DARI AKTIFIS KAMPUS
MENJADI PENJAGA MORAL ANAK NEGERI
Budi Sudaryanto SE MT,
ketua KPID Jawa Tengah, siapa orang di dunia siaran yang tidak kenal beliau.
Mantan aktifis mahasiswa di jaman ramai-ramainya NKK BKK di era orde baru ini,
dikenal tegas dalam menjaga semua siaran sehat dan bermartabat. Selalu berada
di garis paling depan dalam melaksanakan aksi demo pada tahun 84 – 85 lalu, karena posisinya sebagai
ketua Senat Mahasiswa Ekonomi Undip, sosok yang juga akrab dipanggil pak Wes
ini, sudah merasakan kenyang berhadapan dengan aparat dengan berbagai
perilakunya.
Sekarang, mantan aktifis
itu tidak lagi harus berdiri paling depan dalam memperjuangkan hajat hidup
orang banyak. Dia sekarang, bersama jajarannya di KPID Jawa Tengah, terus
berjuang dan berjuang menjaga moralitas dan budi pekerti luhur anak negeri dari
gempuran budaya barat yang tidak baik yang diancamkan lewat lembaga penyiaran.
Ya, dia memimpin lembaga yang mengawasi isi dan materi acara yang ditayangkan
setiap hari lewat radio dan televisi.
Mau tahu serunya pak Wes
menceritakan pengalamannya menjaga moralitas anak negeri selama dia bertugas di
KPID ? Simak wawancara rekan kalian .............. berikut ini. Oke ?
****
KPID itu
apa sih bapak ? Terus tugas, dan visi misinya apa ? Apa kita juga bisa melaporkan acara-acara tv dan iklan
radio yang kurang pas menurut kami ?
KPID itu singkatan Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah. KPI sendiri merupakan representasi atau mewakili
publik dalam bidang penyiaran. Dulu penyiaran anggapan publik adalah karena
menggunakan spektrum frekuensi bisa dikirim dari studio ke penerima menggunakan
gelombang elektro magnetik yang disebut spektrum elektromagnetik. Karena
spektrum barang yang langka maka seperti pasal 33 UUD 45 itu adalah kekayaan
negara yang dimiliki pemerintah. Karena dimiliki pemerintah maka akan digunakan
untuk memakmurkan bangsa dan negera. Kalau ada publik yang menggunakan
frekuensi itu maka digunakan peraturan atau undang undang 32 tahun 2002 tentang
penyiaran. Disitu diatur tentang penggunaan frekuensi, proses perijinannya dan
pengawasan isi dan manajemen pengaturan industri dan seterusnya.
Publik hanya menerima
limpahan frekuensi itu, contohnya jaman dulu frekuensi untuk radio yang
mengatur pemerintah, yang meminta ijin publik kepada pemerintah, maka sekarang
publik sekarang diberi peran, yang diwakili oleh KPI. KPI itu ada KPI pusat
kalau didaerah KPID. Sekarang di semua propinsi, di 33 propinsi sudah ada KPID,
terakhir Bangka Belitung yang baru saja diresmikan pendiriannya.
Fungsi KPI adalah mewakili
publik dalam bidang penyiaran, lalu membuat P3SPS ) pedoman perilaku penyiaran
standar program siaran ). Jadi, undang undangnya membuat DPR, yang melaksanakan
pemerintah, maka membuat peraturan P3SPS adalah KPI. Setelah peraturan itu
muncul, maka KPI tugasnya harus mengawasi pelaksanaannya. Setelah itu akan
melaksanakan manajemen aduan. Kalau ada aduan dari masyarakat, di mana ada lagu
yang liriknya melanggar norma, atau ada iklan yang tidak etis, maka KPID Jawa
Tengah akan menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat peringatan kepada
stasiun radio atau televisi. Iklan rokok misalnya, tidak boleh memunculkan
batang rokoknya, dan tidak boleh disiarkan di bawah jam 22.00. Semuanya itu
diatur di P3SPS, dimana pedoman dan etika beriklan diatur semuanya, dan harus
dipatuhi oleh lembaga penyiaran dalam melakukan siarannya. Karena etika, maka
aturannya, yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Contohnya, arahan tentang
penyiaran, contohnya pasal 5, menyunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD
45. Meningkatkan moralitas nilai agama dan jati diri bangsa, memajukan budaya
nasinal dan seterusnya, ada 10 butir. Misalnya, Nasima punya radio, kalau hanya
untuk nasima sendiri, maka itu disebut lembaga penyiaran komunitas, karena
hanya didengar oleh komunitasnya. Tapi karena sekali siaran frekuensinya bisa
ditangkap oleh siapa saja, maka ada aturan isi siarannya harus berimbang.
