Muhdi SHMH, Rektor IKIP PGRI Semarang |
KALAU MANFAATNYA
LEBIH BESAR KENAPA TIDAK
”Terus terang, kita dari
kalangan pendidik sempat dibuat tidak mengerti saat pemerintah melekatkan
masalah kebudayaan di Dinas Pariwisata. Apa kaitannya ? Dinas Pariwisata kan
hanya ngurusi budaya dari sisi fisik. Mereka kan hanya ngurusi hotel, panti
pijat, bangunan cagar budaya dan lainnya yang semuanya hanya fisik. Lantas di
mana rohnya ? Bagaimana dengan pendidikannya ? Budaya kan juga ada di seninya,
musik maupun tari ? Bagaimana dengan karakter dan budi pekerti halus dan luhur
yang melekat pada anak didik yang belajar menari, mendalami gamelan dan banyak
kegiatan kebudayaan lainnya ? Pasti ada yang salah kaprah, saat kebudayaan
dilekatkan di dinas pariwisata,” ungkap H. Sakbani SPd MH, pendidik dan
bendahara PGRI Jawa Tengah.
Bunyamin,Kadiknas Semarang |
Sehingga saat pemerintah
mengembalikan kebudayaan ke induk semangnya, di
kementrian pendidikan nasional, menurut Sakbani, itu yang tepat.
”Pariwisata kan hanya mengambil barang yang sudah jadi. Padahal kebudayaan dalam tataran yang lebih
luas, terkait juga pada pelatihan dan pendidikan. Jadi ada kontradiksi yang
besar, saat kebudayaan melekat di dinas pariwisata. Kenapa pemerintah baru
sadarnya sekarang, setelah anak bangsa dituduh dan dituding sudah kehilangan
karakter dan sikap sifat baiknya.”
Ungkap Sakbani lebih lanjut.
Kuntarno,Mantan Kasek SMP Demak |
Ka PGRI Jateng, Subagyo Brotosejati |
”Hanya, Kemendiknas
pimpinan M. Nuh ini kelihatannya sudah ancang-ancang, buktinya ada wakil
menteri dua yang tugasnya ngurusi kebudayaan. Sementara wakil menteri satu,
ngurusi pendidikan. Terus terang, kita dikalangan pendidik menanti juklak dan
juknisnya terkait kembali menyatunya kebudayaan dan pendidikan. Semoga
kebijakan itu tidak seumuran jagung. Semoga kebijakan ini telah digodok dengan
sungguh-sungguh dan benar sehingga nerupakan
hasil finalnya. Sebab kita takut, akan ada kebijakan susulan yang
kembali memberangus olah kreatifi guru dan anak didik di kegiatan budaya,” jelas
ketua PGRI yang masih tetap menjadi pendidik di usianya yang sudah sepuh itu.
Nomenklatur berubah,
tidak masalah
Wakil menteri pendidikan 2, menurut Subagyo, sangat
diharapkan mau dana mampu menggerakkan segenap potensi pendidik di semua lini,
agar lewat pendidikan dan pelatihan di banyak kegiatan budaya, sikap sifat
halus, budi pekerti dan karakter baik anak didik bisa kembali
ditumbuhkembangkan.
Wamen II punya tugas
khusus terkait karakter bulding, pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan.
”Kita lihat saja kinerja dan kiprahnya selama 3 bulan kebelakang. Sebagai
pejabat baru, mereka masih harus adaptasi dan mengenal wilayah kerjanya.
Pemikiran dan terobosannya kita butuhkan agar ada percepatan pencapaian
pendidikan nasional. Dan semua yang dikhawatirkan atas keberadaan anak didik
bisa diminimalisir dan atau bahkan dihilangkan. Yang pasti, kebudayaan itu
harus melekat di pendidikan.” Ungkap Subagyo.
Sementara itu Kunarto,
pensiunan mantan kasek sebuah SMP di Demak melihat tidak konsistennya pemerintah
saat melepas kebudayaan dari Kemendiknas dan melekatkan di dinas pariwisata.
”Apa ngurusi anak didik yang belajar menari, seni suara, melukis dan lainnya
akan juga disamakan dengan dinas pariwisata ngurusi gadis-gadis pemijat di
panti mijat, atau resepsionis di banyak hotel berbintang ? Kebijakan itu jelas sangat kontradiktif.
Saya sebagai pendidik, juga semua pendidik lainnya, sangat menyesalkan
kebijakan itu. Untungnya, pemerintah berpikiran waras sekarang, sehingga
mengembalikan kebudayaan ke khitohnya,” ungkap Kunarto.
