MENUNGGU PAYUNG HUKUM
UNTUK ACTIONYA
Bunyamin, Kadiknas kota Semarang |
Harapan yang membuncah agar dunia
pendidikan Indonesia
mempunyai GBHP ( garis besar haluan pendidikan ) yang selama lima tahun ke depan secara komprehensif
memaksimalkan pencapaian standart mutu pendidikan, sepertinya jauh panggang
dari api. Dunia pendidikan Indonesia,
harus punya panduan dan arahan yang jelas dan menyeluruh, yang melibatkan semua
potensi anak bangsa, agar standart ideal atas kualitas anak didik yang dikejar
kabinet Kemendiknas yang dipimpin M. NUh, bisa segera dicapai. Visi misi atas
kebijakan itu sendiri, harus melalui penelitian, harus melalui studi empiris
banyak masalah yang muncul, sehingga kebijakan itu benar-benar populis dan
dibutuhkan oleh dunia pendidikan. Tidak kebijakan yang hanya sekedar ingin
dianggap bahwa para petinggi di Kemendiknas mempunyai pemikiran baru yang
briliyan.
Kenyataan di lapangan bagaimana ? Ternyata
masih tetap jauh panggang dari api. Betapa tidak, perubahan kepemimpinan, suksesi
para petinggi yang kebanyakan diatur oleh kepentingan politis, selalu saja
membuahkan kebijakan yang menganulir kebijakan sebelumnya.
Resavel kabinet SBY belum lama ini
misalnya, memunculkan kebijakan yang meski memunculkan tanda tanya besar, akan
tetapi oleh sebagian besar orang yang berkecimpungan di dunia pendidikan,
dianggap kebijakan yang paling waras ( meminjam istilah presiden SBY belum lama
ini ) dari kabinet SBY kali ini. Benar, kebijakan mengembalikan kebudayaan ke
khitohnya, melekat di dunia pendidikan, adalah kebijakan yang disambut bahagia,
meski untuk itu ada konsekuensi merubah nomenklatur yang sudah lama dipakai.
“Memang sudah seharusnya
demikian mas. Kita di Diknas Kota Semarang menyambut baik kembalinya anak
hilang ke pangkuan ibunya itu. Karena pendidikan itukan perubahan kebudayaan,
jadi sudah semestinya kebudayaan melekat dengan pendidikan. Kalau kemudian
kebudayaan dilihat dari sisi investasi untuk peningkatan PAD, itukan masuk
dalam ranah ekonomi kreatif. Jadi, keputusan pemerintah kemarin sudah pas. Kebudayaan
dikembalikan ke Diknas, sementara Dinas Pariwisata diberi beban mengasuh dan
membesarkan ekonomi kreatif itu. Sudah klop itu,” demikian kata Bunyamin,
Kadiknas Kota Semarang kepada wartawan Merput.
Hanya, menurut Bunyamin,
pihaknya masih harus menunggu Peraturan Pemerintah sebagai juklak juknis
penerapan dan pelaksanaannya. ”Setelah PP muncul, kita masih harus menunggu
peraturan gubernur. Dari pergub itu, oleh bupati walikota di kabupaten kota,
akan dibahas di perubahan Perda SOTK. Apa yang kemudian menjadi kebijakan di
Perda itulah, yang kemudian akan dilaksanakan oleh Diknas. Tanpa ada payung
hukumnya, kita tidak akan berani melangkah. Tapi yang pasti, kita menyambut
baik kembalinya kebudayaan ke dinas pendidikan, ” jelas Kadiknas yang selalu terbuka
dengan wartawan itu.
Kelinci percobaan
Kembalinya si anak
hilang ke pangkuan ibunya, mendapatkan sambutan positif kalangan dunia
pendidikan. Begitulah memang seharusnya. Karena menurut Kadiknas, proses
perubahan suatu bangsa, juga merupakan peristiwa budaya. Dan itu menjadi satu
sinergi dengan dunia pendidikan. Sehingga adalah hal yang wajar kalau kemudian
anak didik mendapatkan pembelajaran dan pendidikan banyak kegiatan budaya demi
mempercepat proses perubahan suatu bangsa menuju ke arah yang lebih baik, lebih
berkualitas dan lebih bermartabat.