Misalnya, di sebelah Nasima ada sekolah lain, maka radio itu tidak boleh
menyiarkan, sekolah Nasima nomer saru di Indonesia, tidak ada yang menyamai
kualitas sekolah Nasima, dan tidak ada yang lebih bagus dari Nasima. Itu yang
tidak boleh. Kalau itu digunakan dalam kelas Nasima, tidak apa-apa. Tapi begitu
dia pakai frekuensi, disiarkan, didengar orang lain dan tidak ada batasannya,
maka harus dijada keseimbangannya, dan itu tugas KPID.
Salah satu contoh lagi,
pernah to lihat berita, FPI geruduk rumah makan yang buka di siang hari saat
bulan puasa. Kalau nanti ada lagu yang melanggar norma liriknya dan dianggap
masyarakat tidak cocok, lalu mereka mendatangi studio radionya dan mbalangi, itukan bahaya, maka dia
mengadukan lewat KPI. Misalnya, tidak suka dengana lagu Ayu Tingting alamat
palsu, wah itu terlalu vulgar dan nyurati ke KPID, maka kita akan
mengklarifikasi dengan memanggil radio yang bersangkutan karena ada aduan. Dan
aduan tadi ditulis , radionya dipanggil dengan alasan berdasar aduan dari
masyarakat itu. Kalau memang ditemukan pelangagaran, radio itu bisa dikenai
teguran 1,2 dan 3. Kalau masih tetap ndableg, maka KPID bisa menghentikan acara
itu. Karena dianggap memecah belah kesatuan persatuan, menimbulkan efek yang
lebih dari sekedar menampilkan, contohnya kalau hanya sekedar ngomong ayo
datangi tablik akbar di mugas, itu tidak apa-apa. Tapi kalau mengatakan,
datangi tablik akbar di mugas tidak usah pakai helm yang penting sampai, itu
yang tidak boleh.
KPI juga harus menjaga
industri penyiaran. Di industri itu kan ada lembaga penyiaran, pendengar dan
kedua-duanya harus dijaga. Contohnya, industri penyiaran tidak boleh dikuasi
oleh satu badan hukum atau satu orang saja. Di Semarang ada 34 lembaga
penyiaran, TV lokal 4, TV nasional atau sekarang biasa disebut TV jaringan 11,
radionya ada 20 an. Di Semarang frekuensi untuk radio rapet, geser sedikit saja
gelombangnya sudah ada radio lain. Tapi kalau untuk luar kota, seperti di
Rembang hanya ada 4, maka disitu tidak boleh ada monopoli. Sehingga pemilik MNC
grup misalnya, meski dia bisa saja membeli semua stasiun TV nasional karena punya
banyak duit, tapi hal itu tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Tidak boleh
ada monopoli, khususnya di lembaga penyiaran.
Kalau adik-adik sudah
besar dan berminat pada broadcase, maka adik akan lebih banyak tahu. Yang pasti
di pasal 4, penyiaran sebagai komunikasi masa mempunyai fungsi, media
informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, sebagai kontrol sosial, sebagai
perekat sosial juga mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi dan kebudayaan.
Fungsi itu harus diterjemahkan oleh lembaga penyiaran radio dan TV harus
mempunyai fungsi-fungsi penyiaran itu. Sehingga kalau ada radio TV yang hanya
mempunyai format acara hanya hiburan atau berita saja, maka itu tidak boleh.
Intinya, format acara harian dan mingguan, tidak boleh hanya melayani satu
kelompok audience saja. Selain itu, setiap lembaga penyiaran dalam setiap buka
dan tutup acara, harus dengan lagu Indonesia Raya. Itu untuk menjalankan fungsi
perekat sosial. Lha tugasnya KPI itu mengawasi format acara di setiap lembaga
penyiaran supaya berimbang.