Terkait perubahan dari
sisi nomenklaturnya, baik Sakbani, Subagyo maupun Kunarto melihatnya itu bukan
masalah. ”Kalau memang manfaat yang bisa diambil kalangan dunia pendidikan
lebih besar, perubahan nomenklatur itu tidak akan menjadi persoalan. Pembuatan
logo di kertas surat, amplon\p, stempel dan papan nama sekolah, itu masalah
kecil. Manfaat yang bisa dipetik dunia pendidikan, saya kira lebih besar
dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan sekolah untuk mengganti nomenklatur
itu,” ungkap Sakbani.
Sedangkan ketua PGRI,
Subagyo melihat perubahan nomenklatur itu idealnya ditanggung pihak pemda kota
dan atau kabupaten. ”Minimal, lewat diknas kabupaten / kota, papan mana semua
sekolah negeri dibantu pembuatannya. Dan itu menurut saya tidak besar biayanya.
Kita semua berharap ada segera juklak dan juknis terkait perubahan itu, ”
ungkap Subagyo.
”Pemerintah jangan tambal
sulam, jangan menjadikan dunia pendidikan sebagai arena uji coba kebijakan demi
popularitas dan pencitraan semata. Yang pasti, kebijakan yang bagus itu jangan
hanya seumuran jagung. Dunia pendidikan berharap banyak dengan kebijakan itu, ”
ungkap Kuntarno.
Lantas ?
Rektor IKIP PGRI, Muhdi mengatakan, wakil menteri 2 bidang kebudayaan di
Kemendiknas, jangan terkooptasi dan terbawa arus besar yang sudah membatu di
kantornya yang baru. Dia harus mampu mencari terobosan, mendapatkan ide kreatif
dan inovatif, agar banyak kegiatan
kebudayaan bisa segera diimplementasikan di semua sekolahan dengan suasana yang
baru dan segar.
”Kegiatan
kebudayaana harus bisa dikemas dalam porsi yang tidak membosankan. Pendidik
yang mampu mengembangkan kreatifitas dan inovatif dalam proses pendidikannya
atas banyak kegiatan kebudayaan, harus mendapatkan reward. Diknas di kabupaten
/ kota harus sering terjun ke sekolah-sekolah untuk memantau dan memberikan
arahan terkait pelaksanaan kegiatan kebudayaan. Semua itu penting, agar sekolah
tidak merasa seperti dilepas begitu saja, setelah dituntut untuk mematuhi semua
kebijakan dari atas,” ungkap Muhdi lebih lanjut.
Seperti Sakbani, Muhdi melihat, melekatnya
kebudayaan di dinas pariwisata di masa lalu, sempat membuatnya cemas. Sebab,
dinas pariwisata itu hanya mengambil yang sudah jadi. Penari, yang diambil juga
penari yang sudah jadi. Demikian juga dengan penyanyi dan lainnya. Pendidikannya
untuk menghasilkan penari yang mumpuni itu sama sekali tidak terpikirkan. Lha, bagaimana
dengan regerasinya ? Bagaimana dengan kesinambungan jumlah penari nantinya ? Untung
semuanya akhirnya dikembalikan kepada khitohnya.
Dari kalangan sekolah bagaimana ? Endang
Susilowati SPd Meng, wakasek bidang humas SMAN Semarang melihat kebudayaan
idealnya memang harus melekat di dunia pendidikan. Karena, di dalam banyak
kegiatan kebudayaan harus dilakukan pelatihan dan pendidikan. Selain itu,
kebudayaan pada tataran warisan leluhur lebih banyak pada pelakon bukan fisik
seperti candi borobudur, hotel dan lainnya. Untuk itu harus ada pendidikan di
sana. ”Sementara terkait perubahan nomenklatur, saya kira tidak akan menjadi
masalah. Dana yang dibutuhkan juga tidak sebanding dengan manfaat yang dapat
diambil oleh anak didik. Jadi, sudah benar Kemendiknas mendapatkan kembali
kebudayaan.” Ungkap Endang lebih lanjut.
Hanya sekali lagi, Sakbani dan Subagyo berharap,
kebijakan itu jangan hanya kebijakan sekilas, kebijakan orang ngelindur
kemudian bangun dari tidurnya, yang setelah orang itu sudah benar-benar sadar
dari bangun tidurnya, diganti lagi dengan kebijakan yang baru.
”Jangan jadikan dunia pendidikan sebagai kelinci
percobaan sebuah kebijakan yang tidak populis di mata kalangan dunia
pendidikan. Kemendiknas harus mempunyai program jangka panjang dan menengah
yang komprehensif, sehingga ada arah dan tujuan yang pasti bagi kalangan dunia
pendidikan ke mana moda pembelajarannya diarahkan. Visi misi Kemendiknas harus
jelas dan pasti, tidak rancu dan multi tafsir, agar pendidik bisa bekerja
dengan baik dan efisien. Yang pasti, jangan copot lagi kebudayaan di dunia
pendidikan. Biarkan dia melekat dan memberikan manfaat pada anak didik,” ungkap
Sakbani jelas dan tegas. (dmr)