Hanya, karena seringnya
pemerintah dalam hal ini Kemendiknas,
menelorkan banyak kebijakan yang mendadak, terkadang kontradiktif dan tidak
populis, maka sinyalemen bahwa sekolah dalam hal ini anak didik, dijadikan
kelinci percobaan atas kebijakan itu menjadi mengemuka.
”Bagaimana tidak, coba
kita ingat alasan pemerintah melekatkan kebudayaan di dinas pariwisata, kan
begitu tinggi mengusung idealisme yang bahkan sepertinya tidak membumi.
Padahal, kalangan dunia pendidikan, diam-diam menyayangkannya. Karena saat
kebudayaan itu sudah masuk ke ranah dinas pariwisata, maka kebudayaan itu sudah
harus dijadikan ekonomi kreatif yang mau tidak mau harus menghasilkan dana. Harus ada pemasukan untuk
menunjang pendapatan asli daerah (PAD). ” Demikian ungkap Kuntarno, pensiunan
Kasek sebuah SMP di Demak.
Padahal, menurut KH M.
Tauhid, pendidik dan pengelola sebuah
pondok pesantren, ruang lingkup kebudayaan juga menyangkut sisi sisi
kemanusian, sisi-sisi peradaban dan kualitas hidup dan keimanan manusia, yang
dalam hal ini anak didik. ”Sehingga, saat kebudayaan itu sendiri ansich diletakkan pada posisi harus
mampu memberikan pemasukan dana, maka yang jadi taruhannya adalah karakter,
budi pekerti dan sikap sifat luhur generani mudanya. Karena, pengelolaan dan
pemberdayaan kebudayaan di dinas pariwisata lebih berorientasi pada hasil,
bukan pada prosesnya. Bagaimana mengelola hotel, panti pijat, bangunan
bersejarah, restoran dan lainnya, sehingga bisa menghasilkan, itulah kebudayaan
di dinas pariwisata. Terkait pembelajaran, pelatihan dan pendidikan
membudayakan manusia, sama sekali tidak tersentuh. Paling mereka hanya masuk ke
wilayah pembinaan pelaku budaya seperti seniman modern dan tradisional dan
banyak pergelaran budaya.” Ungkap KH M. Tauhid lebih lanjut.
Jadi ?
Sakbani, pendidik dan bendahara PGRI Jawa Tengah melihat, pemerintah belum
mempunyai kejelasan terkait kebijakan yang komprehensif di dunia pendidikan.
Semuanya masih uji coba, masih trial dan
error. Kalau kebijakan itu baik dan berdampak positif akan diteruskan, tapi
kalau memunculkan masalah dan mendapatkan tentangan, diganti.
”Banyak orang hebat memang
tidak menjamin akan memunculkan kebijakan yang hebat, baik dan bermartabat
serta bermanfaat bagi anak didik. Bahkan ada kecenderungan, orang hebat itu
memunculkan ide, usulan, konsep dan pemikiran agar dijadikan kebijakan untuk
menjaga kehebatannya itu, tanpa mensinkronkan, menyelaraskan dengan kebijakan
sebelumnya. Makin kontradiktif, makin tidak populis, makin bertentangan dengan
kebijakan terdahulu, semakin dinilai hebat kebijakan itu. Sebuah langkah
terobosan ? Yang mumet bin bingung ya pihak pengelola dan pelaksana di dunia
pendidikan. Ganti menteri ganti kebijakan, semestinya kalau memang masih mau dianggap
waras, tidak usah dilakukan oleh siapapun di Kemendiknas, ” demikian runtuk
Supardi, orang tua yang dua anak didiknya masih sekolah di sebuah sekolah dasar
negeri di Ungaran.
Jangan jadikan anak didik
kelinci percobaan. Jangan jadikan anak didik obyek untuk sebuah pencitraan. Jangan
paksa dunia pendidikan menerima sebuah kebijakan yang dibuat tanpa riset, tanpa
penelitian mendalam atas sebuah permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan.
Para orang hebat di Kemendiknas, rem ego kalian sedikit saja, dan kompromikan
dengan kebutuhan dan kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan di lapangan.
Jangan membuat sebuah kebijakan hanya berdasar hitung-hitungan di atas kertas.