Pernah dengar acara
infotainment Silet ? Saat Merapi meletus ada aduan kalau silet itu membuat
warga jogya panik, karena menyiarkan prediksi paranormal kalau Yogya akan
tenggelam, Yogya akan terbelah dua, semua warga harus segera mengungsi. Hal itu
tidak dibenarkan, karena prediksi paranormal itu tidak didukung data yang
valid, sehingga meresahkan warga. KPI kemudian memberikan teguran. Sesuatu yang
memunculkan persuasife negatif, seperti segera mengungsi karena Yogya akan
terbelah jadi dua, tidak diperbolehkan. Empat Mata juga. Pernah kan KPI
menutupnya karena menayangkan sadisme, sehingga sekarang berganti nama menjadi
Bukan Empat Mata.
Selain
menunggu laporan dari masyarakat, bagaimana KPID memantau semua lembaga
penyiaran untuk menemukan kemungkinan adanya acara dan atau iklan yang salah
dan kurang benar ?
Jadi, di KPI dan KPID seluruh
Indonesia, akan menerima aduan dan menerbitkan teguran dari hasil pantauan
reguler . Kalau di KPID Jawa Tengah di lantai 2, ada ruangan untuk memantau
semua stasiun TV nasional dan TV lokal. 24 jam direkam. Ada tim pemantau, yang
bertugas mentelengi acara agar tidak
melanggar. Jadi setiap ada acara yang melanggar etika, dicarikan pasalnya,
kemudian dilaporkan ke komisioner untuk dianalisis, kemudian lembaga penyiaran
yang dinilai melanggar itu dipanggil.
Setelah klarifikasi benar
tidaknya, tapi kalau lembaga yang bersangkutan ndableg, terus melakukan pelanggaran, maka KPID sesuai dengan pasal
47 – 48, akan menutup mata acara itu apabila melakukan pelanggaran
berturut-turut. Dan lembaga penyiaran tersebut wajib menyiarkan aduan yang
diklarifikasi di lembaga yang bersangkutan. Kalau masih tetap melakukan
pelanggaran, maka acara itu bisa ditutup.
Tukul di Empat Mata, dalam
setiap acaranya dulu kan pasti ada cipika cipiki ( cium pipi kanan cium pipi
kiri ), muncul aduan, diproses KPI, diperingatkan. Tapi kemudian acara itu
melanggar lagi dengan menampilkan sadisme di mana ada bintang tamu yang makan
ikan dan kodok hidup – hidup. Karena sudah melanggar beberapa kali, maka format
acara itu boleh siaran lagi, kalau format acaranya diganti. Maka muncullah Bukan Empat Mata. Tapi kalau kemudian Bukan
Empat Mata melanggar lagi, dan berganti nama lagi, maka saat ijin TV nya bisa
dicabut. Ijin
lembaga penyiaran TV itu masa berlakunya 10 tahun, sedangkan radio 5 tahun. Nah,
saat TV yang terus melanggar itu habis masa ijinnya, saat akan mengajukan
perpanjangan, bisa tidak disetujui. Otomatis TV itu tutup karena tidak berijin.
Itu yang bisa maksimal dilakukan KPI, dalam
menjaga lembaga penyiaran agar tidak melanggar.
Ada juga program KPID
reguler, yaitu pengawasan lapangan lembaga penyiaran. Misalnya kita ke radio
Bahurekso di Kendal. Kita akan memeriksa mulai dari perijinannya hingga isi dan
format materi acaranya. Apakah ada iklan yang melanggar aturan, tidak boleh
menjatuhkan pesaing, tidak boleh mengklaim dirinya paling nomer wahid. Untuk
iklan obat batuk misalnya, harus ada aturan pemakaian dan larangannya, juga
harus ada tanggal kedaluarsanya. Itu namanya etika beriklan. Harus jelas dan
transparan.
Acara dan atau iklan yang salah
dan tidak benar itu kriterianya bagaimana ? Sampai sekarang sudah ada berapa
banyak lembaga penyiaran yang diberi sangsi ?
