Kamu bisa pelajari dan setelah menguasai, ke sini lagi. Kita ingin ada dialog yang saling mengisi, jadi kalau mas bisa menguasai permasalahannya, pasti dialog akan bisa lebih berkembang, bagaimana mas, setuju ? ”
Entah bagaimana wajah saya ketika itu, yang pasti, malu jelas. Isin juga pasti, merah ? Jangan tanya lagi, kayak kepiting di rebus. Dan Sony, yang saya lirik hanya senyum-senyum sambil tetap asyik ngambil gambar. Diamput tenan Sony ini hehehhehe
Karena saya sendiri menyadari kekurangan saya itu, maka dengan berbesar hati, saya ambil tumpukan buku tebal-tebal yang berisi data dan banyak istilah ekonomi itu. Saya masukkan sebagian ke tas punggung, sebagian saya tenteng. Mencoba tetap gagah dan terhormat, saya pamit dan menyatakan siap melakukan wawancara 2 – 3 hari ke depan.
Sebuah rangkulan tulus ke pundak dan beberapa kali tepukan halus di punggung, mengantarkan saya dan Sony ke pintu keluar ruang pertemuan.
”Segera kontak saya ya mas! Kita siap berdiskusi lagi.... ” Begitu kata pimpinan ( maaf, saya lupa namanya ). Dan saya, sembari tersenyum kecut menyatakan, SIAP! Hehehehhe
Seorang wartawan memang harus serba tahu tapi tidak sok tahu. Seorang wartawan harus mau belajar, itu yang pasti. Minimal dia harus mau membaca, agar kejadian yang tidak mengenakkan seperti yang saya alami tidak kalian alami. Bagi saya, hal itu makin memacu saya untuk terus mengembangkan diri. Dunia wartawan memang sangat kompleks. Dan hanya wartawan yang mau belajar dan mampu mengembangkan diri , yang akan sukses. Benar tidak ?