Itu sama saja menyuruh pendidik meniti jembatan sirotol mustakim, yang penuh
halangan dan rintangan agar bisa melewatinya.
Payung hukum
Terkait perubahan numenklatur yang mengiringi masuknya
kebudayaan di dunia pendidikan, Kadiknas Kota Semarang, Bunyamin, menyatakan
siap menanggungnya apabila ada payung hukumnya.
”Kita sendiri siap melaksanakan
perubahan itu, minimal di sekolah negeri. Tapi semuanya itu harus menunggu
payung hukumnya. Harus ada pembahasan terkait perubahan perda SOTK di kota
Semarang. Kalau kemudian perda itu
mengamanatkan diknas untuk menanggung biaya perubahan nomenklatur, baik di
sekolah negeri maupun swasta, maka kita akan siap. Tanpa payung hukum itu,
kita tidak akan pernah berani bergerak, ” demikian ungkap Kadiknas yang semanah
itu.
Lantas ?
Menjadi harapan dan idaman semua pendidik, Kemendiknas memunculkan program
kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang komprehensif dengan
capaian target yang jelas dan terukur. Kebijakan itu setidaknya bisa tertuang
dalam sebuah GBHN, dengan tahapan-tahapan pencapaian yang pasti dengan
parameter yang jelas.
”Menjadi sebuah kerinduan
mas, dunia pendidikan kita bisa kembali seperti dulu, di mana untuk sebuah buku
paket bisa diturunkan dari kakak ke adiknya. Dunia pendidikan setidaknya bisa
dibikin murah tapi tetap dengan mutu yang tinggi. Tidak seperti sekarang, setiap
masa tahun ajaran baru, orang tua harus merogoh kocek dalam sekali hanya untuk
pemenuhan buku-buku pelajarananya. Dunia pendidikan sekarang sudah sepenuhnya
masuk ke wilayah kapitalisme. Semuanya diukur dengan duit, sehingga orang tua
yang harus membayar mahal itu, memakai segala cara agar anaknya bisa secepatnya
lulus dan meninggalkan sekolah berbiaya mahal itu. akibatnya, anak sama sekali
tidak mempunyai waktu untuk bersosialiasi. Pendidikan dan pembelajaran yang
terkait pembentukan karakter, budi pekerti luhur dan lainnya dikesampingkan,
dinomerduakan. Yang dikejar adalah prestasi akademik, sementara akidah dan
karakter anak, nanti dulu. ” Ungkap Kuntarno panjang lebar.
Jadi, jangan salahkan anak
didik kalau ada yang kemudian tidak hafal dengan Pancasila. Tidak tahu nama
Walikota dan Gubernurnya. Tidak paham ada berapa propinsi negeri kita
sekarang. Jangan tuntut anak didik hafal
segala macam hari besar nasional, nama para pahlawan dan atau lagu-lagu wajib
nasional.
”Jangan salahkan kalau ada
anak didik yang tidak tahu siapa wakil presiden kita saat ini, karena
hari-harinya dihabiskan dan disibukkan dengan sekolah, kemudian les dan les
lagi. Pagi sampai siang sekolah. Dilanjutkan les sampai menjelang maghrib.
Pulang ke rumah sekolah capai, belajar lagi dan tidur, untuk kemudian besoknya
sekolah lagi, begitu seterusnya setiap hari. Anak menjadi individualis, itu
salah salah satu eksesnya. Kesempatan untuk bergaul dengan lingkungan sama
sekali tidak ada. Padahal bergaul, berkomunikasi dengan lingkungan adalah salah
satu cara yang paling efektif untuk melatih dan membentuk anak mengenal mana
yang boleh dan tidak boleh, mana yang jelek dan baik , mana yang halal dan
haram. ” Ungkap ketua PGRI Jateng, Subagyo Brotosejati.
Segera diundangkan
peraturan pemerintah atas masuknya kebudayaan di Kemendiknas, itu yang ditunggu
semua pelaku di dunia pendidikan. Jangan terlalu lama, agar harapan yang
membuncah dengan kebijakan itu tidak seperti menunggu godot. Diknas Kota Semarang sendiri siap mengawal dan
melaksanakan kebijakan itu. Semuanya hanya tinggal menunggu payung hukumnya.
Hanya yang menjadi pertanyaan, kapan ? ( dmr )