Di atas sudah diterangkan
ya. Yang pasti, etika beriklan harus patuhi perusahaan pembuat iklan. Untuk
iklan RBT misalnya, harus diterangkan sejelas-jelasnya untuk sebuah SMS
harganya berapa, tidak boleh menipu konsumen. Aturannya pada etika pariwara,
untuk iklan. Sedangkan P3SPS, akan mengamati terkait fungsi-fungsi penyiaran
seperti ada tidak fungsi informasi, pendidikannya, dan perekat sosial ada yang
dilanggar tidak. Misalnya, iklan
operator seluler, mereka tidak boleh menampilkan bintang iklannya terus menerus
orang jawa, tapi juga harus berganti dengan orang Papua misalnya, atau orang
Ambon dan lainnya.
Untuk lembaga penyiaran
yang sudah kita tegur, hingga 2011 ini ada sekitar 300 lembaga ya. Yang
mendapat teguran tertulis sekitar 30 – 40 lembaga. Sementara yang sudah diberi
sangsi, karena terus ndableg itu, ada 2 lembaga penyiaran. Tapi kebanyakan,
begitu muncul aduan dan proses klarifikasi dijalankan KPID, lembaga penyiaran
yang bersangkutan segera membenahi format acaranya. Tapi ada juga yang ndableg, kita kirim surat
teguran dan kita panggil bahkan hingga 6 kali, tetap saja tidak mau datang.
Begitu kita lapor ke Polda, baru yang bersangkutan datang. Mereka, lembaga penyiaran itukan punya banyak
duit, bisa nyewa pengacara. Jadi, itu mungkin yang membuat mereka tidak segera
datang memenuhi panggilan kita untuk melakukan klarifikasi.
Bapak sendiri sebagai kepala KPID
mempunyai obsesi seperti apa, demi melindungi masyarakat dari gempuran siaran
dan atau iklan yang tidak pas itu.
Visi misi saya jelas, publik
harus menerima siaran yang sehat dan bermartabat. Untuk menuju ke arah itu,
maka dibutuhkan kerjasama untuk menegakkan aturan pada P3SPS, kemudian mengawai
dan membuat manajemen atau tim untuk pelaksanaannya. Di KPID Jawa Tengah, ada
pak Mulyo sebagai waka KPID, ada Zaenal Abadin dan waka yang melakukan
pengawasan siaran, ada Isdiyanto dan Sosiawan yang mengawasi kelembagaannya,
juga perijinan. Semuanya membutuhkan manajemen untuk menggerakkannya agar bisa
menjalan tugas dan kewajibannya dengan baik dan benar.
Untuk menjalankan
manajemen di KPID sini, kita difasilitasi Pemprov dengan disediakan sekretariat
untuk kantor. Untuk melaksanakan Undang – undang, sekretariat di KPID sini
dipimpin Endro Haryanto, yang dibantu 4 kasubag. Yaitu subag umum, subag
perijinan, subag kelembagaan dan subag pengawasan isi siaran. Jadi manajemen
itu untuk mendukung program KPID dengan visi misi, yang juga menjadi visi misi
saya sebagai ketua KPID, adalah membuat penyiaran itu sehat bermartabat.
Walaupun perjuangannya berat, karena musuhnya orang yang punya duit semua,
karena untuk membuat sebuah stasiun radio peralatannya bisa mencapai satu
milyar, sementara stasiun TV bisa mencapai 3 sampai 5 milyar rupiah. Usaha di
bisnis penyiaran itu padat modal. Dan karena padat modal itu, terkadang
pemiliknya seenaknya, karena sudah menanam modal milyaran rupiah, maka duit
saya harus cepat mbalik. Jadinya,
mereka beranggapan iklannya sakkarepe
dhewe, semua harus masuk, padahal iklan itu harus beretika. Walaupun punya
uang tetap harus mematuhi rambu-rambu yang ada .
Menjadi tugas KPID yang
kemudian harus mengawasinya. Karena luasnya wilayah Jawa Tengah, kalau TV
mungkin bisa dipantau karena jumlahnya terbatas. Lha kalau radio yang jumlahnya
ratusan dan siarannya tidak semua bisa dijangkau di Semarang, bagaimana kita
bisa mengawasi. Maka dari itu kita membutuhkan bantuan masyarakat untuk ikut serta
mengawasi siaran radio dan TV lokal di berbagai daerah.
Masyarakat kalau ingin mengadu
harus dilengkapi dengan bukti berupa rekaman dari materi siaran atau iklan yang
mengganggu itu. Tanpa bukti itu, kita sulit untuk memprosesnya lebih lanjut.
Tanpa rekaman itu bisa saja lembaga yang bersangkutan mengelak.
Maaf, kalau boleh tahu, CV bapak
dan bagaimana perjalanan karier bapak sebelum menjadi kepala KPID ?
Saya lulus SI ekonomi
manajemen Undip 1983. Lalu jadi dosen dan PNS tahun 1984 hingga sekarang.
kemudian ada teman yang mengajak untuk berperan serta dalam komunikasi publik
dengan melamar menjadi komisioner KPID. Disiplin ilmu saya memang bukan di
broadcast, tapi di ekonomi ada manajemen komunikasi bagaimana memenej ilmu komunukasi agar sehat. Contohnya radio yang
tidak sehat pasti isi siarannya juga tidak sehat. Kalau menejemen radio tidak sehat, bagaimana
dia bisa membayar gaji pegawainya, bagaimana membayar biaya produksi siarannya
? Kalau sudah begitu, isi materi dan iklannya pasti akan sembarangan, pokoknya
ada duit masuk . Radionya pasti rusak. Kalau radionya sendiri yang rusah tidak
apa-apa, lha kalau orang yang mendengarkan ikut rusak juga, bahaya kan. Maka,
diperlukan adanya menejemen.
Kalau sejak awal pemilik
modal yang ingin bikin lembaga penyiaran tidak bisa memenej dananya, pasti pada
saat lembaganya berdiri pasti tidak sehat. Kalau tidak sehat, pasti isi dan
materi siarannya juga tidak sehat. Bisa saja mereka, setelah ijinnya keluar,
menjual ijinnya itu kepada orang lain. Itukan tidak baik. Tahun 2007, saya ikut
fit propertest untuk menjadi komisioner, alhamdulillah diterima hingga 2010.
setelah habis masa kerja 2010, saya kemudian ikut tes kembali untuk masa
periode ke dua, dan alhamdulillah diterima kembali. Ini adalah masa ke dua dan terakhir saya menjadi komisioner di KPID.
Tentang keluarga, boleh kita tahu
istri dan putra-putri bapak ? Bagaimana
bapak mengembangkan pola asuh anak di kelurga bapak, melihat globalisasi
merambah di semua sisi kehidupan saat ini ?
Saya lahir 20 Mei 1958 di
Megalang. SD
negeri di Kudus, lulus tahun 1970. kemudian masuk SMPN 1 Kudus, lulus tahun
1973. kemudian di SMAN 1 Semarang lulus tahun 1976. Kemudian lulus S1 Manajemen
Undip tahun 1083. S2 Manajemen Transportasi ITB Bandung tahun 1999.
Istri saya bernama Dewi Ratnawati
SE. Dulunya bekerja, tapi karena 3 anak saya laki-laki semua, maka istri
kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja agar bisa konsentrasi mengasuh
anak-anak. Anak saya yang pertama bernama Aditya Widi Sudaryanto SE Akt
sekarang bekerja di Jakarta. Yang ke dua, Brian Widi Sudaryanto, sekarang
semester 7 jurusan akuntansi Undip, sementara yang paling bungsu Candra Widi
Sudaryanto, sekarang baru semester 3 Manajemen Ekonomi Undip.
Untuk pengasuhannya, saya
seratus persen mempercayakan pada ibu di rumah. Karena kehadiran seorang ibu
bisa 24 jam bagi anak. Itu disebabkan,
waktu saya sebagai bapak, habis di tempat kerja, sehingga frekuensi pertemuan
dengan anak sangat sedikit sekali. Kata kunci bagi saya tetap pada komunikasi. Resiko mempunyai anak
laki-laki kan kita semua sudah tahu. Setelah mereka SMA, waktu mereka pasti
akan lebih banyak dihabiskan di luar rumah daripada di rumah, sehingga
komunikasi lantas memegang kendali di sini.
Ibu berperan penting disini untuk
membentuk karakter dan kepribadian anak. Dasar agama, terkait akidah, standar
harus dipenuhi. Anak harus bisa membaca al quran, minimal harus bisa qatam
sekali. Sementara untuk menambah wawasan kebangsaannya, semua anak saya, SD nya
saya sekolah di SD Katolik, agar dia bisa juga melihat keanekaragaman agama dan
pola ibadah masing-masing agama. Tapi di rumah, dia harus dengan kesadarannya
sendiri menjalan sholat 5 waktu tanpa
disuruh. Untuk pola asuhnya, saya tidak menganut pola yang ketat atau longgar.
Saya lebih menyesuaikan pada kondisi dan situasi yang dihadapi anak, toleransi
itu yang saya lakukan. Asal tentu saja, ada pemberitahuan terkait posisi dan kesibukannya saat dia
harus terlambat pulang.
Saat masih sekolah dulu, apa ada kenangan
yang cukup membekas sampai sekarang ? Bapak dulu
pintar atau bagaimana, dan pelajaran apa yang disukai dan tidak disukai ? Apa
bapak dulu nakal ?
Nakal nggak ya ? Nakal
itu kan lompatan sesuatu yang tidak wajar, jadi sesuatu yang aneh, sehingga disebut
nakal. Nakalnya saya, ya sewajarnya nakalnya anak-anak. Tapi tahun 1980, saya
jadi ketua Senat Mahasiswa Ekonomi Undip, saat itulah saya jadi nakal, tapi
produktif lho. Dulu jamannya saya ada yang namanya NKK BKK, di mana semua
kegiatan mahasiswa itu dipantau dan dilarang. Lha saat itu saya bisa mengadakan
acara pertemuan dan membentuk ikatan senat mahasiswa ekonomi seluruh Indonesia.
Itu sebuah prestasi, karena saat itu pak Harto sedang ketat-ketatnya mengadakan
pengawasan kepada kegiatan mahasiswa. Saat itukan orang tua saya yang anggora
TNI pensiun. Karena dikeluarga ada 6 orang anak yang harus sekolah semua, maka
saya harus mati-matian mempertahankan beasiswa dengan tetap menjadi ketua
Senat. Selain
itu, saya bisa melihat dan keliling Indonesia yang mbayari negara.
Nakal ? Sebagai laki-laki
soal berantem, ketangkep polisi, ya normallah. Tapi tidak dalam kaitannya
dengan kriminalitas lho. Juga, saat mahasiwa jadi ketua Senat, 74 – 75, saat
itu kan ramai-ramainya demo. Menghadapi barikade polisi paling depan, kemudian
kesetrum tameng polisi, semuanya pernah saya alami. Saya juga pernah menghadapi
ancaman skorsing kuliah 3 bulan, hanya gara – gara ketangkap basah rektorUndip
kala itu bapak Sudarto saat hendak mengajak
mahasiswa baru ospek. Untungnya tidak jadi, karena saya pandai mancari alasan. Dan itu menjadi pengalaman hidup yang tidak
terlupakan. Dan itu membentuk saya menjadi tangguh, pantang menyerah dalam
memperjuangkan cita-cita dan keinginan.
Sedangkan untuk pelajaran
menghafal adalah pelajaran yang paling tidak saya sukai. Sementara pelajaran
yang ada hitung-hitungannya, saya paling suka.
Dan
Karena saya tidak suka menghafal itu, maka saya kemudian menemukan metode
menghafal yang paling ringkas, ringan dan cepat masuk di otak. Metode itulah
yang kemudian tetap saya pakai, saat saya harus dituntut menguasai banyak pasal
di dalam UU Penyiaran.
Terakhir, mohon nasehat, apa yang
harus kami lakukan sebagai pelajar, agar kami bisa sesukses seperti bapak ?
Singkat ya, jangan mudah
menyerah dan jangan membeda-bedakan gender atau jenis kelamin. Ke dua, hormati
orang tuamu. Ke tiga, semua ilmu itu pasti ada gunanya, maka cari dan
pelajarilah meski sampai ke negeri Cina. Semuanya itu harus kalian imbangi
dengan budi pekerti, sifat dan sikap baik serta akidah dan iman yang tinggi
sesuai dengan kepercayaan kalian masing-masing. Gitu kan ?
Terimakasih bapak (dmr)